Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Slamet Samsoerizal

Hari Buku Nasional: Bagaimana Nasib Penulis Buku

Sejarah | Tuesday, 17 May 2022, 09:26 WIB
Perpustakaan "Sampoerna Foudation" Jakarta (sumber foto: SS-Darindo)

Tahun 2022 ini perayaan Hari Buku Nasional (Habuna) memasuki dua dekade. Sejarah mencatat Habunas dicetuskan oleh Abdul Malik Fadjar, yaitu Menteri Pendidikan yang menjabat di era Kabinet Gotong Royong (2001-2004).

Habuna

Melansir Donasi Buku Kemendikbud, Habuna awalnya ditetapkan dengan tujuanmeningkatkan minat baca masyarakat dan menaikkan penjualan buku. Kala itu, jumlah rerata buku yang dicetak setiap tahun hanya mencapai 18 ribu judul. Jumlah tersebut sangat rendah dibanding negara Asia lainnya, seperti Jepang dan Cina yang mencapai 40 ribu hingga 140 ribu judul buku.

Selain itu, angka melek huruf di dalam negeri juga rendah. Di tahun 2002 UNESCO mengungkapkan bahwa angka melek huruf di Indonesia pada orang dewasa berusia 15 tahun ke atas hanya 87,9 persen. Angka tersebut lebih rendah dibanding Malaysia, Vietnam, dan Thailand pada tahun yang sama.

Kondisi ini sangat memprihatinkan, mengingat kemampuan literasi dasar adalah modal utama yang harus dimiliki agar bangsa dapat berkembang. Berkaca dari hal tersebut sejumlah elemen masyarakat khususnya kelompok pecinta buku mendorong untuk disahkannya gerakkan untuk meningkatkan budaya membaca.

Kemudian di tahun 2002 ditetapkanlah tanggal 17 Mei sebagai Hari Buku Nasional. Tanggal 17 Mei dipilih karena bertepatan dengan momen berdirinya Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, yaitu pada 17 Mei 1980.

Dalam memperingati Habuna, ada dua sisi yang mengemuka. Ada buku dan ada penulisnya. Sebuah keniscayaan, mengabaikan peran penulis dalam hal ini. Sebab, kita paham buku ada lantaran ada yang menulis. Namanya pengarang dan penulis.

Gelar Pengarang boleh disematkan kepada insan yang menulis ragam teks fiksi atau karya sastra seperti: puisi, cerpen, novel, teks skenario, dan teks drama. Sebutan Penulis dapat diberikan kepada mereka yang menulis ragam teks nonfiksi.

Artikel ini mengambil hiponim penulis, yang di dalamnya tercakup pula pengarang. Tidak semua penulis buku mujur dari sisi honor yang diterima. Dalam kaitan ini, tidak ada pemilahan antara penulis buku fiksi dan nonfiksi. Catatan ini, adalah mula yang berharap bisa ditindaklanjuti dalam sebuah penelitian yang representatif.

Nasib Penulis

Seorang rekan penulis buku menyampaikan kegembiraannya, ketika menerima royalti dari buku teks pelajaran yang ditulisnya. Ia bisa merenovasi rumah dan membeli kendaraan. Anda tentu bisa membayangkan berapa honor yang diterimanya, bukan?

“Ini royalti semester 1, lho. Semester 2, bisa lebih banyak lagi royalti yang saya terima” tuturnya dengan ekspresi ceria.

Wah! Bagaimana dengan pengarang fiksi?

Andrea Hirata pengarang novel “Laskar Pelangi” mendapatkan fee hingga RP6,3 milyar. Jumlah itu belum ditambahkan dengan nominal lain yang meluncur ke rekening pribadinya dari judul buku yang lain: film, liriklagu, dansebagainya.

Habiburrahman El-Shirazy, yang menulis novel dengan misi berdakwah, menulis novel paling laris saat diterbitkan dan dialihwahanakan dalamlayar lebar.Judul novelnya adalah “Ayat-ayat Cinta”. Pendapatannya dari buku, disinyalir mencapai angka 2,4 milyar rupiah.

Mira Widjaya, penulis lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti tahun 1979 ini telah menghasilkan puluhan karya, utamanya roman. Tak kurang dari 20 karya Mira menyentuh penjualan terbaik atau best seller. Dari sekian banyak karyanya, yang paling fenomenal adalah Cinta Sepanjang Amazon (2009). Novel ini merupakan karya Mira yang ke-75 dan telah dibuat versi layar lebarnya. Cinta Sepanjang Amazon sukses mengantar wanita kelahiran Jakarta ini menjadi penulis terkaya dengan total pendapatan tak kurang dari Rp2 miliar.

Dewi ‘dee’ Lestari, novelis “Perahu kertas 1 dan 2”, “Rectoverso”, “Madre”, dan “Malaikat Tak Bersayap”. Dia merupakan representasi perempuan novelis yang paling diperhitungkan di masa ini. Tulisannya khas, memiliki kekuatan tersendiri, dan tentunya, menghibur.

Sebelum menulis buku dalam format cerita pendek dan kumpulan prosa, Dee dulunya lebih sering menulis novel. Novel bersambungnya, Supernova merupakan karya fenomenalnya yang kadang sulit dimengerti oleh pembaca awam. Dari Supernova, Dee disinyalir mendapatkan keuntungan hingga Rp1,5 milyar rupiah. Sebuah angka yang fantastis untuk sastra.

Itu yang mujur sehingga sang pengarang bisa tajir. Sebenarnya, selain 4nama tersebut, masih ada 10-an penulis yang juga bernasib baik. Bagaimana dengan nasib penulis yang tak bernasib seperti 4 penulis tersebut?

Ah, tak ingin meraih simpati, dua hal perlu diungkapkan. Pertama, tulisan modul yang berkaitan dengan mata pelajaran yang disponsori dan dicetak instansi pemerintah, hanya dihargai Rp1juta. Padahal, selama 10 tahun ke depan modul tersebut selalu cetak ulang. Apalagi ditulis per semester.

Kedua, penulis buku yang diterbitkan oleh penerbit indi. Inilah penulis dengan sisi lain yang hebat. Mereka menulis, menerbitkan (dengan mengeluarkan sjeumlah uang untukongkos cetak), dan memasarkan bukunya sendiri. Penulis kategori ini adalah asli golongan karya (bukan nama partai!), karena hulu hilirnya dikawal total.

Maka, jika penulisnya kebetulan banyak dikenal berbagai kalangan, sambil melaksanakan sebuah pertemuan saja, bisa laku sejumlah orang yang hadir. Akan tetapi, seringnya buku dicetak dan diterbitkan, dengan dana terbatas pula hanya dicetak paling banyak 100 eksemplar.

Kapan habisnya? Entahlah, tergantung rezeki-Nya. Banyak di antara penulis golongan karya ini, memang sekadar bangga bisa menulis. Bangga bisa menerbitkan buku. Namun, ada yang memang menggantungkan fee dari buku yang ditulis,karena berharap banyak yang membelinya. Banyak pembeli identik dengan banyak cuan masuk ke rekeningnya.

Mengapresiasi Penulis

Cara yang paling indah mengapresiasi penulis adalah melalui pemberian honor (royalti) yang layak. Seandainya, buku dicetak 1000 eksemplar dan laku di pasaran, maka tak perlu bermain korup kepada penulis. Katakan pula, harga buku yang diterbitkan oleh penerbit mayor, dipatok dengan harga Rp80.000, 00 dan penulis mendapat royalti tiap semester 20% dengan potong pajak; maka perlakuan itu sudah cukup.

Masih ada lagi, sebagaimana kisah almarhum Danarto yang diundang ke Jepang selama tiga bulan oleh sahabatnya dan disana diberi peluang menulis novel. Adapula helat dari Iowa University dalam program Creative Writing dengan mengundang penulis dari berbagai negara. Taufiq Ismail, Emha Ainun Nadjib, WS Rendra, Budi Darma adalah beberapa contoh sastrawan yang mujur terundang ke Creative Writing.

Menerjunkan penulis ke berbagai area pedesaan, perkotaan, atau wilayah terdepan dan terluar Indonesia pun dapat dilakukan sebagaimana yang dilakukan oleh Badan Bahasa dan sponsor dari Pertamina. Sutardji Calzoum Bachri, salah satunya yang mendapat hibah menulis dengan cara ini.

Cara Merayakan Hari Buku Nasional 17 Mei 2022 antara lain: membaca buku di ruang-ruang perpustakaan sekolah dan kampus. Selain itu, dapat pula membeli buku menyumbangan buku bekas layak baca ke perpustakaan lokal, taman baca, sekolah, atau lembaga penghimpun donasi buku. Bisa pula, Anda menggunakan twibonz di media sosial dengan gambar, pesan, dan kampanye terkait budaya membaca buku.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image