Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Sofyan Aziz

Andai Pandemi Pergi, Siapkah Kita?

Lomba | 2021-09-23 14:25:27

Pernahkah ketika kita berpuasa di bulan Ramadhan, di saat hari-hari terakhir, kita begitu sedih? Mungkin begitu yang kita rasakan manakala pandemi benar-benar pergi.

Bulan demi bulan telah kita lalui bersama, terjal dan ganasnya hantaman virus asal Wuhan ini. Dengan terseok kita masih bisa bertahan sampai saat ini. Walau beberapa dari kita, tetangga, kerabat, bahkan saudara kita yang tidak kuat dan akhirnya tumbang.

Nyawa manusia orang-orang sekitar dijemput satu persatu. Hajatan pernikahan sudah menjadi sebuah kemewahan, langka. Sekolah seperti lorong-lorong bekas Rumah Sakit yang terbengkalai, suram. Serta banyak hal lain dalam kehidupan normal kita yang hilang direnggut Korona. Semua dilibas habis.

Namun, tak elok rasanya jika kita terus meratapi bencana ini, malu. Manusia diciptakan oleh-Nya sebagai khalifah di Bumi, lha kok dicoba begitu saja menyerah.

Maka muncullah adaptasi menyesuaikan kehendak dunia. Dengan pelan ritme kehidupan normal kita tergantikan oleh kebiasaan-kebiasaan baru, menyesuaikan dengan lingkungan yang tak lagi nyaman dan aman. Mulai dari mengatur protokol kesehatan hingga Interaksi komunikasi antar manusia, menyublim menjadi wujud yang baru. Yang lantas kita kenal sebagai Tatanan Dunia Baru, New Normal.

Lambat laun, kebiasaan baru ini semakin dalam menancap dalam keseharian kita. Seolah ia sudah bukan lagi kebiasaan yang baru. Biasa saja ketika harus menggunakan aplikasi daring untuk belajar dan rapat atau tak lagi segan memakai masker kemana-mana.

Hingga tiba masanya, manakala pandemi pergi, apakah kita benar-benar siap meninggalkan kebiasaan baru kita ini? Jawaban cepatnya, pastilah iya. Tetapi nyatanya tidak semudah itu, Ferguso!

Setidaknya ada dua hal penting yang patut kita perhatikan. Pertama hambatan dari luar, dan yang kedua adalah hambatan dari dalam diri manusia.

Pertama, kehidupan New Normal tanpa sepenuhnya kita sadari, mulai ‘nyaman’ kita bersamai. Segala macam protokol kesehatan lamat-lamat mampu membuat zona keamanan tersendiri. Seperti ada yang kurang, misalnya, kita lupa memakai masker atau lupa membawa hand sanitizer tatkala kita keluar rumah. Kita juga menjadi biasa mengadakan rapat dan belajar melalui video conference.

Kita juga menjadi lebih asyik untuk saling menjaga. Mengingatkan satu sama lain jika teledor dalam menjaga protokol kesehatan. Menjaga orang lain sama pentingnya seperti menjaga diri sendiri. Karena jika orang lain di sekitar kita sampai terkena virus ini, bisa menjadi tanda bahaya untuk kita.

Kita juga menjadi mengenal tanda aman dalam menjaga jarak fisik antar sesama. Kalau dulu hubungan dekat ditandai dengan salaman, elusan, atau pelukan, sekarang ini mengalami pergeseran makna. Ternyata dekat secara fisiologis bukan berarti dekat secara psikologis. Malah sebaliknya, orang-orang yang menjaga jarak dengan kita bukan lagi sebagai lawan, malah menjadi sebenar-benar kawan.

Kedua, segala infrastruktur pandemi telah dibangun sedemikian rupa, alat-alat kesehatan pandemi baru saja diciptakan termasuk obat-obatan, aplikasi komunikasi dan segala penyokong pandemi telah biasa kita gunakan. Bisa saja raksasa industri dengan permainan mafianya tidak akan tinggal diam melihat pundi-pundi kekayaannya lenyap seketika. Dan, sudahlah tidak perlu diperjelas lagi masalah ini, ngeri lihat tukang Bakso keliling bawa HT.

Maka wajar jika pandemi ini saya analogikan seperti berpuasa. Awalnya saja yang terasa berat, terhimpit, ruang bebas menyempit. Namun seiring waktu, ia bisa kita jadikan sebagai tempat untuk menempa diri. Pandemi ini nyatanya mampu menciptakan sebuah rutinitas tersendiri. Ia mampu memaksa kita untuk belajar tentang berbagai hal baru, demi mempertahankan hidup.

Beberapa kesamaan antara pandemi dengan puasa, diantaranya :

1. Menyehatkan, dengan berpuasa tubuh kita menjadi lebih sehat, baik secara jasmani, rohani, maupun mental spiritual kita. Begitupun dengan pandemi ini, kita berusaha untuk selalu bugar, channel maupun aplikasi olahraga meningkat tajam. Seperti yang dilansir Republika tahun kemarin yang mengutip dari platform pemasaran aplikasi Adjust (https://www.republika.co.id/berita/qg2xny463/emfitnessem-dari-rumah-meningkat-selama-pandemi).

2. Detoksifikasi, dengan berpuasa secara fisik kita mengalami proses pembuangan racun di dalam tubuh, mengambil jeda waktu sistem tubuh beristirahat. Secara mental spiritual, puasa juga berproses membuang mental jahat nan sesat dalam tubuh untuk lebih mendekatkan diri kepada-Nya. Begitupun dengan pandemi ini, ia men-detoksifikasi-kan seluruh sistem kehidupan bermasyarakat. Mengatur ulang sistem dan gaya berhubungan antar sesama manusia.

3. Berlatih bersabar. Berpuasa melatih kita kesabaran, taat waktu dalam bersahur maupun berbuka. Bersabar ketika harus bersahur di pagi buta, bersabar pula menanti buka, meski tubuh sedang lapar dan haus. Begitupun dengan pandemi, melatih kesabaran kita, menjalani protokol kesehatan dengan sabar. Meski tak lagi leluasa untuk bepergian, bersekolah, hajatan, kita hadapi dengan penuh kesabaran. Seperti termaktub dalam QS al-Baqarah ayat 155: “Dan sungguh kami akan mengujimu dengan ketakutan, kelaparan, kekurangan dalam hal harta, jiwa, dan buah-buahan, dan berilah kabar gembira terhadap orang-orang yang bersabar.”

Perginya pandemi seperti berakhirnya puasa, ada kesedihan yang patut kita rayakan. Boleh saja kita ber-euforia barang sehari dua hari, namun hal-hal yang baik yang telah kita lakukan selama pandemi tidak lantas terkubur percuma.

Bisa jadi apa yang kita lakukan hari ini, bisa kita gunakan untuk kesiapan menghadapi bencana serupa yang bisa jadi akan datang menghampiri kita, entah oleh alam atau memang diciptakan oleh manusia jahat di ujung dunia lain.

Pandemi pantas kita rindui, bukan pada virusnya, tetapi pada keteraturan dan kebersamaan hidup yang telah bersama kita jalani.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image