Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Annisa Fadillah

CIVIS PACEM PARRA BELLUM: ANDAI PANDEMI PERGI, SECANGKIR KOPI TAK AKAN TERASA HAMBAR LAGI

Lomba | Saturday, 25 Sep 2021, 23:48 WIB

Menjalani hari-hari sebagai seorang mahasiswa adalah sebuah karunia semesta yang tidak terkira harganya. Menjadi maha dari siswa, menjadi penyambung lidah rakyat katanya, menjadi agent of change katanya, menjadi iron stock katanya. Namun, jika menilik pada realita di tengah pandemi yang tak kunjung usai sampai dengan hari ini dan sepertinya besok juga masih, maka sepertinya ‘penyambung lidah rakyat’, ‘agent of change’, ‘iron stock’, tidak lebih dari katanya.

Soe Hok Gie pernah berkata. “Mimpi saya yang terbesar, yang ingin saya laksanakan adalah, agar mahasiswa Indonesia berkembang menjadi “manusia-manusia yang biasa”. Menjadi pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi yang bertingkah laku sebagai seorang manusia yang normal, sebagai seorang yang tidak mengingkari eksistensi hidupnya sebagai seorang mahasiswa, sebagai seorang pemuda dan sebagai seorang manusia”. Penulis merasa, jika Soe Hok Gie melihat keadaan mahasiswa saat ini, Soe akan menangis karena mengetahui mimpi nya terasa gelap dan makin jauh tak teraih. Bagaimana bisa mahasiswa bertingkah laku sebagai seorang manusia yang normal, ketika kehidupan di tengah pandemi saat ini jauh dari kata normal?

Bagaimana bisa seorang pemuda yang baru menginjak umur 20 tahun tidak mengingkari eksistensi hidupnya sebagai seorang mahasiswa, jika bertahan hidup sebagai seorang manusia saja sudah terasa begitu sulit? Boro-boro memikirkan eksistensi sebagai seorang mahasiswa, sedang pikiran berkecamuk pada ekonomi keluarga, ayah yang di PHK, jualan ibu yang basi karena sepi pembeli, adik yang meminta android untuk kebutuhan sekolah daring, mungkin juga si bungsu yang merengek karena hanya bisa diberi air gula.

Mari sedikit kita menengok ke arah belakang, sebelum tamu tak diundang bernama COVID-19 masuk ke tanah air tercinta. Merupakan suatu hal yang lumrah sekaligus luar biasa, melihat mahasiswa hidup dan menghidupi ruang-ruang dialektika dalam bingkai demokrasi. Menikmati secangkir kopi di penghujung senja, bahkan sampai matahari terbit di keesokan harinya pun tetap menyeruput kopi ditemani beberapa gorengan panas, melihat sang surya beranjak tidur sembari mengkiritisi keadaan ibu pertiwi. Nikmat sekali rasanya menghirup aroma kopi hitam pahit dengan setengah sendok teh gula pasir di dalamnya sambil mengkaji buku-buku penuh retorika dan kajian intelektual. Menatap kepulan asap dari kopi hangat yang disuguhkan sembari berdiskusi perihal demokrasi negeri, sembari mengkaji pendapat para tokoh dan ahli, kemudian saling bertukar pandang, menghidupi ruang kosong dengan aroma nalar logika yang kritis dan penuh idealis.

Saat ini, secangkir kopi hangat dipenghujung senja itu seperti kehilangan ruh nya, kehilangan rasa manis dan pahit nya, kehilangan aroma pekat nya. Layaknya mahasiswa yang saat ini dipertanyakan idealisme nya. Ketika Tan Malaka mengatakan, “Idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh pemuda”. Maka, sesungguhnya saat ini pemuda berlabel mahasiswa itu telah jatuh miskin. Idealisme nya dipertanyakan di tengah pandemi ini. Secangkir kopi nya terasa hambar dan tak beraroma.

Andai pandemi pergi, ruang-ruang dialektika mahasiswa akan kembali hidup di tengah hiruk pikuk kehidupan. Andai pandemi pergi, sudut-sudut warung kopi di pojok kota akan kembali mendengar riuh retorika para mahasiswa yang penat dengan tugas kuliah. Andai pandemi pergi, mahasiswa akan mampu hidup dan menghidupi eksistensi nya, baik sebagai seorang mahasiswa maupun sebagai seorang manusia. Andai pandemi pergi, secangkir kopi hangat di penghujung senja, tak akan lagi terasa hambar. Diskusi dan kajian keilmuan mahasiswa dengan segala nalar kritis nya yang luar biasa akan mampu mengembalikan pahit manis nya kopi hangat yang tersuguh.

Pandemi meminta dan mengambil terlalu banyak. Andai pandemi pergi, belum tentu akan mampu dikembalikannya apa yang telah diambilnya secara paksa.

Namun, malang tak bisa ditolak pun untung tak bisa diraih. Andai pandemi pergi, tak lebih dari sebuah pengandaian. Seperti yang tertulis di dalam prolog buku Laut Bercerita karya Leila S. Chudori, “Matilah engkau mati. Kau akan lahir berkali-kali”. Matinya eksistensi dan idealisme seorang mahasiswa karena pandemi hari ini, akan melahirkan pemuda-pemuda, mahasiswa-mahasiswa yang berkali-kali lipat jauh lebih mampu membawa negeri ini menuju peradaban yang madani.

Civis Pacem Parra Belum. Bahwa untuk mencapai titik damai, kita harus melewati masa-masa sulit penuh peperangan. Hari ini, masa dimana secangkir kopi terasa begitu hambar, adalah peperangan dengan dinamika hebat yang mengguncang seluruh tatanan kehidupan yang mau tidak mau harus mampu kita lalui untuk mencapai titik damai. Mahasiswa akan terus berperang demi secangkir kopi yang tak akan lagi terasa hambar, berusaha sekuat tenaga untuk dapat kembali pada jati diri nya sebagai seorang manusia pilihan bergelar Maha.

Soekarno pernah lantang berkata, “Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia”. Tapi tugas pemuda hari ini tak perlu muluk sampai mengguncang dunia, melainkan bagaimana caranya mampu mengembalikan cita rasa dari secangkir kopi di penghujung malam, yang telah lama merindukan idealisme dan eksistensi mahasiswa, yang telah lama menantikan kembalinya diskusi-diskusi esensial mahasiswa mengenai kehidupan. Tugas mahasiswa hari ini adalah mengembalikan kembali apa-apa yang direnggut paksa oleh pandemi. Menghidupkan kembali muruah mahasiswa yang penuh dengan idealismenya.

Andai pandemi pergi. Maka, mahasiswa akan mampu kembali pada identitasnya sebagai seorang mahasiswa dengan segala arah gerak yang berperan dalam kehidupan bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat.

Andai pandemi pergi, malam-malam panjang mahasiswa akan kembali hangat dengan kopi hitam beraroma manis.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image