Andai Pandemi Pergi: Sebuah Nilai Paradoks
Lomba | 2021-09-22 16:14:13Pada dasarnya, kebanyakan dari masyarakat menganggap pandemi ini sebagai momok yang menghancurkan mereka, baik dari aspek kesehatan hingga ekonomi. Mereka mengeluhkan kehadiran si gedibal ini dengan ekspresi yang beragam, mulai dari sumpah serapah sampai ikhlas dan pasrah. Yang dilakukan oleh sebagian orang justru hanya akan menambah duka dan nestapa pandemi dari yang sudah ada. Jeritan dan tangisan yang diciptakan sejak awal tahun lalu semakin melandai dan kini diiringi oleh denging ambulans yang lalu lalang.
Itulah sedikit gambaran mengenai apa yang bisa dipikirkan terkait pandemi ini. Kendati demikian, ada beberapa nilai paradoks yang muncul seiring dengan adaptasi yang dilakukan oleh masyarakat sebagai bentuk dari copying. Adaptasi ini berkembang dengan tanpa eksekusi yang represif, semuanya berjalan mengikuti apa yang dianggap normatif. Itulah yang akan menjadi topik dan kajian dalam tulisan ini.
Mari melihat pandemi dari perspektif lain yang jauh dari penilaian umum, di mana kita menyadari bahwa pandemi ini hakikatnya adalah sumber dari permasalahan universal. Kita bisa memulainya dari kacamata seorang tamatan SMA yang angkatannya kerap dijadikan bulan-bulanan dengan sebutan âAngkatan Giveawayâ. Sepertinya, dalam konteks nilai paradoks ini, merekalah yang paling tepat untuk dijadikan pertimbangan terkait dengan pengalaman hidup hingga tata sistem sosial yang telah diacak-acak oleh pademi.
Dalam hal ini, izinkan saya mewakili âAngkatan Giveawayâ untuk berbicara dan mengangkat isu paradoks pandemi ini, mengingat saya merupakan lulusan SMA di tahun 2020. Di mana, perubahan besar terjadi dalam ranah personal hingga komunal, yang tentunya membuat cara pandang saya terhadap pandemi juga ikut berubah secara signifikan. Saya bisa memberi beberapa contoh kasus yang paling terdampak akibat perubahan konstruksi sosial ini, di antaranya: 1) Bagaimana teknologi mempermudah manusia; 2) Edukasi pendidikan kesehatan yang otodidak; 3) Mengawasi kebijakan nasional yang mengarah pada melek politik.
Saya tidak akan pernah tahu bagaimana rasanya mengerjakan tugas-tugas kuliah tanpa didukung oleh kemajuan teknologi, utamanya dibidang literasi dan ilmu pengetahuan. Tanpa teknologi, mungkin saya tidak akan mengerti cara kerja aplikasi Canva, atau bagaimana mengoperasikan Zoom meeting, atau bahkan saya tidak akan mengerti cara mengoptimalkan aplikasi sehari-hari seperti Spotify, Youtube, bahkan Instagram yang ternyata memiliki banyak ruang untuk mengekspresikan diri sekaligus memonetasi iklan. Lebih penting dari itu semua, tanpa teknologi, saya tidak akan bisa seberpotensi seperti saya yang sekarang. Berkat pandemi, saya semakin mantap menyongsong masa depan dengan dorongan teknologi dan komunikasi yang memudahkan saya terhubung pada orang-orang baru, organisasi-organisasi yang belum pernah saya dengar sebelumnya dan dengan kesempatan-kesempatan yang belum pernah saya berani untuk mencobanya.
Hal yang sama berlaku pada pendidikan kesehatan yang umumnya sangat terbatas untuk didapatkan, kalau bukan karena sakit terlebih dahulu dan datang langsung ke dokter spesialis. Tapi kemudian, pandemi ini hadir dan mengajarkan umat manusia tentang pendidikan kesehatan secara cuma-cuma. Yang ingin saya utarakan adalah, bagaimana saya teredukasi secara komprehensif mengenai informasi COVID-19 ini tanpa saya harus merasakan betapa sakit dan ngeri penyakit tersebut sebenarnya. Berkat pandemi, saya belajar mengenai keutamaan kesehatan pribadi, bagaimana ternyata kita perlu mencuci tangan minimal 20 detik untuk membunuh kuman, bagaimana masker sebaiknya diganti tiap 4 jam sekali, bagaimana sinar matahari adalah obat terbaik untuk jiwa dan raga. Jika tanpa pandemi, kebiasaan edukasi pendidikan kesehatan ini tidak akan pernah terjadi dalam hidup saya.
Dan terakhir, saya ingin mengalamatkan betapa pandemi telah membuka mata saya mengenai situasi sosial-politik belakangan ini. Mengawasi pemerintahan negara ini melalui tulisan-tulisan sesama mahasiswa dari bermacam platform di internet, mengkritisi kinerja hingga kebijakan pemerintah yang kian nyeleneh arah dan tujuannya. Sebut saja, alur cerita KPK yang makin ke sini makin ngaco, atau kabar burung rumah sakit khusus pejabat hingga vaksin booster yang diberikan bukan hanya kepada nakes tapi juga kepada tuan-puan berdasi. Kita begitu kecolongan banyak dari pemerintah sehingga krisis kepercayaan telah menjadi common sense di negara ini, salah satunya adalah alasan rekan organisasi saya enggan vaksin adalah karena dia mengalami krisis kepercayaan terhadap pemerintah.
Tampaknya, saya jadi ikut mafhum sejak membaca âAda Rakyat Ogah Vaksin Itu Bisa Aja karena Tak Percaya Pemerintahan Jokowi Lagiâ milik Ahmad Khadafi selaku redaktur Mojok.co yang menunjukkan kohesivitas regulasi abal dan masyarakat abai vaksinasi. Padahal, vaksinasi itu arahan langsung dari ilmuwan untuk pedoman hidup dan tidak ada kaitannya dengan pemerintahan compang-camping. Tanpa pandemi, saya tidak akan mengerti latar belakang orang-orang ini dan kausa apa yang telah menjadikan negara kita terlambat mengurus jutaan nyawa yang terlantar. Berkat pandemi, pengetahuan politik dan kepekaan sosial saya semakin meruncing dibandingkan pra-pandemi.
Begitulah, bagaimana nilai-nilai paradoks pandemi yang terhimpun dalam pikiran saya ini membentuk perspektif baru. Yang pada awalnya, saya sama tidak bersemangatnya seperti orang lain dalam menerima moralitas baru, hingga berjalannya waktu saya menemukan kebermanfaatan yang dituai selama pandemi. Tidak dapat saya bayangkan, bagaimana ceritanya jika pandemi ini tidak terjadi, kemungkinan terbesar adalah praktik kehidupan akan berjalan tanpa alterasi yang berarti. Pandemi telah mengakselerasi kemampuan kita sebagai masyarakat modern yang utuh dan mandiri, sisanya tinggal bagaimana kita memetakan penilaian terhadap kemajuan peradaban yang sedang terjadi ini. Namun, saya percaya bahwa dengan keterbukaan, kita akan semakin maju dan berkembang dari sebelumnya.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.