Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Kurnia Sawiji

Setelah Pandemi, Lalu Apa? Sebuah Lamunan untuk Mencapai Makrifat Saat dan Seusai Pandemi

Lomba | Friday, 24 Sep 2021, 22:19 WIB
Ilustrasi Makrifat

Tidakkah sebuah bentuk kedangkalan akal, jika andaikan saja pandemi pergi, kita berangan-angan untuk melakukan hal-hal duniawi yang dikekang dari diri kita? Kita misalkan saja, ketika seseorang yang sudah terbiasa makan di luar terpaksa harus bertahan di rumahnya dan memperjuangkan sendiri makanannya. Tidakkah sebuah bentuk kedangkalan akal baginya, jika ia berimpian nanti ketika pandemi pergi ia akan kembali menyambangi restoran kesukaannya tanpa masker atau tanpa batas waktu, sehingga ia pun melepas birahi perutnya di sana?

Saya mengimani bahwa apa pun yang terjadi di dalam alam semesta ini adalah hubungan kausalitas; sebab-akibat yang memiliki alasan di dalamnya. Tentu di sini saya berdiri berseberangan dengan beberapa ilmuwan yang saya hormati seperti Kaku atau Hawking, yang mengimani bahwa penciptaan alam semesta hanyalah sebuah kebetulan kompleks; sebuah singularitas dalam gelombang peluang matematika. Sebagai seorang muslim, saya menolak mengatakan bahwa Rabb saya menciptakan sesuatu yang serumit alam semesta sebagai kebetulan belaka.

Oleh karena itu, menganggap pandemi Covid-19 hanya semata-mata sebagai gara-gara yang mengakibatkan kita tidak bisa menjalankan kompleksitas hidup dalam bentuk plesiran mahal dan hiburan luar rumah adalah sebuah pemikiran yang reduktif dan destruktif terhadap Qada dan Qadarnya. Saya tidak bisa habis pikir dengan mereka yang berpikir, “Ah, saya akan pergi ke sini dan sini lalu makan ini dan itu setelah pandemi berakhir. Akhirnya saya bisa mengajak anak-anak saya kembali ke mall dan ini dan itu.” Jika begitu, tidakkah ada pelajaran yang kita pelajari dalam wabah ini?

Tentu, kita adalah manusia. Sebuah kelumrahan bagi manusia untuk memikirkan apa yang diinginkannya, meskipun bisa saja itu bukan yang ia perlukan. Di sini, saya ingin mengajak saudara sekalian untuk melamunkan hubungan-hubungan kita. Tidak salah rasanya jika kita menggunakan pandemi Covid-19 ini sebagai ajang untuk sejenak melupakan hubungan horizontal kita, dan mulai menelaah hubungan vertikal kita.

Menelaah Makrifat

Reza Shah-Kazemi dalam esainya yang berjudul The Notion and Significance of Ma’rifa in Sufism (Oxford Islamic Studies, 2002) menyatakan bahwa makrifat pada asasnya adalah sebuah paradoks yang kontradiktif; di satu sisi, ia bersifat sebagai pengetahuan tertinggi yang bisa dicapai oleh seseorang. Namun di sisi lain, pemahaman terhadapnya bersifat mistis; untuk mendalaminya, seseorang perlu membangun ignoransi terhadap ketentuan-ketentuan ilmiah yang berlaku. Karena pada dasarnya, makrifat adalah pemahaman kesatuan (Tauhid) dalam artian yang jauh lebih dalam daripada definisi teologisnya; sesuatu yang sifatnya spiritual.

Fethullah Gullen di lain pihak mendefinisikan makrifat dengan lebih sederhana; ia adalah sesuatu yang didapatkan melalui refleksi diri yang mendalam, keikhlasan, dan kesadaran tentang apa yang dipersepsikannya terhadap alam semesta dalam sudut pandangnya. Dalam artian lain, menyelami diri sendiri adalah langkah pertama untuk mencapai makrifat.

Di sinilah pertanyaannya timbul: dalam segala rutinitas dan modernitas kita, masihkah kita punya waktu untuk menyelami diri sendiri?

Tidak cukup sampai di situ. Ulama Ibnu Rajab al-Hanbali menuliskan dalam esainya: Allah SWT menciptakan segala ciptaan-Nya supaya mereka dapat menyembah-Nya atas rasa takut, rasa cinta, dan pengharapan kepada-Nya. Allah, dengan segala keagungan-Nya, berfirman: Aku ciptakan jin dan manusia agar mereka menyembah-Ku; tetapi hanya bisa kita menyembah-Nya dengan memiliki pengetahuan tentang-Nya; oleh karenanyalah Dia menciptakan langit dan bumi, semua yang berada di antaranya, sebagai tanda dari kebesaran dan keagungan-Nya.

Syahdan, jelas bagi kita semua bahwa makrifat hanya akan dicapai dengan pembukaan mata kita terhadap apa yang ada di hadapan kita; tanpa dihalangi oleh roda-roda gigi rutinitas, atau segala kesibukan kantoran. Tidakkah menyenangkan, jika ada suatu saat di mana kita terpaksa meninggalkan segalanya, kembali ke alam, dan kembali kepada pendalaman diri kita?

Entahlah, sesuatu seperti wabah yang mengurung kita dalam rumah, mungkin?

Makrifat Pandemi

Sekali-kali tidak; saya tidak meminta ada untuk bersyukur bahwa Rabb kita telah menurunkan wabah ini; kita belum cukup kuat untuk melakukan hal itu, dan oleh karena itulah sepatutnya kita membina diri kita supaya kita cukup kuat setidaknya untuk melakukan sebegitu. Namun pertanyakan ini kepada diri saudara sekalian: kapankah saudara mempunyai waktu untuk mengapresiasi alam, diri saudara, dan keterkaitan yang ada di antara keduanya, selain di saat ketika kita dikurung dan melamun?

Sudah menjadi keniscayaan bagi kita untuk kembali ke dasar setelah pandemi ini berakhir. Wabah ini pada dasarnya adalah peringatan dari Rabb kita kepada kita yang selalu maju tanpa ingat untuk mundur. Tidaklah perlu kita berharap untuk kembali kepada rutinitas kita, andaikan pandemi berakhir. Apa yang perlu adalah pendalaman yang jauh lebih dalam terhadap diri kita, dan apa yang ada di sekitar kita.

Wabah ini adalah momen untuk kita mencapai apa yang dikatakan para sufi sebagai langkah pertama mencapai makrifat, yaitu fana’; melepaskan keinginan-keinginan duniawi, dan mendalami diri secara tegak lurus. Alih-alih berimpian untuk pergi ke taman wisata, ada baiknya kita berwisata ke dalam diri kita sendiri seusai pandemi ini.

Tentu dengan begitu, kita berharap untuk bisa lebih memaknai alam semesta-Nya, supaya kita tidak mengulangi kesalahan yang sama seperti sekarang.

Sumber:

The Notion and Significance of Ma'rifa in Sufism.pdf (ghazali.org)

Ma'rifa (Knowledge of God) - Fethullah Gülen's Official Web Site (fgulen.com)

Maʿrifa | Islam | Britannica

Ma`rifah: Being Acquainted with Allah - MuslimMatters.org

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image