Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Yoseph Bambang Sulistyanto Triyono

Merdeka Belajar Di Masa Pandemi, Tanggung Jawab Siapa?

Eduaksi | Tuesday, 28 Sep 2021, 09:32 WIB

Kasus positif Covid-19 di Indonesia pertama kali dideteksi pada tanggal 2 Maret 2020 ketika dua orang terkonfirmasi dari warga negara Jepang. Sejak itu data per 2 September 2021, Indonesia telah melaporkan 4.109.093 kasus positif dan merupakan peringkat pertama di Asia Tenggara dengan 134.356 kasus kematian. DKI Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Tengah menjadi provinsi dengan kasus terpapar terbesar dibandingkan provinsi lainnya.

Pandemi Covid-19 berdampak pada banyak aspek kehidupan, salah satunya adalah dunia pendidikan. Selama hampir 2 tahun siswa belajar secara daring dan luring dengan berbagai kendala dan keterbatasannya. Tentunya kondisi ini tidak ideal untuk pembelajaran. Namun demikian, dapat disiasati dengan menerapkan konsep Merdeka Belajar.

Dalam Merdeka Belajar, sistem pendidikan yang sudah mengakar selama bertahun-tahun mulai dirombak dengan signifikan dan segera. Secara sederhana bisa diartikan bahwa di era pendidikan saat ini, para siswa diberi kebebasan mengakses ilmu. Sumber ilmu tidak hanya sebatas guru dan buku pelajaran, tetapi siswa diberi kebebasan untuk mengakses pengetahuan darimana saja, mulai dari internet, perpustakaan, media online dan lingkungan sekitar.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah sudah siapkah para pelaku dunia pendidikan untuk mengubah pola berpikir agar sejalan dengan konsep Merdeka belajar? Siapakah yang harus terlibat dalam mensukseskan konsep Merdeka Belajar? Bagaimanakah mengimplementasikan kemerdekaan belajar dalam keadaan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) seperti saat ini?

Merdeka Belajar adalah program kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia (dahulu Kemendikbud RI) yang dicanangkan oleh Nadiem Anwar Makarim. Konsep Merdeka Belajar membuka akses yang luas untuk mendapatkan ilmu. Ini berarti siapa saja bisa menjadi guru dan siapa saja bisa belajar dari siapapun. Konsep Merdeka Belajar harus dimaknai sebagai pemberian peluang bagi guru sehingga mereka berani mencoba, berekpresi, bereksperimen, menjawab tantangan, serta berani berkolaborasi untuk berkontribusi dalam melahirkan pendidikan lebih baik dan bermakna.

Guru, sebagai pihak terdepan dalam mensukseskan merdeka belajar, tentunya harus betul-betul mau menjadi pendidik yang sesungguhnya. Menjadi pendidik yang sesungguhnya berarti mau berada di luar zona nyaman, terus menerus belajar dan mengembangkan diri, mau merubah mind set yang sudah tertanam bertahun-tahun serta berani melakukan lompatan dan usaha untuk mewujudkan konsep merdeka belajar tersebut. Guru tidak bisa hanya sekadar menyelesaikan Kompetensi Dasar yang harus diajarkan kepada siswa.

Di masa pandemi ini pula, guru mau tidak mau dituntut untuk bisa beradaptasi dengan teknologi yang berkembang pesat. Keadaan pandemi menjadi sebuah blessing in disguise karena mempercepat kemajuan dan penguasaan teknologi untuk melaksanakan pembelajaran jarak jauh.

Seorang guru harus berdaya dihadapan siswa dengan kemampuannya dalam menguasai teknologi untuk pembelajaran. Pembelajaran jarak jauh jelas tidak bisa hanya sebatas mengirim dan menerima tugas melalui whatsapp, memberikan materi pembelajaran dengan mengirimkan tautan youtube. Kreatifitas guru dalam menyampaikan materi menjadi salah satu hal yang perlu ditingkatkan dalam menarik minat siswa untuk mengikuti pembelajaran. Metode pengajaran dengan model ceramah sudah menjadi hal yang harus ditinggalkan sama sekali, apalagi menulis berlembar-lembar catatan dan menghafal.

Guru dapat memfasilitasi peserta didik dengan memanfaatkan kelas maya secara gratis (seperti google classroom, Microsoft 365, edmodo, schoology, dan yang sejenisnya). Guru, dalam kelas maya, dapat berperan sebagai fasilitator, kolaborator, mentor, pelatih, pengarah dan teman belajar serta dapat memberikan pilihan dan tanggung jawab yang besar kepada peserta didik untuk mengalami peristiwa belajar yang real.

Esensi pendidikan bukan sekadar pada transfer ilmu, tapi memberikan pendidikan. Pendidikan lebih ke bagaimana membentuk karakter siswa yang berani, mandiri, cerdik dalam bergaul, beradab, sopan, berkompetensi, dan tidak mengandalkan sistem ranking yang menurut beberapa survei meresahkan anak dan orang tua saja. Karena setiap anak memiliki bakat dan kecerdasan dalam bidangnya masing-masing. Pendidikan dalam suasana belajar yang berbeda, tekanan pencapaian hasil yang semakin diminimalisir dan kebebasan untuk bisa mengeksresikan diri dan pikiran akan membentuk generasi muda yang semakin kompeten dan lebih siap menghadapi masa depannya.

Ki Hadjar Dewantara menyampaikan gagasannya tentang Tri Pusat Pendidikan yang menerangkan bahwa pendidikan berlangsung di tiga lingkungan yaitu, keluarga, sekolah, dan masyarakat. Ketiganya memiliki peran di dalam proses pendidikan, serta saling mengisi dan memperkuat satu dengan yang lainnya. Tanggung jawab pendidikan tidak hanya pada sekolah semata, namun termasuk juga keluarga dan masyarakat.

Kondisi pandemi ini sebenarnya menjadi sebuah titik yang semakin memperkuat jalinan ketiganya. Pelaksanaan PJJ akhirnya menuntut siswa untuk tetap berada di rumah dan mengikuti pembelajaran secara daring atau luring. Peran orang tua jelas menjadi hal yang sentral dan boleh dibilang sebagai kunci utama kesuksesan pelaksanaan PJJ. Orang tua menjadi kepanjangan tangan guru di rumah. Orang tua mendampingi anak dalam belajar, memantau bagaimana perkembangan pembelajaran dan tugas anak, serta menjadi penyambung komunikasi kepada guru terkait perkembangan peserta didik.

Satu hal lain yang begitu terasa adalah bagaimana orang tua menyikapi berbagai kesulitan yang terjadi selama pembelajaran jarak jauh ini. Mau tidak mau, orang tua, guru dan anak akan saling berbenturan ketika kita berbicara tentang tugas. Ada orang tua yang cukup bijaksana menyikapinya dengan menyemangati dan mendampingi anaknya dalam melaksanakan tugas sembari mengkomunikasikan keluhan yang ada kepada guru yang mengajar. Jika anak berada dalam lingkungan keluarga yang suportif seperti ini, niscaya anak akan menjadi pribadi yang semakin dewasa dan bijaksana. Namun, tentunya tidak semua orang tua bisa menyikapinya dengan positif. Ada kalanya kita mendengar orang tua memarahi anaknya, menjelekkan guru atas tugas yang dirasa memberatkan dan justru semakin menjerumuskan anaknya ke dalam beban pikiran yang berlebih. Anak yang berada dalam lingkungan keluarga yang seperti ini tentunya akan merasa jengah dengan keadaan dan bisa saja kemudian terjerumus ke dalam hal yang kurang baik. Disinilah peran keluarga menjadi sangat penting, yaitu sebagai teladan dan pendamping utama dalam pendidikan anak di sekolah pertamanya, yaitu rumah.

Kondisi lingkungan masyarakat yang tepat juga menjadi salah satu faktor pentingnya pembelajaran di masa pandemi. Kita tentu tidak bisa menuntut seorang anak agar bisa mengikuti pembelajaran jarak jauh dengan baik, menyelesaikan tugasnya dengan tepat waktu, ketika setiap saat dia melihat kawan sebayanya justru berkeliaran di luar dan bermain pada saat jam pembelajaran. Anak tentu tidak akan semangat belajar jika keadaan di lingkungannya tidak mengkondisikan suasana belajar yang baik dan nyaman. Lingkungan menjadi pengaruh yang sangat besar dalam berbagai aspek kehidupan. Lingkungan yang baik akan membawa seseorang ke dalam kehidupan yang baik. Sebaliknya, lingkungan yang kurang baik akan membawa seseorang ke dalam kehidupan yang kurang baik pula.

Pada akhirnya, kesuksesan pelaksanaan konsep Merdeka Belajar di masa pandemi ini akhirnya menjadi tanggung bersama. Tri Pusat Pendidikan yang disampaikan oleh Ki Hadjar Dewantara harus diperjuangkan bersama demi terwujudnya pendidikan yang ideal bagi anak-anak yang kelak akan menjadi generasi penerus bangsa.

Dinas Pendidikan dan Kebudayaan dapat menjadi jembatan yang menghubungkan ketiga pilar utama pendidikan ini dengan kehadiran dan program-program yang menjembatani seluruh komponen demi terwujudnya pendidikan yang adil, merata dan tentunya memerdekan belajar.

*Penulis adalah guru di SMP Kanisius Muntilan

Referensi:

Mustaghfiroh, Siti. (2020). Konsep “Merdeka Belajar” Aliran Progresivisme John Dewey. Jakarta: Jurnal Studi Guru dan Pembelajaran, Vol. 3, No. 1, March 2020

BP Paud dan Dikmas Sulawesi Utara. (2018, 28 November). Tri Sentra Pendidikan Gagasan Ki Hadjar Dewantara. Diakses pada 31 Agustus 2021, dari https://pauddikmassulut.kemdikbud.go.id/berita-430-tri-sentra-pendidikan-gagasan-ki-hajar-dewantara.html#:~:text=Salah%20satu%20gagasan%20beliau%20adalah,memerkuat%20satu%20dengan%20yang%20lainnya.

Itjen Kemdikbud (2021, 3 Mei). Secara Kontekstual Merdeka Belajar Itu Ideal. Diakses pada 1 September 2021, dari https://itjen.kemdikbud.go.id/public/post/detail/secara-konseptual-merdeka-belajar-itu-ideal

Id.Wikipedia.org (2021, 2 September). Pandemi Covid-19 di Indonesia. Diakses pada 2 September 2021, dari https://id.wikipedia.org/wiki/Pandemi_Covid-19_di_Indonesia

Merdeka.com (2021, 2 September). Data terbaru kasus Covid-19 di Indonesia 2 September 2021. Diakses pada 2 September 2021, dari https://www.merdeka.com/peristiwa/data-terbaru-kasus-positif-covid-19-di-indonesia-2-september-2021.html

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image