Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muh. Fajaruddin Atsnan

Indonesia Satu (Big) Data dan Hoax yang Meresahkan (Refleksi Hari Statistik Nasional)

Guru Menulis | Sunday, 26 Sep 2021, 04:20 WIB

OPINI

Indonesia Satu (Big) Data dan Hoax yang Meresahkan

(Refleksi Hari Statistik Nasional 2021)

Oleh

Muh. Fajaruddin Atsnan

Dosen Pendidikan Matematika UIN Antasari Banjarmasin

Masalah keakuratan data masih menjadi problematik klasik negeri ini. Hampir di setiap sektor, data yang ditampilkan seperti bersahabat dan baik-baik saja. Padahal situasi di lapangan menunjukkan situasi pelik akan masih ada data, baik data pangan, data kemiskinan, data pendidikan, hingga data penerima bantuan sosial (bansos) apapun itu labelnya, data penerimanya masih tumpang tindih. Sehingga menimbulkan keresahan, dalam masyarakat, bahkan di tengah kondisi sulit masa pandemi Covid-19 ini. Ironisnya, semrawutnya data (masih) terjadi di era big data.

Sengkarut Data

Suatu era yang sejatinya mendukung suatu teknologi pemrosesan pemrosesan, penyimpanan, dan analisis data dalam berbagai bentuk/format, dalam jumlah besar dan pertambahan data secara cepat. Suatu era yang memungkinkan pengolahan dan analisis data dalam jumlah yang sangat besar tetapi memerlukan waktu yang relatif singkat, dengan bantuan database relasional semisal SQL. Kita terus berharap, ada satu database bertajuk “Data Indonesia”, serta berharap partisipasi masyarakat untuk jujur sehingga membantu Badan Pusat Statistik (BPS) menghimpun data yang terpercaya.

Bantu BPS

Hingga saat ini, Badan Pusat Statistik (BPS) masih menjadi pemain tunggal yang diharapkan dapat memaparkan data-data yang sahih dan akurat. Peran serta seluruh masyarakat dapat diwujudkan dalam dua bentuk. Pertama, pelibatan masyarakat dalam membangun kesahihahan data statistik. Menyoal data-data statistik bukan hanya urusan BPS, tapi milik seluruh insan statistik. Ini yang harus diperhatikan sama seluruh masyarakat negeri ini harapan bangsa ini terselamatkan dengan data-data yang akurat. Data akurat analog dengan data yang dapat dipercaya. Dengan data yang dapat dipercaya, bangsa ini bisa terus berbenah.

Dalam ilmu statistik (statistika), suatu data dapat dipercaya apabila memenuhi syarat-syarat data yang baik, diantaranya, objektif atau sesuai dengan keadaan sebenarnya, mewakili atau mewakili sesuatu yang lebih luas (keterwakilan), memiliki tingkat kesalahan baku yang relatif kecil, sampai dengan tanggal atau data yang baik seyogyanya terus menerus (tidak kadaluwarsa), dan tentunya relevan atau data yang dihasilkan “wajib” ada masalah yang akan diselesaikan. Selain harus memenuhi syarat-syarat suatu data yang baik, suatu data yang baik harus diuji kesahihannya (validitas) dan keajegan/keandalannya (reliabilitas).

Kedua, mendorong para statistik untuk melakukan kegiatan statistik sesuai kaidah kaidah. Kegiatan statistik identik dengan kegiatan memasak (memasak). Ada tahap-tahapan yang harus dilalui sebelum didapatkan kesimpulan masakan itu enak atau tidak. Mulai dari belanja bahan, pemilahan bahan, proses memasak, memasak, memasak, hingga dinilaikan enak atau tidaknya. Kegiatan statistik pun demikian, dimulai dengan pengumpulan data, klasifikasi data, mengolah data, menganalisis data, menyajikan data, hingga menarik kesimpulan. Jika semua tahap dilakukan dengan jujur apa adanya, maka data yang baik dapat dipercaya. Namun, permasalahan sering muncul akibat ketidakpedean hasil olah dan analisis data, karena tidak sesuai dengan yang diangankan. Mengutak-atik data “terpaksa” dilakukan demi kesimpulan akhir yang happy ending. Padahal, data dari responden, seyogyanya didisplaykan sebagaimana hasil real asli yang diperoleh. Haram hukumnya, peneliti, pengumpul data, ataupun pensurvey untuk “menggoreng” data agar diperoleh data yang “menyenangkan”. Pelaku (sejati) statistik adalah mereka yang memaparkan data apa adanya, bukan ada apanya.

Literasi informasi

Selain masalah keakuratan data, saat ini kita juga dihadapkan pada tantangan banyak data atau berita atau informasi bohong. Derasnya arus informasi seolah memaksa kita untuk masuk dalam lingkaran berita dalam berbagai persepsi dan sudut pandang. Celakanya adalah ketika kita semakin sulit membedakan, mana berita yang benar dan mana berita bohong alias hoax. Ketajaman rasa dan pikir kita diuji manakala di waktu yang bersamaan, kita menyajikan sajian informasi dalam dua rasa yang berbeda.

Namun, rasa dan pikirnya seolah-olah cukup untuk memfilter keakuratan berita ataupun informasi yang menghampiri, jika tidak ditunjang kecerdasan logis dan sikap sikap. Hoax bak tongkat estafet yang selalu berpindah dari satu tangan penerima informasi ke tangan lainnya. Bahayanya tentulah ketika hoax berisi kebencian kebencian, berbau provokasi, pendeskreditan terhadap pihak atau golongan tertentu, yang lama-kelamaan dapat mengikis rasa persatuan dan kerukunan dalam masyarakat.

Berdasarkan data dari Kominfo, setidaknya ada 1.016 berita hoax yang membahas tentang virus corona (per 5/8/2020). Kondisi yang penting ketika kita semua sedang berjuang memutus rantai penularan, hingga langkah pencegahan dengan menjaga imun masing-masing, ada saja pihak-pihak yang memanfaatkan situasi sulit ini dengan berita bohong yang membuat masyarakat semakin gelisah, yang berdampak pada menurunnya imun tubuh.

Salah satu cara untuk perang melawan hoax adalah dengan memperkuat tingkat literasi informasi kita. Melawan hoax bukan hanya menjadi tugas Kominfo melalui pemblokiran situs web atau informasi yang terindikasi hoax, ataupun komunitas online seperti turn back hoax, Indonesia Hoaxes, Sekoci, dan Forum Anti Fitnah, Hasut, dan Hoax. Perang melawan hoax sejatinya menjadi tanggung jawab bersama, seluruh lapisan masyarakat, dengan cara meningkatkan literasi informasi. Kita betul, masyarakat negeri ini memang cenderung lebih cepat memercayai informasi atau berita tanpa melakukan konfirmasi, klarifikasi, dan filterisasi kebenarannya dan langsung memforward, menyebarkan, dan menyebarkan di akun medsosnya.

Silogisme sederhana dari Catts & Lau (2008), mengatakan bahwa jika masyarakat terliterasi maka mereka akan menyadari bahwa ada tiga tahapan merespon suatu informasi, mulai dari menyadari akan informasi, memperoleh informasi, kemudian mengembangkan mutu/kualitas informasi tersebut. Suatu informasi sejatinya dapat dibuat sendiri, digunakan secara etis dan efektif, serta dikomunikasikan. Jika ramai dengan hoax, maka masyarakat yang memiliki literasi informasi memadai adalah masyarakat yang mampu mencari informasi, membedakan, serta tidak menyebarkan hoax. Sedangkan literasi informasi yang memadai, dapat menghindarkan masyarakat dari kecenderungan perilaku cepat percaya pada berita atau informasi yang beredar tanpa menguji kebenarannya terlebih dahulu.

John F Kennedy pernah mengatakan bahwa “jangan cinta apa yang negara berikan, tapi cinta apa yang kamu berikan kepada negaramu”. Qoutes yang menyentuh kita yang cinta terhadap negeri ini. Para pelaku statistik, dapat berkontribusi untuk negeri dengan cara memaparkan hasil-hasil survei, hasil-hasil penelitian dan kajian apa adanya, tanpa syarat dan kepentingan pihak-pihak tertentu. Lantas, bagaimana dengan peran serta masyarakat? Tentu dengan ikut serta meningkatkan laju berita yang belum benar alias hoax, dengan meningkatkan kemampuan literasi informasinya. Semoga kita benar-benar siap dengan era big data, Indonesia satu data, dan bebas dari hoax yang meresahkan. Aamiin**

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image