Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Mareza Sutan

Agar Kembali pada Saf-saf yang Sempat Ditinggalkan

Lomba | Saturday, 25 Sep 2021, 07:58 WIB
Kondisi saf Masjid Agung Al-Falah Jambi pada masa pandemi Covid-19, Senin (12/4/2021). Foto: Mareza Sutan A J

Saf-saf tidak seramai sebelum pandemi. Terhitung, sekitar 21 bulan sejak kasus pertama Covid-19 diumumkan di Indonesia, ada kewaswasan ketika berinteraksi dengan orang lain. Pemerintah mengeluarkan kebijakan mengenai prosedur pelaksanaan kegiatan di rumah ibadah. Ada beberapa kebijakan yang membuat pelaksanaan kegiatan di tempat ibadah terbatas.

Untuk menangani pandemi Covid-19, pemerintah telah mengeluarkan sejumlah produk hukum, mulai dari Keputusan Presiden (Keppres), Peraturan Presiden (Perpres), Peraturan Pemerintah (PP), Instruksi Presiden (Inpres), hingga Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Belum lagi kebijakan di daerah yang tujuannya sama: menangani wabah virus corona. Semua kebijakan itu merupakan respons atas eskalasi masalah yang dihadapi, baik dari sisi kesehatan, birokrasi, politik, mau pun keuangan negara dalam penanganan Covid-19 ini.

Di satu sisi, pemerintah berupaya memilih dan menetapkan kebijakan fiskal yang tepat dan efektif. Seperti yang dilihat sejauh ini, pemerintah berupaya untuk menerapkan kebijakan ekspansif hingga kebijakan fiskal kontraktif. Kebijakan itu tujuannya lebih kepada untuk mempertahankan perekonomian di Indonesia, meski pada akhirnya Indonesia juga sempat mengalami resesi. Hal ini diperparah dengan adanya beberapa kekurangan dalam pelaksanaan kebijakan di lapangan. Namun, terlepas dari itu, setidaknya pemerintah telah berupaya untuk mengatasi persoalan Covid-19 yang mewabah di negeri ini.

Tidak bisa dipungkiri, pagebluk Covid-19 berdampak pada berbagai sektor, terutama kesehatan. Sejak awal pandemi, pemeritah telah mengeluarkan kebijakan agar masyarakat menerapkan 3M di lingkungan masing-masing. Yang dimaksud di sana, menjaga jarak, memakai masker, dan mencuci tangan. Belakangan, upaya itu diperketat dengan 5M, dengan tambahan menjauhi kerumunan dan mengurangi mobilitas. Belum lagi Pembatasan Sosial Skala Besar (PSBB) dan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) serta upaya lainnya, diterapkan untuk mengurangi aktivitas masyarakat yang berpotensi menjadi penyebab penyebaran virus corona.

Konsep kesehatan ini sebenarnya merupakan konsep lama yang kita lupakan. Sama halnya dengan konsep karantina yang dicetuskan Ibnu Sina, menjadi upaya bersama untuk mengurangi penyebaran virus Covid-19.

Menilik konsep antisipasi penyebaran wabah secara islami, sedikitnya ada empat anjuran yang diajarkan Rasulullah Muhammad, saw. Mulai dari penerapan karantina dan larangan perjalanan, menjaga jarak atau mengisolasi diri, menjaga kebersihan, hingga mencari perawatan medis. Namun secara umum, cara-cara seperti ini juga sebenarnya sudah cukup lama ada dan diterapkan, namun perubahan pola hidup manusia membuat kebiasaan ini lama-kelamaan hilang.

September 2020, saya melakukan perjalanan ke sebuah desa di seberang Sungai Batanghari. Di desa itu, akses jaringan telekomunikasi pun sebenarnya belum begitu memadai. Belum lagi akses jalan yang terdekat hanya bisa dilakukan dengan menyeberangi sungai menggunakan pompong—perahu tradisonal yang digerakkan dengan mesin—yang menjadi sarana penyeberangan warga setempat. Dari Kota Jambi, jarak tempuhnya sekitar 1,5-2 jam.

Ada hal yang menarik di sana. Masyarakat setempat mayoritas masih tinggal di rumah panggung dan sehari-hari mencukupi kebutuhan dengan bertani. Ada beberapa rumah tua yang konon telah berusia puluhan hingga ratusan tahun di sana. Hampir di setiapnya, tampak gentong atau bak kecil yang dibangun di depan rumah. Saya sempat menanyai warga setempat dan, ternyata ada kebiasaan yang sudah ada sejak lama yang baru kita biasakan kembali: mencuci tangan. Penuturan yang saya dapat dari warga setempat, orang-orang dulu terbiasa mencuci tangan dan kaki ketika hendak masuk ke rumah, kebiasaan yang baru belakangan kita praktikkan kembali. Bangunan rumah seperti itu hampir bisa ditemukan di sekitaran tepian Sungai Batanghari, termasuk kawasan Muaro Jambi yang konon menjadi satu di antara wilayah paling maju pada eranya.

Selain masyarakat di pinggiran sungai, masyarakat adat di Jambi—khususnya Suku Anak Dalam atau yang juga dikenal dengan sebutan Orang Rimba—punya tradisi saat menghadapi wabah, yang dikenal dengan nama sesandingon. Beberapa kolega yang berkecimpung di bidang konservasi menjelaskan, sesandingon bisa disebut mengasingkan diri. Cara ini telah lama ada dan diterapkan masyarakat di kawasan rimba, terutama di Jambi. Masyarakat Rimba memahami, bahwa wabah cepat menular. Satu di antara cara untuk menghindarinya adalah mengasingkan diri. Konsepnya kurang lebih sama dengan karantina atau mengisolasi diri, hanya saja dilakukan dengan cara tradisional.

Ketika kabar pandemi virus corona sampai ke masyarakat Suku Rimba, mereka langsung besesandingon, berpencar dan mengasingkan diri ke hutan. Satu kelompok jumlahnya menjadi hanya beberapa orang saja. Jarak antarkelompok bisa beberapa, belasan, bahkan puluhan kilometer. Mereka baru akan kembali bertemu ketika ada keperluan. Hal ini juga berlaku bagi pendatang yang masuk lingkungan mereka. Orang Rimba akan menjarak, mengasingkan pendatang dalam beberapa hari, sampai memastikan kondisi pendatang benar-benar sehat dan bebas dari virus yang mewabah. Mereka menjaga jarak, menjauhi kerumunan, dan mengurangi mobilitas. Orang-orang di rimba juga dikenal sangat menjaga kebersihan dengan cara tradisionalnya.

Sekarang, perlu upaya bersama dari berbagai pihak untuk menangani pagebluk ini. Layaknya melakukan ibadah berjemaah, penanganan pandemi ini mesti dilakukan bersama-sama. Saatnya kembali pada saf-saf yang sempat ditinggalkan. Jika pandemi telah berakhir, tetaplah berada pada saf-saf itu, pada kebiasaan-kebiasaan baik yang telah lama diterapkan di lingkungan masyarakat. Bergeraklah bersama, untuk menyongsong masa depan yang lebih baik. Semoga badai pandemi ini segera reda.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image