Catatan Seorang Guru
Guru Menulis | 2021-10-05 20:42:20Problematika guru di situasi pandemi seperti ini terasa lebih kompleks. Banyak hal baru yang mulai dilakukan dan menjadi kebiasaan. Mulai dari penjelasan melalui layar kaca perangkat elektronik sampai permasalahan sinyal serta kuota data yang lebih cepat habis akibat streaming yang berlangsung lama. Tetapi terlepas dari semua itu. Apakah pandemi membuat seorang guru menyerah?
Diantara banyaknya tantangan yang ada saat ini. Seorang guru dituntut untuk bisa lebih cepat menyesuaikan diri. Bagaimana mereka harus dapat dengan pintar membuat formula mengajar yang baik dan tetap menyesuaikan dengan kondisi kebiasaan baru. Tetapi kapasitas kemampuan guru yang berbeda, kondisi materi masing-masing guru, juga fasilitas sekolah yang mendukung atau tidak mendukung menjadi point penting yang harus digaris bawahi.
Guru seperti ibu Ir yang berusia 50 tahunan akhir sama sekali tidak mengerti soal mengirim email atau materi dari Talkfusion pikirannya lebih lambat dari pada guru yang baru lulus. âPusingâ itu kata bu Ir setiap kali bertemu saya. Ia tidak paham dengan kondisi belajar saat ini, terlalu banyak teknologi canggih dan aplikasi baru yang tak pernah ia sentuh dan ia pikirkan ada sebelumnya.
Ketika guru-guru muda yang lebih cepat dan tanggap dalam menguasai hal teknologi. Bu Ir bahkan baru pertama kali memegang laptop sebagai alat pekerjaan. Selama ini, selain mengajar mungkin ibu Ir lebih banyak di dapur dan mengemong cucu. Tak pernah sempat memikirkan prosesor terbaru dari laptop atau ios apa yang akan keluar tahun ini. Bu Ir tak pernah sempat memikirkan itu, menjadi seorang nenek yang selain mengajar, ia juga berjualan, ia akan membawa gorengan panas di pagi hari dan menjajakannya di meja kerja.
Ibu Ir mungkin akan berakhir seperti para karyawan di pertengahan tahun 90an yang tak dapat mengikuti perkembangan zaman dan akhirnya ditinggalkan. Tetapi di dunia pendidikan, selama seorang guru memiliki niat untuk mengajar meskipun kendala datang silih berganti. Ia akan tetap di posisinya sampai âakhir hayatâ. Dan oleh karena itu juga, hal ini pasti ini akan membuat mutu pendidikan khususnya di sekolah tempat Bu Ir akan kekurangan integritas. Dan akhirnya pelajaran siswa lah yang akan dikorbankan.
Bila guru-guru seperti ibu Ir mau belajar pun membutuhkan waktu yang tak sebentar. Butuh waktu untuk mengenal dan menyesuaikan semua teknologi dan kegiatan terbaru pembalajaran kepadanya. Alhasil satu mapel yang dipegang bu Ir akan tertinggal. Tentu sebagai orang yang beriorientasi pada mutu pendidikan, saya tidak akan merekomendasikan Bu Ir untuk mengajar, tetapi dari sisi lain kemanusiaan, Bu Ir sekarang Ibu tunggal yang harus mencukupi hidupnya sendiri. Meskipun anaknya telah menikah dan ia tak punya tanggungan apa pun, tetapi sebagai seorang ibu ia tak ingin membuat susah dan bergantung pada anak-anaknya.
Oleh karena itu pula mungkin ibu Ir masih bertahan, oleh karena itu pula petinggi di sekolahnya masih memberi kepercayaan padanya sebagai seorang guru yang baik dalam hal penyampaian materi tetapi agak buruk di bidang teknologi.
Banyak hal yang perlu diperhatikan dalam menjadi guru, lebih banyak lagi spesialisasi yang harus dipunya mereka di sini. Apakah pendidikan mesti mengikuti perkembangan zaman? Atau hanya menyesuaikan zaman? Apakah guru-guru seperti ibu Ir bisa bertahan atau tidak? Pantas bertahan atau tidak? Akhirnya ini menjadi hal yang perlu diperhatikan pada pemangku kebijakan bahkan jajaran petinggi di sekolah.
Guru menjadi tonggak terpenting dalam berjalannya pendidikan yang baik. Untuk itu saya rasa perlu acuan dan pedoman yang kuat juga mudah dipahami dan diaplikasikan oleh guru untuk mengajar. Karena dengan standar baku yang ditentukan. Maka tidak akan ada lagi rasa kosong dalam pendidikan kita. Saya sempat bertanya pada diri ketika sekolah usai. Apa yang saya dapat selama tiga tahun di SMA dengan belajar hampir setiap hari dan mengerjakan tugas-tugas yang tak sedikit. Tetapi dalam tiga tahun yang panjang itu saya hanya mengerti tentang menyanyi rayuan pulau kelapa dan tentang cinta monyet yang tak berkesudahan. Selebihnya sekolah bagi saya seperti tempat bermain bersama teman dan ladang dalam mengerjakan soal-soal LKS yang banyak. Saya membaca soal-soal itu dan mengisi jawaban tanpa tahu makna pelajaran dari apa yang saya pelajari. Untuk apa saya belajar dan mempelajari itu.
Dan saya tahu sekarang, kenapa saya tak punya moment dan kenangan apa pun tentang pelajaran yang mengasyikan dan bahagia. Pertama, Guru-guru tak pernah menjelaskan makna ajar yang mereka berikan. Banyak hal yang bisa membuka wawasan siswa jika saja guru memberi kesempatan lebih banyak waktu untuk menjelaskan makna dari satu pelajaran dan membuat siswa berpikir tentang makna pelajaran itu. Siswa-siswa pandai di kelas yang sempat saya tanyakan tentang soalan LKS dapat menjawab dengan mudah pertanyaan. Tetapi jika saya bertanya mengenai maksud dari soalan tersebut, makna dari pengerjaan soal yang diberikan, dia akan diam dan tak tahu apa-apa.
Kiranya perlu bagi guru dalam peningkatan mutu kompetensi dan pemahaman tentang suatu materi serta mampu menjelaskan setiap kata juga huruf dari setiap teori yang disampaikan. Hal itu akan sangat baik. Jika kesiapan dan kemampuan guru dalam membuka wawasan luas siswa tak optimal. Maka jangan heran siswa-siswi kita tak tahu apa makna belajar dan bagaimana manisnya ilmu pendidikan di sekolah.
Guru yang berani berinovasi dan meningkatkan mutu serta kecakapan aktualisasi penyampaian materi ajar yang baik akan dikenang oleh seluruh muridnya sebagai seorang manusia yang pandai. Guru yang dapat membawa aura positif dan kebaikan, serta keramahan dalam tutur kata akan dikagumi oleh siapa pun siswa sebagai contoh teladan dari kebaikan seorang malaikat tak bersayap.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.