Manusia yang Hebat, Manusia yang Lemah
Agama | 2021-10-04 08:24:02TAHUN 1769, ilmuwan Perancis, Nicolas J Cugnot, merintis temuan mobil pertama dengan menciptakan kendaraan roda tiga berbahan bakar uap. Sementara mobil dengan bahan bakar bensin pertama kali diciptakan oleh Karl Benz dari Jerman. Sejak itu para ilmuwan berlomba menciptakan mobil dengan sistem kerja dan tampilan yang lebih baik dan berkembang sampai saat ini.
Ratusan tahun sebelumnya, ada Abbas Ibn Firnas, ilmuwan asal Andalusia, yang menjadi manusia pertama yang sukses menguji coba alat terbangnya. Ia mampu terbang dengan bantuan sayap dari bahan sutra, yang dirancang dengan perhitungan daya ungkit hingga potensi hambatan tekanan angina dan lainnya. Berbagai temuan pun berkembang hingga akhirnya pada 17 Desember 1903 Orville dan Wilbur Wright atau Wright bersaudara berhasil menerbangkan pesawat terbang untuk pertama kalinya. Itulah manusia dan segala segala potensi penemuannya yang sejatinya bersumber dari daya kreatif akalnya. Kapal induk perang super besar hingga yang super mewah (pesiar), kereta api cepat, teknologi komputer hingga artificial intellegence. Hasilnya, peradaban telah berkembang sedemikian majunya dan akan terus berkembang dan bahkan berevolusi secara cepat, seperti yang saat ini sedang kita alami bersama di era 4.0.
Namun ibarat dua sisi mata uang, kehebatan otak manusia ternyata juga menggambarkan lemahnya mereka, terutama secara fisik dan psikis. Dibandingkan banyak binatang yang hidup dengan megandalkan instingnya, kualitas fisik manusia jauh lebih ringkih. Maka piranti akal yang diciptakan Tuhan seolah menjadi modal yang amat berharga agar manusia mampu menyiasati keterbatasan dan kelamahan fisiknya ini.
Kecepatan lari manusia terbatas, kalah cepat dari kuda dan anjing, maka dia menciptakan kendaraan yang kecepatannya sekian ratus tenaga kuda. Manusia tak bisa terbang, tetapi ia ingin seperti burung yang bisa mengudara dengan cepat menembus batas ruang, lahirlah pesawat terbang. Bahkan banyak perusahaan pesawat yang telah mampu memproduksi pesawat dengan kecepatan supersonic hingga hypersonic yang memiliki kecepatan ribuan kilometre per jam, melebihi kecepatan suara yang berada di angka sekitar 1.236 km/jam. Rusia misalnya, pada 2016 telah membangun pesawat hipersonik pembawa bom nuklir yang kecepatannya mampu mengelilingi bumi hanya dalam 2 jam. Dengan gambaran teknologi pesawat yang supercepat ini, rasa-rasanya kita bisa mendapatkan gambaran waktu yang dibutuhkan untuk perjalanan dari Mekah ke Palestina yang berjarak sekitar 1.500 km itu.
Akal dan daya kreatifnya yang hebat ini semakin membuktikan ayat-ayat Tuhan, baik yang tertulis (Alquran) maupun yang terhampar (alam berikut sunnatullahnya), ihwal manusia sebagai sebaik-baik ciptaan (QS. At-Tin: 6). Namun demikian, manusia secara fitrah juga dianggap sebagai makhluk yang lemah. Dalam QS. An-Nisa: 2, Allah bahkan menegaskan hal ini: âDan manusia diciptakan dalam kondisi lemahâ. Meski sebagian ahli tafsir memaknai âlemahâ pada ayat ini sebagai lemahnya seorang laki-laki dari godaan wanita, namun ada juga yang menafsirkan lemahnya manusia sebagai dalam segala hal: fisik, lemah kekuatan, lemah keinginan, dan lemah kesabaran, sebagaimana dikatakan Ibnul Qayyim. Atau bila kita ringkas, manusia lemah baik dalam aspek fisik, psikis, maupun lainnya.
Secara fisik, tubuh manusia sejatinya amat ringkih, mudah terluka dan cidera, gampang terpapar virus dan bakteri, mudah sakit, dan lainnya. Berbeda dengan binatang yang mampu survive dengan kekuatan instingnya, manusia mampu bertahan dan beradaptasi dengan alam sampai bereproduksi sejauh ini adalah lebih banyak dibantu oleh kapasitas akalnya. Karena perkembangan akalnya, manusia bermetamorfosa dari pola hidup nomaden kepada hidup menetap (beradab), membangun rumah untuk berlindung dari panas dan dingin serta ancaman binatang buas, serta dari menetap inilah membentuk kelompok sosial, membangun tatanan hingga melahirkan peradaban. Proses evolusi semacam ini tidak dialami oleh binatang secerdas apapun.
Demikian halnya dengan aspek psikis, manusia juga makhluk yang lemah. Ia mudah terombang ambingkan masalah. Bahkan, satu masalah bisa saja membuat manusia terpuruk seterpuruknya. Saat sebuah masalah menyergapnya, manusia lebih sering tak berdaya, merasa masalahnya terlalu berat dan paling berat. Ia mencurahkan isi hatinya ke sana sini, dari teman yang satu ke teman yang lain, sampai alpa bahwa bisa jadi temannya juga sedang mengidap masalah, bahkan mungkin lebih berat dari masalahnya. Ya, manusia punya tabiat sentimentil
Dan gemar mendramatisir duka laranya, menganggap masalahnya lah yang terberat.
Saat alur masalah itu mencapai titik suspen, manusia cenderung menjadi makhluk penyendiri, entah merenung dan mencari solusi, atau sekadar menghayati sakitnya. Sebagian manusia mampu keluar dari masalah dengan cepat, tetapi sebagian lainnya terbiasa menjadi peratap. Dan sebagian kecil dari peratap itu selalu merasa gagal mencari jalan keluar, sebagian kecil di antaranya bahkan memilih mengakhiri hidup untuk mengakhiri masalah. Sebagian Sosiolog seperti Emile Durkheim bahkan melihat fenomena bunuh diri bukanlah sesuatu yang kasuistik, melainkan juga sebuah fakta sosial yang taat pada pola-pola situasi tertentu.
Itulah manusia, secara fisik lemah, secara psikis mudah merapuh. Bagaimana mungkin makhluk yang dianugerahi kecerdasan akal luar biasa untuk menjadi khalifatullah fil ardh, memilih bunuh diri sebagai jalan keluar atas rasa frustasi. Aneh bukan? Adakah kasus bunuh diri terjadi di dunia binatang? []
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.