Mengandaikan Pandemi Pergi: Memeriksa Logika Negara, Agama, hingga Covidiot
Lomba | 2021-09-25 21:49:39Kalaulah ditanya siapa dan lembaga mana yang paling menjengkelkan (bisa jadi peyumbang banyak masalah) selama pandemi, saya tidak segan-segan mengatakan ketiganya: Negara, Agama dan kelompok Covidiot.
Tentu saja anda boleh menilai saya melakukan simplifikasi dengan cukup serampangan. Tidak masalah, bagi saya memaksa menyembunyikan realitas sebab keharusan âmenjaga stabilitasâ sama-sama naifnya dengan sikap simplikatif seperti yang saya lakukan.
Daripada berputar-putar disana , mari coba kita diskusikan dan periksa argumentasi tersebut.
Kenapa Negara?
Sejak awal pandemi, otoritas kesehatan dan kelompok ilmuwan telah mengingatkan pemerintah mengenai bahaya Covid-19 yang telah terkonfirmaosi di Wuhan. Alih-alih yang kita dengar adalah sikap âawasâ dari pemerintah, sikap mereka justru jauh dari harapan. Apalagi narasi-narasi yang dikeluarkan oleh beberapa oknum pejabat negara malah terkesan meremehkan peringatan para ilmuwan.
Sejak Covid-19 terkonfirmasi di Wuhan semua orang tahu apa yang seharusnya dilakukan pemerintah: menutup segala kemungkinan akses virus masuk ke dalam negeri. Tapi bukannya sikap itu yang dilakukan, para pejabat negara malah bersikap sama simplikatifnya dengan yang saya lakukan lalu berkata dengan jemawa: âpandemi tak akan masuk di Indonesia, karena perizinan kita sulitâ.
Hingga akhirnya saat kasus pandemi pertama teronfirmasi di Indonesia, kegagapan negara justru terlihat, desakan kebijakan lockdown dari publik yang justru mengantarkan negara pada masalah baru: keharusan mempertahankan stabilitas perekonomian nasional serta keharusan percepatan penanganan pandemi. Dilema ini sebenarnya bisa saja digagalkan jika pemerintah cukup percaya diri dengan kekuatan ekonomi nasional dan menutup akses awal masuknya virus ke dalam negeri.
Ketidakpercayaan publik terhadap cara negara menangani pandemi nampak pula terlihat tatkala beberapa kebijakan yang ditawarkan justru berbanding terbalik dengan apa yang diharapkan. Alih-alih negara menjadi instrumen penting penanganan pandemi, justru perilaku beberapa lembaga negara malah semakin menampakkan kegagalan mereka, dari Bansos yang dikorupsi hingga komunikasi publik pemerintah yang buruk.
Kenapa Agama?
Saya ingin memulainya dengan adagium terkenal Karl Marx: âAgama adalah candu masyarakatâ sengaja tidak saya lanjutkan dengan kalimat Marx setelahnya, bagi saya kalimat pertama itu saja sudah cukup merepresentasikan sikap-sikap umat beragama di tengah pandemi.
Dari awal pandemi, ikhtiar warga negara dalam melawan penyebaran virus seringkali âdiusikâ oleh narasi agama. Tidak tanggung-tanggung narasi agama yang âbermasalahâ alih-alih keluar dari seorang awam, ia justru dilontarkan oleh banyak tokoh agama yang dianggap berilmu.
Agama adalah institusi kedua setelah negara yang otoritasaya barangkali paling dipercaya masyarakat Indonesia. Demikian sudah sepatutnya agama memegang peran penting menciptakan iklim penghargaan warga umat dalam upaya penanganan pandemi. Sayangnya yang terjadi justru sebaliknya agama malah menjadi penyumbang banyak masalah bahkan nyaris sepanjang pandemi. Sebutlah misalnya himbauan mengenai keharusan menjaga jarak, menunda beribadah di tempat ibadah yang memancing kerumunan, hingga masalah narasi bernada apokaliptik: âVirus ciptaan Tuhan, takutlah pada tuhan jangan pada virusâ
Polemik agama adalah polemik yang melibatkan keyakinan ilahiyah, tentu saja keyakinan ilahiyah tidak sepatutnya dipaksa untuk disakralisasi pada kehidupan duniawi. Keselamatan nyawa merupakan urusan dunia dan tidak berhubungan sama sekali dengan keyakinan ilahiyah. Doktrin monolitik yang lahir dari satu agama tidak boleh dipaksa menjadi standart publik. Agama bagaimanapun juga harus patuh pada kesepakatan -kesepakatan serta moralitas publik ditengah pandemi: patuh pada sains, otoritas penanganan pandemi: baik pemerintah maupun tenaga kesehatan.
Kenapa Covidiot?
Penanganan pandemi juga seringkali dibuat bising oleh suara-suara covidiot. Saya termasuk orang yang seringkali merasa terganggu dengan kebisingan mereka. Bagaimana mungkin ditengah ribuan atau bahkan jutaan kasus Covid-19 para covidiot justru keluar dengan narasi irasional bahwa pandemi hanyalah konspirasi elite global, ajang bisnis, virus buatan hingga senjata biologis yang sengaja diciptakan.
Marilah kita tanya kembali ekspektasi Hebermas mengenai bagaimana seharusnya ruang publik menciptakan iklim kebebasan dan perdebatan atas asas-asas rasional-ilmiah malah hendak digagalkan oleh argumentasi cocoklogi dari kelompok ini?
Kelompok ini kerapkali mendaku sebagai kelompok yang bebas dalam berfikir namun disisi yang lain mereka sama sekali tidak punya metode yang lain selain cocoklogi dalam mempertanggung jawabkan argumennya. Lebih menyebalkan lagi kita dipaksa percaya terhadap apa yang mereka sampaikan sementara mereka hanya menawarkan narasi âleluconâ nan spekulatif?
Ketiga persoalan tersebut : Negara agama dan covidiot , dalam beberapa kasus kerapkali berkait erat satu sama lain. Misalnya narasi agama yang kerapkali dijadikan alat oleh kelompok Covidiot untuk melegitimasi narasi mereka, atau kebijakan pemerintah yang tumpang tindih dan seringkali digunakan oleh beberapa masyarakat sebagai alasan untuk kemudian bersikap denial, sebutlah narasi semacam: âMasjid ditutup, kok Mall dibuka?â. Ia seakan hadir sebab buruknya percakapan publik kita.
Bagaimana mungkin kita mengandaikan pandemi berakhir? jika ketiganya tidak juga berhenti memproduksi narasi serta sikap denial , inkonsisten, dan fanatis. Ikhtiar menciptakan iklim solidaritas adalah sebenar-benarnya harapan semua orang. Mengandaikan pandemi berakhir berarti harus berani pula mengandaikan bahwa narasi yang tidak bisa dipertanggungjawabkan dan bermasalah harus segera diakhiri. Menurut saya, hanya dengan cara demikian solidaritas melawan pandemi tercipta agar berakhirnya pandemi tidak hanya berada dalam ruang imajinasi semata.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.