Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image NUR JAMIL

Pengembalian Aset Negara Bagi Pelaku Korupsi di Bawah 50 juta Tanpa Dipenjara

Eduaksi | Tuesday, 17 May 2022, 23:11 WIB

Korupsi adalah tindakan yang mengambil atau menguasai secara penuh segala sesuatu dengan cara yang tidak halal dengan memanfaatkan jabatannya. Dari segi hukum, korupsi adalah perbuatan melawan hukum dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, dan sarana untuk kepentingan atau memperkaya diri sendiri.Satu jalan alternatif yang diwacanakan oleh Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin adalah pelaku korupsi dibawah 50 juta tidak perlu dipidana ,cukup dengan mengembalikan saja aset yang dikorupsinya,Langkah tersebut sebagai upaya pelaksanaan proses hukum secara cepat,sederhana dan biaya ringan agar perkaranya tidak berlarut-larut.Hal ini sejalan dengan menumpuknya berkas perkara yang ada di Mahkamah Agung,Maka jika setiap kasus korupsi yang angkanya kecil jika diproses pidana tentunya akan memakan waktu yang berkepanjangan dalam menyelesaikannya.

Gagasan mengenai pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi tidak semata-mata untuk memiskinkan para koruptor sehingga mereka menderita, tetapi “Pengembalian” aset hasil korupsi juga berujuan sebagai tindakan preventif atau pencegahan tindak pidana korupsi. Dampak preventif pertama, terjadi pada tidak adanya aset-aset yang dikuasai oleh pelaku kejahatan sehingga para pelaku kehilangan sumber daya untuk melakukan kejahatan-kejahatan lainnya. Kedua, dengan menyerang langsung kepada motif kejahatan para pelaku korupsi, maka peluang untuk menikmati hasil dari tidak pidana itu ditiadakan setidaknya diminimalisasi. Pengembalian aset juga bertujuan menghilangkan tujuan yang merupakan motif tindak pidana. Ketiadaan peluang mencapai tujuan itu dapat menghilangkan motif yang mendorong melakukan kejahatan.

Dampak preventif dari tindakan pengambilan aset ketiga, yakni dengan pengembalian aset ini diharapkan dapat memberikan peringatan kepada masyarakat bahwa tidak ada tempat yang aman di dunia ini bagi para pelaku tindak pidana untuk menyembunnyikan hasil tindak pidananya sekaligus memberikan pesan kuat bahwa tidak ada seorangpun yang dapat menikmati aset hasil tindak pidana sebagaimana doktrin “crime does not pay ”. Hal-hal ini memperlemah keinginan warga masyarakat, khususnya para pelaku potensial, untuk melakukan kejahatan.

Tindak pidana korupsi seringkali dijadikan predicate crime . Apabila aset tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa oleh pengadilan tidak segera disita dan dirampas maka aset tersebut akan mudah sekali untuk dialihkan dengan pencucian uang. Dengan demikian, bila aset hasil tindak pidana korupsi dapat disita dan dirampas secepatnya, tindak pidana turunan semacam tindak pidana pencucian uang dapat diminimalisasi dan dihindari. Menurut Sudarto dan Hari Purwadi, cara yang paling tepat dan sederhana dalam melakukan mekanisme perampasan aset tanpa pemidanaan atau NCB asset forfeiture adalah pada awalnya harta yang diduga merupakan hasil kejahatan dilakukan pemblokiran dan ditarik dari lalu lintas perekonomian yaitu melalui penyitaan yang dimintakan kepada pengadilan. Selanjutnya harta tersebut dinyatakan sebagai harta tercemar dengan penetapan pengadilan. Setelah dinyatakan sebagai harta tercemar, pengadilan lalu melakukan pengumuman melalui media yang dapat diakses dan diketahui oleh orang banyak selama waktu yang cukup, yaitu kurang lebih 30 (tiga puluh) hari. Jangka waktu tersebut dipandang cukup bagi para pihak ketiga untuk dapat mengetahui bahwa akan dilakukan perampasan aset oleh pengadilan. Apabila dalam jangka waktu tersebut ada pihak ketiga yang merasa keberatan dengan tindakan perampasan, maka pihak ketiga tersebut dapat mengajukan perlawanan ke pengadilan dan membuktikan dengan alat bukti yang sah bahwa dialah pemilik harta tersebut dengan menjelaskan bagaimana perolehan harta tersebut.

pre

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image