Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muashofa Efida, S.Si., Gr.

PANDEMI MENGAJARKAN TEKNOLOGI

Guru Menulis | Sunday, 03 Oct 2021, 06:26 WIB

Akselerasi teknologi, inilah yang terjadi pada dunia pendidikan di pertengahan tahun 2020. Bagaimana tidak mengalami percepatan, pandemi covid-19 melanda penjuru dunia yang mempengaruhi seluruh sektor kehidupan. Pembelajaran yang semula dilaksanakan secara tatap muka harus berubah 180 derajat, yaitu dilaksanakan jarak jauh secara virtual. Mayoritas guru gelagapan dan gagap? Itu pasti. Tidak bisa dipungkiri bahwa masih banyak guru yang enggan berkawan dengan teknologi. Banyak hal menjadi penyebabnya, seperti faktor internal guru dan faktor ekonomi. Sebagian guru berada pada zona nyaman sehingga enggan untuk keluar dalam upaya upgrade diri. Sementara itu, masih banyak guru dalam keterbatasan ekonomi yang berdampak pada pemenuhan kebutuhan teknologi karena untuk kebutuhan sehari-hari saja masih jauh dari kata “cukup”. Benar adanya jika guru itu Pahlawan Tanpa Tanda Jasa karena masih banyak guru yang jauh dari kemakmuran.

Guru dari perspektif yuridis merupakan profesi yang bertugas merencanakan, melaksanakan pembelajaran, dan melakukan penilaian hasil belajar. Menurut penulis, guru lebih ke arah panggilan jiwa ketimbang suatu profesi. Guru dalam menjalankan perannya membutuhkan komitmen tinggi, omong kosong fungsi guru terlaksana tanpa adanya panggilan jiwa. Pandemi menguji komitmen guru, fungsi guru harus tetap terlaksana dalam segala halangan yang menghadang. Pembelajaran tatap muka tidak mungkin dilaksanakan, sehingga guru menjalankannya secara tatap maya. Sementara guru-guru di pelosok negeri menjalankan tugasnya dengan cara yang berbeda-beda.

Pembelajaran tatap maya digelar dalam kondisi pandemi sebagai upaya menunaikan kewajiban pengajaran dan memberikan hak belajar peserta didik. Guru yang awalnya kurang mahir dalam teknologi bahkan bisa dikatakan gagap teknologi akhirnya bermetamorfosis menjadi guru dalam pendidikan 4.0 secara faktual. Pemilihan media digital dalam pembelajaran tidak sebatas pada aplikasi power point, namun guru sudah mampu mengintegrasikan teknologi dalam pembelajaran. Beberapa kelas virtual diadopsi dalam pembelajaran, seperti google classroom, microsoft teams, dan edmodo. Guru juga melakukan tatap maya menggunakan google meet, zoom, atau webex. Media pembelajaran yang belum pernah diadopsi, seolah kini sudah menjadi kawan. Penyampaian materi tidak sebatas visual, namun sudah ada kombinasi audio visual dalam sebuah video pembelajaran.

Zaman belum mengenal kelas virtual, guru menggunakan video pembelajaran yang secara mayoritas bukan hasil karyanya. Kondisi pandemi ibarat pematik boom semangat guru-guru. Dulu guru belum mengenal pembuatan video pembelajaran, namun sekarang sudah banyak guru yang mampu membuat video pembelajaran dan editing menggunakan aplikasi semacam kinemaster, filmora, atau camtasia. Hingar bingar pembuatan video pembelajaran berimbas pada merebaknya diklat daring pembuatan video pembelajaran. Bahkan tak jarang yang memberikan suguhan lengkap dengan adanya sertifikat yang bertulis JP. Dua huruf ini “JP” seolah medan magnet yang mampu menarik peserta diklat seantero Indonesia. Kadang dengan terang-terangan beberapa guru memang berburu diklat yang ber-JP.

Penulis merasakan bahwa secara mayoritas, motivasi guru di era pandemi ini meningkat tajam. Motivasi lahir akibat keterpaksaan. Intimidasi covid-19 menjadikan guru harus mau belajar dan mengubah strategi pembelajaran dalam menghadirkan wajah baru pembelajaran. Proses mempelajari teknologi dimulai dengan mengikuti sejuta diklat daring. Terlepas guru tersebut sebagai pejuang JP, pada dasarnya ini dilakukan sebagai upaya untuk menjalankan komitmen guru. Perjalanan baru seorang guru dalam menjelajah teknologi pun dimulai, tidak hanya sebatas mahir dalam pembuatan video pembelajaran, namun sekaligus menjadikannya sebagai konten youtube. Jadilah era pandemi ini sebagai side job guru, yaitu youtuber. Sebelum pandemi tentu tidak terbersit keinginan menjadi youtuber. Pandemi menjadikan guru jauh lebih kreatif dalam memanfaatkan teknologi.

Sementara guru-guru telah berkawan dengan teknologi, beberapa guru tidak mungkin berkawan dengan teknologi. Penyebabnya bisa karena faktor ekonomi dan kondisi geografis. Jauh di luar sana, banyak masyarakat yang terpuruk dalam ekonomi akibat pandemi. Banyak orang tua hanya mampu memenuhi kebutuhan pangan. Mau tidak mau, anak harus berhenti dari sekolah. Angka putus sekolah semakin meningkat di tengah pandemi covid-19. Kondisi ini sangat ironis karena terdapat regulasi hak pendidikan, bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan dan pemerintah wajib membiayainya. Faktanya meski ada regulasinya, masih banyak warga negara yang tidak mendapatkan hak pendidikan dikarenakan banyak faktor.

Pemerintah memfasilitasi pendidikan melalui bantuan untuk sekolah (BOS) maupun dana pendidikan (PIP). Kebijakan ini digulirkan sebagai upaya untuk menjalankan regulasi pendidikan. Terlepas dari kebijakan pemerintah, peran dan motivasi guru sangat dibutuhkan untuk mendukung berlangsungnya kebijakan ini. Guru di pelosok negeri (daerah 3T) adalah guru yang berada di garda depan. Daerah 3T secara umum masih terbatas dalam akses internet, bahkan fasilitas listrik dibatasi pada jam-jam tertentu. Peserta didik di daerah 3T mayoritas belum memiliki smartphone maupun laptop, begitu juga orang tua mereka. Guru 3T melakukan pembelajaran di tengah pandemi Covid-19 dalam kondisi keterbatasan. Strategi yang telah diterapkan seperti melakukan kunjungan ke peserta didik untuk memberikan materi dan penugasan, serta menghimpun hasil penugasan. Strategi pembelajaran lainnya dengan mengumpulkan beberapa peserta didik dalam kelompok kecil. Ada juga guru yang koordinasi dengan wali murid untuk memberikan materi dan penugasan. Semua strategi ini dilakukan sebagai bentuk implementasi komitmen guru.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image