Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Abdul Muhaimin

Pandemi: Sebuah Ironi dan Harmoni

Lomba | Saturday, 25 Sep 2021, 21:19 WIB

Jogja terbuat dari

rindu, pulang, dan angkringan.

Penggalan puisi di atas begitu sederhana namun dapat mengguncang jiwa siapa saja yang membacanya. Seorang dengan Hasrat menggebu atau yang dalam prinsip hidupnya tak mengenal kata kecuali perjuangan dan semangat berkobar pasti akan melunak bak besi dalam api. Apalagi ia yang berhati lemah lembut, pasti jiwanya serasa diremas-remas. Begitulah si penyair Joko Pinurbo bermain dengan kata-kata, bahkan rasa.

Seorang yang belum pernah menginjakkan kakinya di Jogja pun dengan membaca bait itu bakal merasakan suasana, aroma, serta melankolia akan daerah itu. Jogja yang menyisakan kenangan bagi siapapun yang mampir, selalu memancing Hasrat untuk kembali; seperti ada sepotong hati yang tertinggal. Mungkin seperti itulah perumpamaan rasa kehilangan, apa pun itu. Termasuk di sini adalah pandemi.

Lalu di mana letak romantisme-nya? Jika dilihat sejak dari muncul, penyebaran, hingga perubahan yang dibuatnya, maka tak ada yang menyenangkan, sama sekali. Bahkan yang tergambar hanya kesedihan, kekhawatiran, dan kemarahan seluruh penduduk dunia, khususnya di negeri tercinta Indonesia.

Sebelumitu, izinkan saya memberi perumpamaan. Mari kita rasakan bagaimana jika seseorang atau kita sendiri terjebak dalam sebuah jurang yang paling dalam, maka keluar jurang adalah tuntutan diri, sebuah keharusan yang mesti dicapai, apapun caranya. Tapi, setelah pelbagai cara dan teori, baik yang rasional (mungkin dilakukan) atau yang tak masuk akal sekalipun seperti berandai menyembul sepasang sayap lalu terbang dengan mudah, tak kunjung menemui titik terang. Saat itulah kita putus asa, kehilangan cara dan menyalahkan siapa saja, bahkan tuhan. Konsekuensi sudah tak lagi menjadi bahan pertimbangan. Dan berandai menjadi salah satu jalan bahwa di situ ada harapan yang nyaris hilang.

Tentu kita tak lupa terhadap firman Allah Swt. dalam al-KitabNya bahwa Ia menguji hambanya sesuai kadar kemampuannya. Mafhum mukhalafah-nya (pemahaman terbalik) adalah jika sekiranya seorang hamba, manusia, tak mampu akan suatu ujian, Allah tidak akan melampaui dari keterbatasan hambaNya tersebut.

Islam mengajarkan umat untuk selalu husnuzan, berbaik sangka bagaimana pun kedaannya. Pandemi yang terus berlanjut hingga kini, kita yakini sebagai ujian Tuhan. Dan ingat, Tuhan tak akan menguji hambaNya melampaui ukuran kemampuan hamba. Maka percayalah kita di sini masih mampu. Lalu benarkah kita benar-benar mampu?

Kekacauan yang Sama

Slogan-slogan bermunculan sejak itu, sejak virus covid-19 (dirasa benar-benar) ada dan berbahaya. Bak kampanye pemilu, pamflet, banner, dan semacamnya dengan penganjuran tentang pemakaian masker dan pembatasan jarak fisik dan sosial, tersebar di mana-mana. Salah satunya, untuk tak mengatakan utamanya, adalah“pandemiadalahtugaskitabersama”. Pun untuk tidak mengumpat jelek, slogan ini klise sekali.Seperti janji-janji politikus yang berkampanye mengeruk suara.

Kerja tim, gotong royong, atau bekerja Bersama sudahmenjadi prinsip manusia sejak dulu. Bangsa Indonesia sebagai negara majemuk yang menyatukan perbedaan di dalamnya, konsep di atas tentu telah mandarah daging sejak nenek moyang.Namun, bagaimana andai yang mengajak Bersama lari sembunyi-sembunyi? tentu itu jauh dari kemungkinan. Seorang raja atau penguasa punya moral tinggi untuk disebut sebagai pengecut. Entahlah kini. Untuk menjaga derajatnya mereka menghalalkan berbagai cara (banyak) untuk kebaikan dirinya, dan (sedikit) untuk orang lain.

Tentu tak lekang dari ingatan bagaimana seorang Menteri yang memiliki tugas penting di sektor ini (Kesehatan) menghilang ditelan bumi setelah kepanikan di awal penyebaran virus kala itu. Dan itu juga menjadi awal kekacauan, karut marut, dan ketidakharmonisan dalam skala pemerintahan. Sedang rakyat terlihat santai saja di tengah pilihan antara percaya dan tidak akan pandemi.

Perpecahan masyarakat, antara yang percaya dan tidak, berdampak terhadap, salah satunya, sistem karantina wilayah. Pada 30 maret 2020, Jakarta mengajukan karantina wilayah yang ternyata baru disetujui pada 7 juni 2020. Sedang di wilayah lain, tanpa diminta pemerintah memerintahkan karantina. Apakah itu kecerobohan? Tentu tidak. Di saat genting seperti pandemi dengan ancaman mati, secara normal, manusia akan selalu sigap waspada. Yang terjadi, dari saking takutnya melakukan kecerobohan mereka pun saling lempar tanggung jawab. Lalu kepada siapakah slogan di atas ditujukan?

Di titik itu, kepercayaan antara pemerintah dan publik hilang. Hubungannya tak harmonis. Saling menyalahkan. Rakyat berdemo mengekspresikan kekecewaannya. Pemerintah berkilah dengan pencitrannnya. Irma Hidayana, inisiator platform lapor covid-19, benar.seharusnya pemerintah harus mulai mengakui kondisi karut marut ini dan mengakhiri komunikasi pencitraan yang seolah semua baik-baik saja.

Momen

Warrant Buffet, pengusaha yang menempati peringkat kesembilan orang terkaya dunia menurut majalah Forbes,dalam kesempatan di sebuah acara talkshow mengatakan bahwa dunia tak siap menghadapi situasi darurat.

Milyader itu juga berkata bahwa pandemi tak akan berhenti sampai di sini, entah kapan. Di masa depan akan terjadi pandemi serupa sebab kemajuan teknologi, bahan kimia, nuklir, dan industri. Dan yang terjadi saat ini bukanlah yang pertama kali, dulu di masa Nabi pun sudah ada, bahkan mungkin beratus tahun sebelum itu. Kita hanya perlu memetik pelajaran bahwa, di balik ironi ada harmoni (keserasian, keselarasan) yang wajib kita jaga dan perkuat.

Tentu dibalik satu kejadian atau peristiwa ada momen dan satu titik yang kerinduan akan menjadi keniscayaan. Seorang mahasiswa yang belajar daring saat ini suatu nanti, saat kuliah sudah tatap, ia akan merindukan momen belajar daring-nya yang santai; belajar sambil tiduran, rokokan dan semacamnya. Sayangnya mengulang satu momen manis yang sudah lalu, tak akan sama, mungkin asin atau malah hambar rasanya.

Maka dari itu, kita tak perlu bersedih ataupun marah-marah tanpa sebab. Ini tugas kita bersama. Kita hanya perlu tahu posisi tugas kita. Pemerintah sebagai pengaturnya, harus bisa dipercaya. Agar kita, seluruh warga Indonesia, percaya. Ingat bahwa sebutir kepercayaan yang hilang akan berimbas kepada sekarung keharmonisan, bahkan mungkin kehancuran dunia. Nauzubillah.

Lagi kita tidak perlu berandai “jika saja pandemi pergi atau tak terjadi maka dunia akan baik-baik saja.” Ingat kata Buffet lalu belajar untuk tak terjatuh dalam jurang dan kebingungan yang sama kedua kali dan seterusnya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image