Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Mahdiya Az Zahra

Pandemi Meluruh Bersama Keserakahan Manusia

Lomba | Saturday, 25 Sep 2021, 11:11 WIB
Ilustrasi Parapuan Foto 2021-07-26 02:00:36

Sebagaimana yang kita ketahui, pandemi ini mengajarkan kita banyak hal. Di awal tersebarnya pandemi di seluruh dunia, seluruh kegiatan manusia dihentikan. Transportasi dan pabrik sebagai penyumbang polusi terbesar berhenti, kapal pembawa minyak bumi berhenti, pekerjaan berhenti, sekolah dan segala aktivitas dihentikan. Untuk pertama kalinya kita merasakan udara yang sangat sejuk, tanpa polusi, tanpa tercemari.

Bukan hanya udara, ambisi kita pun hilang. Semua target pasar, target diri, studi, pekerjaan, terpaksa ditunda. Untuk pertama kalinya kehidupan kita sebagai manusia terhenti, kita dipaksa menahan semua keinginan dalam diri. Yang semula menyenangkan, perkumpulan menjadi menyeramkan. Manusia sebagai makhluk sosial dipaksa berhenti bersosialisasi. Bagi mereka yang extrovert hal ini sulit, namun sebenarnya bagi yang introvert hal ini adalah anugrah. Mereka tak perlu memaksa diri untuk bersosialisasi.

Namun yang lebih penting dari itu semua adalah hasrat dan ambisi manusia harus dipaksa berhenti. Manusia yang sering mengeruk tambang tanpa ampun, membakar dan membuka lahan seenaknya, mendirikan pabrik semaunya, berbisnis kotor dengan mengorbankan rakyat kecil, mereka semua dipaksa berhenti. Meski sebentar, namun hal ini berdampak.

Pandemi ini mengingatkan kita tentang apa yang sebenarnya kita cari? Apakah kehidupan harus semenakutkan itu? Apakah kehidupan harus setamak itu? Apakah uang dan kekuasaan adalah segala-galanya? Pada akhirnya jika pandemi menyerang, kita hanya bisa diam. Pembukaan lahan tidak ada gunanya jika kehidupan tak berjalan. Siapa yang butuh lahan besar ketika yang dibutuhkan hanya makanan untuk bertahan hidup. Lahan sawit yang dibukan lebar milik perusahaan itu pada akhirnya tidak berguna karena orang memilih bertahan hidup.

Mungkin dengan menghindari gorengan, atau membuat minyak sendiri entah dari kelapa atau sawit. Yang terpenting kebutuhan utama saja. Pendidikan bukan yang utama, yang terpenting adalah sehat dan bertahan hidup. Persaingan sekolah mahal menjadi tak berarti. Kita hanya perlu belajar untuk bertahan hidup, tak perlu menghafal rumus yang tidak terpakai untuk bertahan hidup. Penelitian tentang luar angkasa mungkin tak berarti. Kita hanya perlu hidup untuk masa ini di bumi ini.

Pandemi mengingatkan kita akan kehidupan fana, betapa lemah dan kecilnya kita. Kematian menjadi berita harian hingga menunggu giliran. Jika demikian apa lagi yang ingin kita keruk, tak ada gunanya seluruh kekuasaan dan kekayaan jika kita mati saat ini. Andai pandemic pergi, bisakah kita menghentikan seluruh ketamakan dan keserakahan diri?

Bisakah kita berhenti membuka lahan tanpa memperhatikan kearifan lokal. Bisakah kita bertahan sehari demi sehari seperti saat ini, dan terus belajar memperbaiki diri? Saya berimajinasi jika seandainya kita bisa hidup selaras dengan alam. Menggunakan seperlunya, saling membantu satu sama lain, menolong dan berkorban untuk orang lain. Bukan malah sibuk mengurusi keuntungan pribadi. Mencari cara curang agar terhindar dari pajak, membiarkan orang miskin terjera pajak.

Bisakah kita hidup dalam ruang hijau, membangung seperlunya, menambang seperlunya. Bisakah kita memperbanyak lahan hijau dan hidup bahagia dengan bertani. Bisakah kita berhenti berambisi dengan pamer pekerjaan bergengi, pamer perusahaan bergengsi namun berisi eksploitasi?

Andai pandemi pergi saya membayangkan hidup dengan ketenangan jiwa, tanpa ada perusakan dan eksploitasi. Baik eksploitasi alam maupun manusia. Andai pandemi pergi, saya ingin para orang kaya itu berhenti menyiksa rakyat kecil. Pembuat kebijakan berhenti semena-mena, memerhatikan rakyat, karena rakyat adalah pemegang kekuasaan tertinggi di negara ini. Pajak dibayarkan oleh rakyat, namun rakyat pula yang paling menderita. Bisakah kita membuat kebijakan dengan melihat rakyat dan alam?

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image