Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Fitri Nurlaeli

Dari Keterpurukan Ekonomi Hingga Kemalutnya Politik Negeri: Takdir-Nya Selalu Baik

Lomba | 2021-09-25 23:04:09

Hampir satu setengah tahun, pandemi virus Covid-19 telah merambah di tanah air Indonesia ini. Tak ada yang bisa mengelak bahwa memang semua lapisan masyarakat merasakan imbasnya; mulai rakyat bawah hingga pemerintah. Masalah-permasalahan internal yang mencuat pun semakin beragam, pelik, bahkan sebagiannya semakin tak masuk akal.

Masker penimbunan hingga bahan makanan oleh sebagian kecil masyarakat atas sempat terjadi pada masa awal virus covid-19 ini naik papan. Mungkin saat itu tak banyak yang mengira bahwa virus yang menyerang Kota Wuhan di China itu akan mampir ke tanah kepulauan ini. Virus yang cukup ganas; yang dapat menular dalam elusan raba dan embusan nafas serta dapat mematikan dalam hitungan hari; begitulah kiranya perkiraannya. Lantas rakyat panik, hingga ada yang saling berrebut memenuhi keperluan materil untuk tameng agar selamat.

Harga-harga bahan makanan pun langsung melonjak naik. Rakyat bawah semakinah, pun rakyat atas mulai berancang-ancang membuka tabungan. Adanya kebijakan sosial, juga membuat keadaan semakin terhimpit. Pencaharian semakin sulit; dunia seolah terasa sempit. Namun apa daya, hal itu memang menjadi salah satu ikhtiar untuk dianggap penyebaran virus yang sedang merebak.

Pemerintah pun tergerak untuk membantu, dari bahan pangan hingga memberikan uang tunjangan. Namun demikian, ternyata hal itu juga menyerot adanya konflik; dari fasilitas hingga sengketa ketidakmerataan. Tidak hanya pemerintah, masyarakat berada; lembaga-lembaga amal; organisasi-organisasi sosial; hingga para relawan; juga ikut andil saling mendorong bantuan pada masyarakat yang membutuhkan. Meski di samping itu, masih ada pula masyarakat tangan atas yang tak acuh dan enggan; atau masyarakat tangan bawah yang berpangku tangan dan menggalakkan cara-cara amoral untuk.

Tak hanya sektor ekonomi, sektor pendidikan pun mendapatkan imbas yang tak kalah banyak. Penerapan online sebagai dampak sosial, pembelajaran belum berhasil memberikan hasil yang lebih baik atau sama dengan pembelajaran tatap muka. Bahkan banyak yang mengecam dan merasa, bahwa pembelajaran model online justru menyulut lebih banyak masalah.

Seraut permasalahan itu, tidak bisa lebih banyak ditujukan kepada jajaran pemerintah sebagai pengayom utama negeri ini. Kritik, saran, ulasan, hingga kecaman pun terlontar dari mulut rakyat yang merasa kurang terayomi. Tanpa bisa dihalangi, perang mulut di media berselancar; saling balas kritik dan komentar; saling sebar pernyataan dan dugaan. Tentu, percekcokan di dunia maya ruangnya lebih luas, bebas dan frontal. Yang pada akhirnya, imbasnya akan tercemar juga di dunia nyata; di sektor pasar, bidang pendidikan, ruang publik, bahkan panggung politik.

. Bumi pertiwi terluka. Entah sampai kapan ia bisa bertahan. Pandemi ini, bukan satu-satunya puncak dari rantaian musibah yang menerjang. Musibah dan rintangan selalu ada; sebagai siklus alam kehidupan. Pandemi ini hanya disebut puncak, oleh mereka yang lahir dan ditetapkan berada di zamannya; yang tak pernah berdiri di masa-masa sebelumnya.

Bukan, tulisan ini bukan untuk membeberkan sekelumit buih persoalan itu. Telah cukup media-media pers yang memiliki hak dan tanggung jawab khusus untuk mengabarkannya. Namun ada sesuatu yang perlu dikonstruksi, ketika pandemi dijadikan alibi. Alibi bagi setiap penemuan, kegagalan, atau kemandegan yang tak sedikit melanda berbagai sektor negeri ini. Juga penting untuk tampilan sebagian kecil masyarakat; menyadarkan diri-diri yang tengah sibuk dan menanti, 'Kapan pandemi pergi?'; serta membarui hati yang lelah dan berangan, 'Andai ia segera pergi atau bahkan pernah ada'.

Kita tentu tahu, bahwa di tengah pedagang kecil merintih menghadapi dagangan yang tidak kunjung laku; kegiatan impor bahan pangan domestik masih tetap digencarkan. Pun ketika rakyat berteriak meraung-raung, menghadapi harga pasar yang terus melonjak; dana bantuan dari pemerintah malah tergerus tangan-tangan korupsi. Lalu di tengah rakyat kelabakan dihantui pemecatan pekerjaan; tenaga kerja asing justru didatangkan untuk ditempatkan.

Tak hanya itu. Ketika musibah kematian semakin hari semakin bertambah totalnya; kasus-kasus buruk buruknya kerusakan, melainkan bertambah semarak pula. Ketika bantuan dana pemerintah amatlah layak untuk disyukuri; berapa, dengki dan persengketaan masih saja menuai konflik di sebagian banyak rakyat pribumi. Di tengah waktu dan ruang belajar formal semakin terbatas; masih banyak para pelajar yang tak tergerak mencari jalan untuk terus berkembang, dan memilih permainan sebagai pelampiasan rasa bosan.

Lantas, masalah teratas yang terus memuncak hari ini, benarkah kita pantas menyalahkannya pada pandemi?

Tidak salah jika menengok sejarah. Ketika paceklik besar menimpa wilayah Hijaz, di bawah pemerintahan khalifah islam Umar bin Khattab ra Paceklik besar itu merontokkan seluruh bahan pangan, hingga wabah dan berbagai penyakit hampir menyapa sebagian besar penduduknya. Namun hal itu tidak memberikan jalan sedikit pun bagi kejahan ataupun tindakan kesewenang-wenangan. just masyarakat seluruh pemerintah saling bahu membahu, saling berlomba untuk membantu. Masyarakat kecil saling menyuapi makanan seadanya, serta saling mendahulukan kebutuhan sesamanya.

Maka setiap permasalahan sejatinya bukan serta merta berasal dari materi, namun dari jiwa-jiwa yang belum dilekati hikmah; dari sistem pemerintahan yang belum terjalankan secara benar, bijaksana dan sempurna. Seandainya berucap 'andai' diizinkan, maka klimat 'andai seluruh penduduk negeri mengerti dan men-cintai kebenaran dan persaudaraan' lebih baik dilontarkan daripada 'andai pandemi ini pergi'. Sebab sesulit apa pun keadaan, serumit apa pun permasalahan; jiwa-jiwa yang taat dan kuat memegang kebenaran pasti bisa menghadapinya dengan baik.

Tidak bisa tidak, pandemi membawa banyak hikmah untuk diresapi. Ia meng-ingatkan umat manusia tentang umurnya, ketika wabahnya merenggut tak sedikit jumlah populasi penduduk negeri. Ia pun mengingatkan untuk menjaga kebersihan, di saat tren mulai menularkan budaya kotor pada adab, agama dan tradisi. Ia juga mengingatkan untuk apik menjaga diri di dalam rumah, di tengah kehidupan luar begitu pembohong dan tak menjamin keamanan.

Pandemi ini ujian. Dan runtutan permasalahan darinya, adalah sekaligus takdir yang hadir dari cara kita menghadapinya. Tuhan selalu memberikan takdir yang terbaik dengan cara-Nya tersendiri. Adapun manusia diberi akal dan kemampuan untuk menerima dan menjalaninya dengan baik pula, agar kecerobohannya tidak mengusik takdir-Nya yang selalu baik untuk hamba-nya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image