Suami Yang Lalai Terhadap Kewajibannya Berdasarkan Perspektif Hukum Islam
Agama | 2022-05-24 12:13:19Menikah dini, walaupun mampu menghindari dari perzinaan. Namun tidak semudah seperti yang di bayangkan. Memang di zaman sekarang, banyak remaja-remaja yang menginginkan bergaul secara bebas, sering melakukan hubungan dengan lawan jenis yang tidak sewajarnya, sering terjadi seks bebas. Dalam hal ini menjadi salah satu pemicu terhadap terjadinya pernikahan dini.
Selain itu, pernikahan dini juga sering di sebabakan terkait perekonomian, beberapa orang tua memaksa anaknya untuk menikah di usia muda, karena orang tua tersebut tidak mampu membiyayai pendidikan sang anak. Namun ada beberapa orang tua yang menginginkan anak perempuannya yang memiliki usia sangat muda, dinikahkan dengan pria dewasa yang umurnya berjarak cukup jauh, namun memeliki perekonomian mapan, Para orang tua tersebut memiliki harapan agar anaknya mendapatkan kehidupan yang layak di masa depan.
Namun, tidak sedikit hal itu malah menjadi masalah dalam berekeluarga, karena umur yang selisih cukup jauh, akhirnya sang suami berlaku semena-mena terhadap istri. Di Daerah saya sudah banyak terjadi pernikahan dini, mereka menjalin rumah tangga, namun umur berselisih sangat jauh, akhirnya masalah dalam berkeluarga datang secara terus menerus. Salah satunya di sebabkan karena sang suami lalai terhadap kewajibannya. Hal ini telah di jelaskan, Dalam Q.S Al-Baqarah ayat 233:
Allah berfirman “ Dan kewajiaban ayah (suami) memberi makan dan pakaian kepada para ibu (istri) dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak di bebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. (QS.Al-Baqarah:233)
Selain itu, juga di jelaskan dalam hadits Sahih Rasulullah SAW :
Rasulullah SAW bersabda, “Dan mereka para istri mempunyai hak di beri rizki dan pakaian ( nafkah), yang di wajibkan atas kamu sekalian .” ( HR Muslim 2137).
Ayat dan hadits di atas menjelaskan bahwa, bagi suami yang tidak memberi nafkah terhadap istri, atau lalai terhadap keluarga, hukumnya haram dan berdosa. Suami harus memberikan nafkah, sesuai dengan kemampuannya masing-masing, namun harus bisa mencukupi kehidupan sang istri dan anak.
Selain itu tidak hanya nafkah secara lahiriyah yang tidak di berikan, namun terkadang nafkah secara batiniyyah juga tidak di berikan. Sehingga terjadilah keluarga yang tidak harmonis dan penuh dengan kesengsaraan. Dalam hal ini yang terkena dampak negative akibat keegoisan sang suami tidak hanya istri, melainkan anak yang cenderung merasakan keegoisan orang tuanya. Mungkin dengan suami tidak memberikan nafkah kepada sang istri, akan timbul keributan atau masalah dalam rumah tangga, hal ini yang menjadikan gagalnya sebuah pernikahan. Dan apabila keributan dilakukan secara terus menerus, dan di lakukannya di depan sang anak, hal ini akan menyebabkan pemikiran negative yang berkembang dalam pikiran anak, penurunan akademik, kecenderungan untuk terpengaruh hal buruk, tekanan psikologis dan kekhawatiranya kalau pertengkaran ini akan berujung pada perceraian kedua orang tuanya.
Padahal, seharusnya setelah menikah suami dan istri, harus bisa bekerja sama dari berbagai hal. Dalam Pasal UU Nomor 1 tahun 1974, mengatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai pasangan suami istri dengan tujan membentuk keluarga yang bahagia dan sejahtera berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa.
UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan,. Maka sebgai pasangan suami istri, yang harus utama di perhatikan adalah hak dan kewajibannya secara seimbang. Meraka saling beresepakat untuk menikah, jadi seharusnya mereka harus taat pada aturan-aturan agama dan Negara yang telah berlaku.
Dalam ajaran syariat Islam, perkawinan dilakukan sekali seumur hidup untuk membina kasih sayang dan mewujudkan kehidupan keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah sebagaimana yang terkandung dalam Qs. Ar-Rum ayat 21
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”(Qs. Ar-Rum:21)
Untuk mewujudkan kehidupan suami istri sebagaimana yang disebutkan dalam ayat tersebut, maka baik itu suami ataupun istri harus bisa memerankan fungsi dan tugas masing-masing dengan penuh rasa tanggung jawab. Antara suami istri harus bisa saling bekerja sama secara kompak dan berkesinambungan, saling pengertian antara satu dengan yang lain dan bisa menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban sehingga akan tercipta suasana rumah tangga yang aman, damai dan sejahtera. Pada gilirannya jika hal-hal tersebut bisa dijaga dan dilestarikan maka kehidupan rumah tangga menjadi harmonis dan kebahagiaan keluarga bisa diraih.
Kebahagiaan lahir dan batin sebagai tujuan akhir pernikahan yang termanifestasi dalam kehidupan keluarga yang sakinah, mawaddah dan wa rahmah harus dipahami untuk menggapai ridho Allah SWT. Untuk itu segala macam perasaan cinta, kasih dan sayang yang tercermin dalam sikap dan perbuatan harus dilandasi kesungguhan (keyakinan) untuk mendatangkan kebaikan dan menolak segala hal yang merusak dan berpotensi mengganggunya.
Penulis:
Dr.Ira Alia Maerani, S.H.,M.H (Dosen Fakultas Hukum Unissula)
Peni Aprilia ( Mahasiswa S1 Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia, Unissula)
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.