Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Mochammad Fajar Nur

Dua Socrates

Sejarah | Monday, 04 Oct 2021, 15:35 WIB
Painting: "The Death of Socrates" by Jacques Louis David

Dalam salah satu karya Plato yaitu "The Republic", ada percakapan antara Socrates dengan Adeimantus perihal demokrasi. Sang filsuf berpendapat bahwa demokrasi punya penyakit pukul rata yang dapat membawa bencana. Sebuah kecacatan. Ia memakai sebuah analogi kapal, "siapa yang berhak memimpin? seorang ahli kapal atau orang acak?" pertanyaan menohok ini tentu saja punya jawaban pasti, "ya tentu saja ahli kapal yang memimpin."

Benar saja apa katanya, ia sendiri merasakan rusaknya sistem pemilihan. Mengalami difitnah dan harus dihukum mati. Ia berakhir menenggak racun hemlock. Menelan pil pahit sebuah kekuasaan. Ia mati ditangan apa yang ia takutkan terjadi. Mati dibawah tirani.

Di belahan dunia lain dengan zaman yang jauh berbeda, muncul Socrates lain. Seorang gelandang timnas sepakbola Brazil, berambut gondrong, agak ugal, dan seorang yang lantang bersuara. Kelantangan ini tak hanya di rumput hijau saja, namun berkoar hingga keluar lapangan. Ke arena permainan yang asli, kehidupan.

Socrates Brasileiro pemain hebat, ia memimpin timnas Brazil pada piala dunia 82 dan 86. Pada saat pemerintahan Brazil dibawah kemiliteran yang menekan kebebasan, bahkan sampai ke sektor sepakbola, pemain berjuluk 'doctor' ini tak mau diam dan tak ingin kebebasannya dikerangkeng. Ia mau terbang bebas, maka ia melawan. Socrates ciptakan gerakan dari apa yang ia bisa jangkau, klubnya.

Socrates dan slogan "Democracia Corinthiana" (Retro Football)

Di klubnya Corinthians ia mengusulkan kebebasan demokrasi tim. Seluruh pemain, pelatih, tukang pijit, bahkan tukang bersih-bersih wc punya hak yang sama dalam tim untuk bersuara dan berpendapat. Gerakan ini akhirnya dikenal sebagai "Democracia Corinthiana". Gerakan ini yang dimulai dari lapangan hijau mulai menyebar hingga ke luar stadion alias ke arena kehidupan. Masyarakat bersemangat dengan demokrasi yang dijunjung Corinthians, mereka mulai gerah dengan kediktatoran militer dan ikut lantang bersuara. Hal ini makin dikobarkan Socrates saat ia dengan lantang beorasi di depan masyarakat pada 1984.

Sikap Socrates dimulai dari kesederhanaan, dari lingkup yang mampu ia ubah. Semangatnya bergulir besar hingga tertular sampai menjadi semangat rakyat. Semangat menjunjung keadilan. Gagasannya terbukti sukses menjadi bagian dari usaha masyarakat Brazil membebaskan diri dari kediktatoran. Suaranya tak sia-sia.

Ada dua sikap berbeda dari kedua Socrates pada kisah pendek di atas. Socrates yang satu mencurigai dan mengkritisi demokrasi. Socrates yang satunya lagi justru mengejar dan mengusahakan demokrasi. Tentu kita tak cari benar-salah, sebab keduanya berjuang pada keadaan masyarakat di zamannya masing-masing. Namun ada sebuah persamaan yang bisa kita tarik dan tentu saja renungkan.

Kedua Socrates sama-sama orang yang menggandrungi kebenaran. Suara mereka berdua lantang terhadap sistem yang menekan kebenaran dan keadilan. Yunani dengan sistem demagog dan Brazil yang dikuasi kediktatoran militer sama-sama memperkosa suara kebenaran. Hasilnya adalah kesewenang-wenangan kepada rakyat. Dua Socrates hadir sebagai tokoh yang memantik api. Mereka bukan menuntut menjadi "pemberes masalah", justru mereka yang mengawali "suara" atas kebisuan. Mereka adalah tokoh yang menyalakan harapan, untuk menerangi hidup dengan kebenaran.

Dari mereka kita tau apapun sistemnya selama kebenaran ditekan dan suara rakyat tak didengar maka itu "tanda zaman", bahwa masyarakat butuh seseorang yang menyalakan harapan. Seseorang yang mau mengaplikasikan keadilan dari aspek paling kecil hidupnya dari lingkup kecil yang mampu ia jangkau. Socrates-socrates yang lain yang harus bersuara.

Mungkin kita tak terlahir pada zaman yang menegangkan dan penuh huru-hara seperti kedua tokoh di atas. Tapi kita mesti curiga bahwa pemerkosaan pada keadilan bisa tampil dalam wajah lain yang terkadang memberi nyaman. Seperti lagu pengantar tidur, kita dibuat lelap dan tidak sadar. Tapi saya yakin, selama masih ada orang-orang yang berbuat baik serta menjunjung keadilan yang tak pandang bulu terhadap siapapun, bisa jadi harapan itu terus ada. Api kecil kebenaran yang siap dikobarkan. Siap bangun dari tidurnya untuk bersuara.

Jadi, mau berfilsafat atau main bola? Ah iya, sama saja.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image