Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Dewi Azizah

Seutas Mimpi Jika Pandemi Pergi

Lomba | Wednesday, 22 Sep 2021, 18:31 WIB
Sumber foto: dok pribadi

Hampir dua tahun kita melalui hari dengan banyak perubahan sejak ditetapkannya virus Covid-19 menjadi pandemi. Keharusan dalam berperilaku perlahan menjadi kebiasaan tiap manusia di belahan dunia, seperti mencuci tangan, memakai masker, dan menjaga jarak. Sekolah-sekolah diliburkan, pegawai-pegawai dirumahkan, para nakes kelelahan, dan ekonomi lumpuh secara perlahan. Mungkin, bisa dikatakan bahwa langkah awal yang diambil kurang tepat. Bukannya mengantisipasi, kita dengan percaya diri berkata bahwa pandemi tidak akan sampai di negara ini dan malah mempromosikan bidang pariwisata. Kita terhanyut dalam kalimat bahwa pandemi akan pergi dengan sendirinya. Namun, semesta sepertinya tidak mendukung apa yang diharapkan. Bermula dari dua kasus pertama yang diumumkan di Indonesia, pertambahan korban terinfeksi virus Covid-19 semakin bertambah tiap harinya. Lalu lalang sirine ambulans diiringi media yang menyebarkan lonjakan kasus semakin membuat kehidupan terasa suram seperti tak ada harapan. Bukan berita duka yang ingin kita dengar, tapi berita suka yang mungkin mampu mengurangi sedikit luka di hati. Rindu: satu kata yang menggambarkan suasana hati di tengah isolasi global ini. Rindu bagaimana suasana penuh canda dan tawa ketika hari besar tiba, rindu ketika melakukan perkumpulan dengan teman dan keluarga, dan rindu bagaimana banyak orang yang bahagia karena berhasil membuat ‘dapurnya mengebul’ setiap pagi. Keadaan itu seakan hampir musnah ketika pandemi semakin tak terkendali. Jalanan sepi, pertokoan tutup lebih awal bahkan di hari besar yang seharusnya banyak umat merayakan hari keagamaannya, hampir tidak ada aura bahagia dan kebersamaan yang tercium. Peraturan sudah dibuat dan kebijakan sudah diundangkan. Tetapi, masih banyak yang abai dan tidak peduli. Lalu, kasus perlahan melonjak. Siapa yang patut disalahkan? Elegi yang dilalui membuat kenangan dan luka tersendiri bagi tiap orang. Kehilangan tanpa salam perpisahan yang mungkin dirasakan banyak orang menjadi memori yang tak terlupakan. Belakangan ini, vaksinasi mulai gencar dilakukan untuk menekan angka penyebaran virus Covid-19. Kelihatannya, suara sirine ambulans tidak lagi memekakkan telinga seperti dulu meskipun nyatanya kasus masih mengalami kenaikan. Apakah kita mendekati kemenangan dari perjuangan ini? Lalu, bagaimana jika seandainya pandemi pergi? Apa yang akan kita perbuat? Setiap peristiwa akan menjadi positif jika kita melihatnya dari sisi positif juga. Pandemi membuat bumi rehat dari polusi yang mengganggunya. Pabrik-pabrik yang diliburkan membuat udara lebih bersih dan langit lebih cerah. Meskipun ada juga yang tidak mampu berjumpa dengan keluarganya, banyak orang yang mampu berkumpul dengan keluarganya setelah sekian lama tidak bersua. Empati mulai tumbuh dan menjadi repetisi dalam perubahan yang dirasa tiba-tiba. Perlahan, kehidupan terasa lebih indah dengan maraknya aksi berbagi meskipun masih banyak kecurangan yang tak bisa dihindari. Seandainya pandemi pergi, anak-anak mungkin akan berlarian sepulang sekolah bersama teman-temannya. Menceritakan dan bersenda gurau melepas rindu setelah sekian lama tidak bertemu. Orang-orang dewasa mulai disibukkan dengan kewajiban yang harus ditunaikannya. Begitupun dengan bumi yang akan kembali merasakan padatnya repetisi kehidupan manusia. Tetapi, mungkin akan ada setitik perubahan dalam kehidupan. Manusia akan terbiasa hidup dengan protokol kesehatan seperti mencuci tangan, melaksanakan segala hal dengan berbasis digital mulai dari belanja dan memesan makanan. Empati melalui berbagi mungkin bisa terus mengakar dalam diri setiap manusia karena menyadari betapa nikmatnya hidup sehat dan berkecukupan. Mungkin, banyak orang akan berubah pikiran dari yang semula; “lelah banget ketemu hari Senin”, menjadi “syukur masih bisa kerja di Hari Senin.” Seandainya pandemi pergi, perpisahan pasti bisa dilakukan dengan berpamitan meskipun harus menyisakan kepedihan juga. Akan lebih banyak yang menghargai waktu dan kebersamaan untuk sekadar menghabiskan hari bersama orang yang disayangi. Pastinya, akan ada banyak angan yang ingin dicapai sesederhana anak sekolah yang ingin merasakan kembali suasana di kelas. Berulang kali kita dengar, jangan abai karena pandemi belum usai. Bukankah kita semua ingin mewujudkan mimpi ini agar tidak hanya menjadi ilusi?Semoga mimpi dan perjuangan yang panjang ini akan berbuah manis meskipun pandemi diprediksi akan menjadi endemi. Setidaknya, mari berjuang bersama agar kita bisa kembali merasakan apa yang pernah kita keluhkan. Ironisnya, apa yang pernah kita keluhkan itu adalah apa yang paling kita rindukan saat ini. Jadi, lakukan apa yang bisa dilakukan hari ini dan patuhi apa yang harusnya dipatuhi. Mari bersinergi bersama untuk mewujudkan mimpi kita agar tidak menjadi ilusi semata.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image