Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Leonardo

WFH AKANKAH JADI LUMRAH

Gaya Hidup | Saturday, 25 Sep 2021, 18:36 WIB

1. Mengerjakan dan melaksanakan pekerjaan sesuai tugas dan fungsi masing-masing sebagaimana tercantum dalam rencana kerja terlampir di rumah.

2. Selama menjalankan Work From Home (WFH), agar komunikasi dapat tetap berjalan sebagaimana mestinya.

Begitulah kira-kira bunyi surat tugas yang saya terima sepekan ke belakang. Surat tugas yang diterbitkan atas dasar antisipasi dan pencegahan penyebaran COVID-19, surat yang mengizinkan saya untuk bekerja dari rumah sekaligus mengamankan daftar kehadiran saya sebagai karyawan di samping tentunya mengamankan saya sebagai manusia dari ancaman cepatnya penularan COVID-19 yang sejak tanggal 2 Maret 2020 secara resmi diumumkan oleh Presiden Republik Indonesia telah memulai debutnya di Indonesia, tepatnya di Kota Depok (republika.co.id/berita/q7fawq377/jokowi-bekerja-dari-rumah-bukan-untuk-liburan).

Sumber Foto : https://unsplash.com/photos/LDcC7aCWVlo

Yang Mudah Datang, Malah Segan Pulang, Kini Susah Hilang

Dulu di nanti-nanti tapi sekarang panik dijauhi, begitulah kira-kira ungkapan yang menggambarkan suasana ruang maya maupun (mungkin) nyata di Indonesia. Bagaimana tidak, atas dasar guyonan demi konten viral di media sosial maupun sikap skeptis atas dasar ilmiah perihal ada atau tidaknya jenis virus corona dari Wuhan, China ini ke tanah air, mengingat santai dan penuh kelakarnya tanggapan dari sebagian rakyat Indonesia menghadapi ancaman ini yang akan menginjak 2 tahun pandemi. Tidak bermaksud menafikkan. Namun, pada kenyatannya, kita lebih memilih acuh tak acuh pada protokol kesehatan yang telah diterapkan pemerintah. Babakan dalam beberapa kasus, pembatasan-pembatasan yang dilakukan pemerintah malah menjadi dongeng semata. (republika.co.id/amp/qw6v6y377)

Dilansir dari laman resmi penanganan pandemi COVID-19 pemerintah Indonesia (covid19.go.id), sampai saat ulasan ini ditulis, tercatat sudah sebanyak 1732 positif terinfeksi, 3746 orang dinyatakan sembuh, dan 123 orang meninggal. Memang jika dibandingkan dengan beberapa negara lainnya jumlah orang yang tercatat positif terinfeksi di Indonesia belum seberapa. Namun, perlu digarisbawahi, dengan tebal bahwa laju kematian yang ada termasuk yang tertinggi.

Serba-Serbi Urusan Kini Dalam Jaringan

Genap sepekan yang lalu, penanganan COVID-19 di Indonesia khususnya di Kota Medan meningkat dan jadi hal serius. Kelakar dan candaan dari petinggi-petinggi pemerintahan nyaris lenyap sudah diganti raut terkejut dan susah. Skema penularan virus yang menyebar lebih cepat dalam kepadatan manusia di ibukota dan kota-kota penyangganya membuat pemerintah setempat sesegera mungkin mengeluarkan kebijakan untuk mengurainya, salah satu langkah awalnya adalah dengan menerapkan pembatasan sosial / social distancing.

Tepat sepekan yang lalu saya mendapat surat edaran dari tempat saya bekerja. Edaran tersebut secara garis besar berisi langkah yang diambil dalam menangani penyebaran COVID-19 yang makin tak terkendali. Sebagai imbasnya akan diberlakukan skema working from home (WFH)/ bekerja dari rumah untuk seluruh karyawan yang memungkinkan, semaksimal mungkin mengurai kepadatan gedung hingga batas minimum yang memungkinkan.

Ada kesal juga maklum setelahnya, kesal karena laporan yang telah saya susun terkait pekerjaan saya hingga tiga bulan ke depan bakal berantakan (yang padahal isinya akan banyak perjalanan — mungkin agak jalan-jalan), maklum karena memang secara ilmiah itu cara terbaik dalam mengurai dan membantu mengendalikan penyebaran COVID-19 yang makin mengkhawatirkan. Siapa sih yang mau jadi angka di data corona? Lebih visioner lagi yang mau meninggal tidak diantar seperti sebagaimana mestinya dan ditangani semacam limbah infeksius dan berbahaya?

Masih dengan asas yang sama, mau tidak mau kini semua urusan harus disesuaikan, hampir segala urusan kini diselesaikan dalam jaringan. Pada penerapannya, meski zaman digital dengan teknologi komunikasi jarak jauh dan tatap muka mutakhir secara online (daring) telah mulai setidaknya sedekade namun masih terasa kecanggungan atau kagok teknologi, terutama saya rasakan sendiri di tempat kerja yang sebagian besar urusan masih dijalankan bersama generasi yang lebih tua dan bukan generasi native technologi seperti saya.

“Hallo, suara saya terdengar?”, “videonya dimatikan saja, pak”, “suaranya menggema kemana-mana, bu”, “tolong mikrofonnya di-mute sejenak saat tidak berbicara”, “ini membagi layarnya bagaimana?”, dan sebaginya.

Perlahan Tapi Pasti Transisi?

Sekesal-kesalnya saya akan agenda yang jadi berantakan dan harus segera disesuaikan, saya masih lebih beruntung karena memiliki privilese untuk bekerja dari rumah, menjadi pahlawan justru dengan tanpa kemana-mana dan melakukan apa-apa, lebih beruntung lagi tanpa adanya potongan upah selama menjalankannya. Karena pada kenyataannya, masih banyak karyawan yang tidak diperbolehkan kerja dari rumah, mengalami pemotongan upah ketika kerja dari rumah, atau tetap dipotong upahnya walaupun masuk kerja seperti biasa sebagai imbas dari kunjungan COVID-19 di negara ini (asumsi.co).

Realita ini membuat saya tersadar, bahwa dengan melimpahnya sumber daya teknologi dan akses maya, tak lantas memudahkan transisi yang ada. Tidak semua pekerjaan bisa dilakukan dari rumah, dan tidak semua pekerjaan yang seharusnya bisa dikerjakan dari rumah pun bisa memeperoleh “izin” tanpa risiko potong upah. Lagipula ada sisi lain yang tak dapat digapai dengan skema bekerja dari rumah, sejak tidak semua bisa sesuai dan menyesuaikan diri sebagai pengelana di dunia digital. Sebagian besar pekerjaan dan pelakunya masih lebih memilih cara yang konvensional.

Aku mulai nyaman, Berbicara pada dinding kamar

Menurut Reichenberger, menjadi pengelana digital adalah sebuah kesempatan yang menawarkan gabungan dari tiga jenis kebebasan, yaitu kebebasan profesional, spasial, dan personal. Meskipun pengelanaan digital membawa angin segar di tengah pekerjaan konvensional, realitanya pilihan hidup ini pun memiliki berbagai konsekuensi. Berdasarkan penelitian yang melibatkan 22 informan, Reichenberger (2017) mengidentifikasi bahwa para pengelana digital menghadapi tekanan finansial, terutama ketika awal merintis karier. Selain itu mereka juga mengalami kesulitan untuk menemukan keseimbangan antara bekerja dan aktivitas waktu luang ketika batasnya semakin samar (Reichenberger, 2017). Ada pula yang merasakan kekosongan perasaan karena merasa tidak berkontribusi bagi kehidupan masyarakat (Reichenberger, 2017).

Tidak Ada Opto Ergo Sum Hari Ini

Terlebih dalam situasi pembatasan gerak di ruang public seperti sekarang ini, bekerja dari rumah bukan merupakan sebuah pilihan melainkan jadi semacam keterpaksaan yang mau tidak mau harus dijalankan, demi kepatuhan dan keberhasilan pengendalian pandemic COVID-19.

Selama masa pembatasan sosial atau social distancing ini beragam juga unggahan di dunia maya, termasuk teman-teman saya yang mengeluhkan semua-semua yang harus diselesaikan dalam jaringan, segala tugas kuliah daring yang lebih banyak dari saat kuliah luring, dan masih banyak uanggahan konyol lain bertebaran di dunia digital. Bagi saya sendiri, tidak masalah untuk menjalankan skema bekerja dari rumah ini. Namun, yang menjadi kendala saat ini adalah karena itu bukan pilihan melainkan keterpaksaan. Tidak ada opto ergo sum* hari ini.

*aku memilih maka aku ada.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image