Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Adam Kusuma

Toxic Positivity: Sisi Gelap dari Hal Positif

Gaya Hidup | Monday, 04 Oct 2021, 11:35 WIB

· Apa sih Toxic Positivity itu?

Toxic positivity adalah pemikiran bahwa tidak peduli seberapa parah atau sulitnya suatu situasi, orang harus mempertahankan pola pikir positif. Ini adalah pendekatan "good vibes only" di hidup ini. Dan sementara ada manfaat untuk menjadi seorang yang optimis dan terlibat dalam pemikiran positif, Toxic Positivity malah menolak emosi yang sulit demi keceriaan, sering kali positif palsu.

Kita semua tahu bahwa memiliki pandangan hidup yang positif baik untuk kesehatan mental Kamu. Masalahnya adalah bahwa hidup tidak selalu positif. Kita semua seringkali berurusan dengan emosi dan pengalaman yang menyakitkan. Emosi yang kita rasakan, meskipun seringkali tidak menyenangkan, penting dan perlu dirasakan atau ditangani secara terbuka dan jujur.

Toxic Positivity membawa pemikiran positif yang digeneralisasikan secara berlebihan. Sikap ini tidak hanya menekankan pentingnya optimisme, tetapi juga meminimalkan dan menyangkal jejak emosi manusia yang tidak sepenuhnya bahagia atau positif.

· Bentuk Toxic Positivity

Toxic Positivity ada banyak contohnya. Beberapa contoh yang mungkin Kamu temui dalam hidup Kamu sendiri:

1. Ketika sesuatu yang buruk terjadi, seperti kehilangan pekerjaan, orang-orang menyuruh Kamu untuk “tetap positif” atau “lihat sisi baiknya”. Meskipun tanggapan semacam itu sering kali dimaksudkan untuk menunjukkan simpati, itu juga bisa menjadi cara untuk menghentikan apa pun yang ingin Kamu katakan tentang apa yang Kamu alami.

2. Setelah mengalami beberapa jenis kehilangan, orang memberi tahu Kamu bahwa "segala sesuatu terjadi karena suatu alasan." Sementara orang sering membuat pernyataan seperti itu karena mereka percaya bahwa mereka menghibur, itu juga merupakan cara untuk menghindari rasa sakit orang lain.

3. Ketika Kamu mengungkapkan kekecewaan atau kesedihan, seseorang memberi tahu Kamu bahwa "kebahagiaan adalah pilihan." Ini menunjukkan bahwa jika Kamu merasakan emosi negatif, maka itu adalah kesalahan Kamu sendiri karena tidak “memilih” untuk bahagia.

Pernyataan seperti itu sering kali bertujuan baik, orang tidak tahu harus berkata apa lagi dan tidak tahu bagaimana bersikap empati. Namun, penting untuk mengenali bahwa respons ini bisa berbahaya.

Paling-paling, pernyataan seperti itu muncul sebagai basa-basi yang membuat Kamu lolos sehingga Kamu tidak harus berurusan dengan perasaan orang lain. Paling buruk, tanggapan ini akhirnya mempermalukan dan menyalahkan orang-orang yang sering menghadapi situasi yang sangat sulit.

· Mengapa Toxic Positivity Berbahaya?

Toxic positivity sebenarnya dapat membahayakan mereka yang sedang melalui masa-masa sulit. Alih-alih mampu berbagi emosi manusia yang asli dan mendapatkan dukungan tanpa syarat, orang menemukan perasaan mereka diabaikan, atau langsung tidak berlaku.

1. Ini memalukan: Ketika seseorang menderita, mereka perlu tahu bahwa emosi mereka valid, tetapi mereka dapat menemukan kelegaan dan cinta dalam teman dan keluarga mereka Toxic positivity memberi tahu orang-orang bahwa emosi yang mereka rasakan tidak dapat diterima.

2. Itu menyebabkan rasa bersalah: Ini mengirimkan pesan bahwa jika Kamu tidak menemukan cara untuk merasa positif, bahkan dalam menghadapi tragedi, bahwa Kamu melakukan sesuatu yang salah.

3. Ini menghindari emosi manusia yang otentik: Toxic positivity berfungsi sebagai mekanisme penghindaran. Ketika orang lain terlibat dalam jenis perilaku ini, itu memungkinkan mereka untuk menghindari situasi emosional yang mungkin membuat mereka merasa tidak nyaman. Tapi terkadang kita mengubah ide yang sama pada diri kita sendiri, menginternalisasi ide-ide beracun ini. Ketika kita merasakan emosi yang sulit, kita kemudian mengabaikan, mengabaikan, dan menyangkalnya.

4. Mencegah pertumbuhan: Ini memungkinkan kita untuk menghindari perasaan hal-hal yang mungkin menyakitkan, tetapi juga menyangkal kemampuan kita untuk menghadapi perasaan menantang yang pada akhirnya dapat mengarah pada pertumbuhan dan wawasan yang lebih dalam.

Mantra "Positive vibes only" bisa sangat membantu selama masa-masa sulit yang intens. Ketika orang menghadapi situasi seperti masalah keuangan, kehilangan pekerjaan, penyakit, atau kehilangan orang yang dicintai, diberitahu bahwa mereka perlu melihat sisi baiknya bisa tampak sangat kejam. Adalah mungkin untuk bersikap optimis dalam menghadapi pengalaman dan tantangan yang sulit. Tetapi orang-orang yang mengalami trauma tidak perlu diberitahu untuk tetap positif atau merasa bahwa mereka sedang dihakimi karena tidak mempertahankan pandangan yang cerah.

· Cara Menghindari Toxic Positivity

Jika Kamu terpengaruh oleh hal positif yang beracun atau jika Kamu mengenali perilaku semacam ini dalam diri Kamu. Ada hal-hal yang dapat Kamu lakukan untuk mengembangkan pendekatan yang lebih sehat dan lebih suportif. Beberapa ide meliputi:

1. Kelola emosi negatif Kamu, tetapi jangan menyangkalnya. Emosi negatif dapat menimbulkan stres jika tidak dikendalikan, tetapi juga dapat memberikan informasi penting yang dapat membawa perubahan bermanfaat dalam hidup Kamu.

2. Bersikaplah realistis tentang apa yang seharusnya Kamu rasakan. Saat Kamu menghadapi situasi stres, wajar jika Kamu mengalami stres, khawatir, atau bahkan takut. Jangan terlalu berharap pada diri sendiri. Fokus pada perawatan diri dan mengambil langkah-langkah yang dapat membantu memperbaiki situasi Kamu.

3. Tidak apa-apa untuk merasakan lebih dari satu hal. Jika kamu menghadapi tantangan, Kamu mungkin merasa gugup tentang masa depan dan juga berharap Kamu akan berhasil. Emosi Kamu serumit situasi itu sendiri.

4. Fokus pada mendengarkan orang lain dan menunjukkan dukungan. Ketika seseorang mengekspresikan emosi yang sulit, jangan menutupnya dengan kata-kata hampa yang beracun. Alih-alih, beri tahu mereka bahwa apa yang mereka rasakan adalah normal dan Kamu ada di sana untuk mendengarkan.

5. Perhatikan bagaimana perasaan Kamu. Mengikuti akun media sosial yang “positif” terkadang bisa menjadi sumber inspirasi, tetapi perhatikan bagaimana perasaan Kamu setelah melihat dan berinteraksi dengan konten tersebut. Jika Kamu dibiarkan dengan rasa malu atau bersalah setelah melihat postingan yang “menyemangati”, itu mungkin karena hal positif yang beracun. Dalam kasus seperti itu, pertimbangkan untuk membatasi konsumsi media sosial Kamu.

“Everything worthwhile in life is won through surmounting the associated negative experience. Any attempt to escape the negative, to avoid it or quash it or silence it, only backfires. The avoidance of suffering is a form of suffering. The avoidance of struggle is a struggle. The denial of failure is a failure. Hiding what is shameful is itself a form of shame"

Adam Kusuma

Mahasiswa Administrasi Publik FISIP UMJ

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image