Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Irene Silvia Putri Filianti

Menyelamatkan atau Menjerumuskan ?

Guru Menulis | 2021-10-02 09:57:55

Selama manusia hidup, kita akan selalu dituntut untuk mau mengikuti perubahan. Perubahan dari anak-anak menuju remaja maupun remaja menuju dewasa. Termasuk perubahan situasi yang kita alami sejak beberapa waktu terakhir. Ya, pandemi Covid-19 menuntut kita untuk melakukan banyak perubahan. Mengurangi intensitas pertemuan, menjaga jarak, hingga mengakrabkan diri dengan segala kegiatan berbasis jaringan.

Dunia pendidikan adalah salah satu sektor yang melakukan perubahan secara drastis. Sekolah dilaksanakan tanpa tatap muka. Tentu bukanlah hal yang mudah bagi semua pihak. Tidak hanya dari sisi sekolah beserta komponennya. Orangtua dan siswa juga diminta untuk cepat menyesuaikan perubahan cara belajar mengajar.

Pembelajaran dalam jaringan merupakan satu-satunya cara yang dirasa paling efektif untuk kegiatan belajar mengajar dalam situasi pandemi. Selain alasan utama demi keselamatan seluruh pihak. Siswa juga tetap harus belajar dan memeroleh ilmu selama masa pandemi. Pemerintah tidak mungkin membiarkan generasi mudanya menjadi generasi yang diam di tempat. Pembelajaran harus tetap dilaksanakan.

Bagi orang tua yang salah satunya tidak bekerja, mendampingi anak untuk belajar di rumah tentu tidak membutuhkan adaptasi yang sulit. Namun, bagi orang tua yang ke duanya bekerja tentu meninggalkan anak-anak untuk belajar di rumah adalah hal yang sangat dilematis. Terlebih jika usia anak masih di bawah 12 tahun dimana segala sesuatunya masih penuh pendampingan. Beruntung bagi yang memiliki gaji lebih, bisa menggunakan jasa guru les untuk menamani anak-anak mereka belajar di rumah. Tetapi bagi yang pendapatannya hanya cukup untuk makan sehari hari, bahkan kekurangan, jangankan menyewa guru les. Mengusahakan kuota yang cukup saja kesusahan.

Pembelajaran daring layaknya dua sisi koin yang berbeda. Di satu sisi mengutamakan keselamatan di lain sisi tentu mengurangi kualitas pembelajaran. Guru tidak bisa memantau langsung kemampuan masing-masing siswa. Pandangan mata hanya sebatas layar. Tak mampu untuk merengkuh saat siswanya mulai lelah dan ingin menyerah saat bertemu soal cerita.

Fenomena “off camera” juga menjadi hal yang sulit untuk dihindari. Contohnya ketika kita mengikuti seminar, tak jarang banyak diantara peserta seminar yang memilih tidak menyalakan fitur video. Mungkin, sedang mengerjakan pekerjaan lain atau bisa jadi tidak percaya diri jika terlihat oleh peserta seminar yang lain. Nyatanya hal ini juga sering dilakukan oleh siswa selama pembelajaran daring. Jika bertemu dengan guru yang “galak” mereka baru mau menyalakan fitur video. Tetapi, jika bertemu dengan guru yang cuek ataupun penuh kesabaran bisa jadi satu kelas akan memilih untuk mematikan fitur audio dan video. Praktis, guru sama halnya seperti sedang merekam dirinya berbicara, tanpa ada tanggapan dan tanpa ada yang memerhatikan.

Selain itu, ada hal yang membuat saya pribadi sebagai guru merasa sedikit terganggu selama pembelajaran dalam jaringan. Ketika orang tua yang mendampingi anak belajar, mengambil alih seluruh tugas anak. Mulai dari menyalin tugas hingga mengerjakan tugas. Setiap orang tua tentu mau yang terbaik untuk anaknya, namun seringnya lupa, akan tiba masanya mereka akan menghadapi semuanya sendiri.

Fenomena ini terjadi hampir di setiap sekolah dan setiap jenjang. Orang tua lebih memilih mengerjakan tugas anak daripada anak harus mendapatkan nilai yang tidak sempurna. Ya, masih berorientasi pada nilai, bukan pada proses. Saya paham, tidak semua orang punya pemikiran yang sama. Bagi saya, proses adalah hal yang utama. Selama siswa mau berproses, ilmu itu lebih tahan lama dalam ingatan. Daripada hanya mendapat nilai sempurna, tetapi bukan murni hasil pekerjaan sendiri.

Pada suatu hari, saya mendapati ada seorang anak yang didampingi saat belajar secara daring. Sosok perempuan tersebut yang mengerjakan seluruh soal dan memerhatikan penjelasn guru tidak jarang saat guru menerangkan, memberi interupsi jika dirasa tidak sesuai dengan pemahamannya, bahkan mendikte anak tersebut untuk mengatakan argument kepada guru yang mengajar. Saya rasa, hal tersebut tidak membuat anak terselamatkan, di atas kertas mungkin nilai-nilainya sempurna, tetapi pada saat memasuki dunia nyata ? Apakah anak tersebut bisa “dilepas” sendiri tanpa bantuan pendamping ?

Menjadi orang tua adalah pekerjaan yang berat. Memastikan anak-anak dalam keadaan sehat, aman dan bahagia. Terpenuhi gizi yang cukup serta pendidikan yang baik. Tentu bukanlah hal yang mudah. Terlebih dalam situasi pandemi seperti ini. Memutar otak mengatur keuangan juga memutar otak memikirkan pendidikan anak. Alangkah baiknya, memberikan kepercayaan kepada anak untuk mampu berkembang sesuai dengan kemampuannya. Mengajarkan anak untuk mau mencoba, menerima kekalahan dan menerima segala situasi.

Anak-anakmu adalah invenstasi masa depanmu. Merekalah cerminan didikanmu. Maka, biarkan mereka tumbuh sesuai dengan kapasitasnya. Jangan paksa mereka mendapat nilai sempurna dengan cara-cara yang curang. Ajari mereka untuk mau mencoba dan mau berusaha. Mereka tidak sepenuhnya milikmu. Mereka akan tumbuh dewasa. Memilih jalan kehidupannya masing-masing. Jika tidak sejak kecil mereka diberi kepercayaan untuk mandiri, jangan sampai kelak menyesal ketika saat mereka dewasa, mereka menjadi orang yang tak mampu menyelesaikan masalahnya sendiri.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image