Perpustakaan, Bukalah Pintumu Lagi...
Lomba | 2021-09-23 09:47:19Senin, 20 September 2021, kemarin lusa mungkin pengalaman keempat saya sepanjang pandemi Covid-19 menengok Perpustakaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Serupa dengan tiga kunjungan sebelumnya, tujuan saya ke sana untuk memastikan apakah perpustakaan di Jln. Jenderal Sudirman itu sudah buka.
Dari kejauhan saya tersenyum simpul ketika melihat pintu perpustakaan terbuka. Pikir saya, layanan sudah kembali buka sepertinya. Akan tetapi, saya kecele. Pengumuman bertanggal 19 Maret 2021 masih terpasang di tiang luar: Kami sampaikan bahwa Perpustakaan Kemendikbud masih menutup pelayanan.
Saya tidak mau putus asa begitu saja. Jangan-jangan, pengumuman lawas itu lupa dicopot. Terlebih, seorang pria terlihat duduk di meja resepsionis seperti dulu ketika perpustakaan dibuka. Lagi, sang petugas itu mengonfirmasi benar layanan perpustakaan masih ditutup.
Perpustakaan Kemendikbudâyang kini berubah nama menjadi Kemendikbudristekâsudah tutup sejak 16 Maret 2020. Setiap ada transisi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) atau Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), saya selalu ke sana untuk melihat apakah ada perubahan. Semua berakhir dengan rasa kecewa.
Rasa kecewa itu bukan tanpa sebab. Perpustakaan Kemendikbud merupakan perpustakaan khusus yang memperoleh ribuan buku hibah British Council. Jadi, buku-buku lawas asal Britania Raya tersimpan di sana. Kita tidak bisa mendapatkan buku tertentu di perpustakaan atau toko buku lain.
Tutupnya perpustakaan selama masa pandemi Covid-19 tentu saja punya pembenaran. Perpustakaan memang tempat membaca, tetapi sekaligus lokasi bercengkerama. Interaksi antarmanusia berpotensi menciptakan kerumunan yang sekaligus memperbesar peluang penularan virus corona.
ADAPTASI LAYANAN
Di Jakarta, tutupnya layanan selama pandemi bukan hanya monopoli Perpustakaan Kemendikbud. Sejumlah perpustakaan khusus maupun umum milik swasta dan pemerintah berhenti operasi. Entah itu tutup total sepanjang pandemi atau sempat ditutup-buka seturut status pembatasan.
Yang dibuka ketika pelonggaran salah satunya Perpustakaan Nasional di Jln. Medan Merdeka Selatan. Setelah relaksasi PSBB atau PPKM, kolektor buku terbesar di Indonesia itu membuka layanan kembali dengan menerapkan protokol kesehatan. Namun, selama masa PPKM Darurat sampai hari ini belum dibuka lagi.
Kendati menutup layanan tatap muka, bukan berarti pustakawan tidak bekerja. Perpustakaan Kemendikbud, misalnya, membuka layanan secara daring. Aplikasi milik perpustakaan memungkinkan buku bisa dibaca dalam format elektronik.
Pandemi Covid-19 memang mengharuskan perpustakaan di mana pun menyesuaikan diri. Pengalihan ke layanan berbasis daring hanyalah satu metode adaptasi. Akan tetapi, tidak semua perpustakaan memiliki dana dan infrastruktur digital.
Di Iran, ada inovasi layanan perpustakaan yang menurut saya menarik. Menurut situs International Federation of Library Associations and Institutions, Negeri Para Mullah tersebut memperkenalkan layanan antar buku pinjaman. Nah, pengunjung memilih buku lewat katalog daring. Kemudian, buku pesanan tersebut dikirimkan ke rumah peminjam lewat motor atau jasa pos.
Di Amerika Serikat, sebuah lembaga bernama New America melakukan survei pada September-Oktober 2020 untuk mengetahui dampak pandemi terhadap layanan perpustakaan. Hasilnya, sebanyak 68% responden bilang perpustakaan publik di lingkungan mereka sudah berbasis daring. Selanjutnya, sebanyak 76% responden bersikap positif terhadap layanan via internet tersebut.
SOAL SELERA
Sudah sering kita dengar bahwa adopsi teknologi tidak sepenuhnya bisa pukul rata diterapkan. Di Indonesia, infrastruktur telekomunikasi belum merata. Bila layanan perpustakaan sepenuhnya berbasis digital, bagaimana dengan kelompok yang tidak terjangkau internet?
Sebelum pandemi Covid-19 saja, melek baca Indonesia masih rendah. Perpustakaan Nasional RI (Perpusnas) mengklaim nilai kegemaran membaca masyarakat Indonesia sebesar 55,3%. Tentu idealnya kegemaran membaca hidup dalam diri seluruh anak negeri.
Namun, harapan untuk mencapai 100% gemar membaca bertolak belakang dengan sumber daya buku. Idealnya, menurut Perpusnas, buku koleksi perpustakaan di seantero Indonesia sebanyak 536 juta buah. Kondisi ideal tadi berpijak dari asumsi populasi Indonesia 268 juta jiwa sehingga tersedia dua buku untuk satu orang.
Faktanya, Sensus Perpustakaan 2018 mencatat seluruh perpustakaan di Nusantara hanya mengoleksi 22 juta buku. Sebagai informasi, jumlah perpustakaan di Indonesia sebanyak 164.610 unit. (Lihat tabel).
Digitalisasi kerap kali didengungkan dapat menjadi faktor pemungkin (enabler). Keberadaan ponsel pintar bisa jadi mendongkrak kegemaran masyarakat untuk membaca buku berversi digital. Benar tidaknya hipotesis ini tentu butuh penelitian lebih lanjut.
Meski demikian, saya berpendapat kebiasaan membaca buku tidak dapat dipisahkan dengan selera. Betapapun murah dan mudahnya membaca buku berformat digital, sensasi membaca buku secara fisik tidak tergantikan. Kebetulan, saya termasuk tipe yang seperti itu.
Sebelum menyentuh dan memelototi buku secara fisik, bagi saya itu belum membaca. Mendapatkan informasi dari buku digital barangkali iya, tetapi mengatakan telah membaca buku saya anggap belum.
Karena itu, saya hanya berharap pandemi ini segera berakhir. Kapan? Jika mendengar pendapat otoritas resmi, angka-angka tahun berseliweran. Ada yang bilang tahun 2022-lah, tahun 2023, tahun 2024, dan sebagainya.
Sebuah artikel foto bertanggal 30 Agustus 2021 di Republika.co.id berjudul In Picture: Bersih-Bersih Buku Jelang Pembukaan Kembali Perpustakaan membuat saya tidak takut berandai-andai. Foto dalam artikel tersebut memotret pembersihan buku di Perpustakaan Umum Trunojoyo, Malang, Jawa Timur, menjelang dibukanya kembali layanan publik.
Kelak, manakala pandemi usai, semoga seluruh perpustakaan di negeri ini kembali membuka pintunya untuk pengunjung seperti saya.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.