Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image ventin yurista

Andai Pandemi Pergi, Ada yang Tak Kembali

Lomba | Wednesday, 22 Sep 2021, 14:43 WIB

Andai pandemi pergi, dunia ini tak akan sama lagi. Kehidupan akan jauh berbeda. Tak akan bisa kembali seperti sedia kala, saat pandemi belum melanda. Sungguh, virus mungil ini telah mengubah seantero bumi. Meluluhlantakkan sistem kesehatan di berbagai negeri. Melemahkan bermacam bisnis dan ekonomi. Dan, yang paling menyayat hati, pandemi ini telah merenggut nyawa orang-orang terkasih.

Sebelum Covid-19 mewabah, kita terbiasa bercengkerama dengan keluarga. Menjalin silaturahim dengan sanak saudara. Berkumpul dengan para sahabat setia. Menelusuri berbagai tempat wisata. Bekerja atau bersekolah dengan leluasa.

Setelah Covid-19 punah, kita pun dapat kembali beranjangsana. Tak lagi terkurung di rumah saja. Bebas bepergian tanpa rasa waswas. Bisa dengan normal melakukan berbagai aktivitas.

Namun, tetap ada yang terasa berbeda. Meskipun pandemi telah usai, mereka tak akan lagi bisa membersamai. Mereka, orang-orang tersayang yang telah berpulang. Jutaan nyawa yang telah hilang, hanya dalam waktu kurang dari dua puluh empat bulan.

Per 20 September 2021, WHO mencatat terdapat 228.394.572 kasus terkonfirmasi positif Covid-19 di seluruh dunia, dengan angka kematian mencapai 4.690.186. Di Indonesia, coronavirus telah menginfeksi 4.192.695 jiwa, sebanyak 140.634 di antaranya meninggal dunia.

Jumlah tersebut bukan sekadar deretan angka. Tapi semua itu adalah nyawa manusia, yang jauh lebih berharga dari berapapun harta. Setiap nyawa adalah anggota dari sebuah keluarga. Setiap nyawa memiliki peran besar bagi kehidupan manusia lainnya. Ketika nyawa itu telah tiada, akan menorehkan duka mendalam yang tak akan sirna.

Laporan WHO bertajuk Children: The Hidden Pandemic 2021 menyatakan, hingga akhir Mei 2021, diperkirakan dua juta anak di bawah usia 18 tahun kehilangan ibu, ayah, dan atau orangtua pengasuh. Bayangkan, betapa merananya anak-anak tersebut. Meninggalnya orangtua, bukan hanya berarti kehilangan kasih dan cinta, tapi juga kehilangan pelindung dan pengayom bagi masa depan mereka.

Di dunia kesehatan, Lapor Covid-19 mengungkap tenaga medis yang gugur melawan wabah mencapai 2.032 orang, yang terdiri dari 730 dokter, 670 perawat, dan tenaga kesehatan lainnya. Sekali lagi, semua itu bukan cuma angka, tapi para tenaga kesehatan yang amat dibutuhkan oleh negara. Setelah pandemi berakhir pun, butuh waktu yang tak sebentar untuk mencetak kembali nakes-nakes baru.

Saya sendiri pun kehilangan banyak orang tercinta selama pandemi ini. Mulai dari guru, tetangga, teman, bahkan ibu saya sendiri. Mereka wafat dalam kurun waktu yang singkat. Menggoreskan rasa pedih yang bertubi-tubi, yang akan terus menetap meski pandemi telah lenyap. Ekonomi bisa pulih, kita bisa bepergian lagi, tapi nyawa yang hilang tak akan mungkin kembali. Duka yang saya alami ini, pasti juga dirasakan oleh banyak orang lainnya akibat pandemi.

Namun, kita tak boleh terus terpuruk begini. Bagaimanapun, kita harus bangkit kembali. Pandemi ini harus segera disudahi, agar semua duka itu berhenti sampai di sini. Maka, daripada berandai-andai kapan pandemi usai, lebih baik kita segera mengenyahkan sikap abai, dan berjuang bersama agar pagebluk segera selesai.

Tak mengapa menaruh harapan pada masa depan, namun jangan sampai berhenti di tataran lamunan. Jadikan bayangan bahagia ketika pandemi berakhir, sebagai lecutan semangat untuk berikhtiar hingga titik nadir. Untuk berupaya seoptimal mungkin agar tak ada lagi korban jiwa lain.

Untuk mengakhiri pandemi, setidaknya ada tiga hal yang bisa kita lakukan, yang juga dapat terus kita terapkan ketika wabah usai nanti. Pertama, mari tingkatkan kesadaran akan pentingnya menjaga kebersihan dan kesehatan. Ubah pola makan menjadi lebih sehat. Sempatkan berolahraga dan cukupkan waktu istirahat. Jadikan hidup sehat sebagai kebiasaan yang terus terjaga walau wabah sudah tak ada.

Untuk saat ini, tetap patuhi protokol kesehatan 5M (memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak, menjauhi kerumunan, mengurangi mobilitas). Meski jumlah kasus telah berkurang, tetap jangan meremehkan, karena wabah gelombang kesekian bisa kembali menyerang.

Kedua, perbanyak literasi. Selama pandemi, begitu banyak orang yang terjerumus dalam hoaks dan teori konspirasi. Mereka cenderung langsung percaya pada berita yang bertebaran di dunia maya, tanpa menyeleksi mana informasi yang terpercaya. Padahal, penanganan pandemi akan semakin sulit dengan merebaknya orang-orang yang termakan berita yang tak valid.

Karena itulah, mari perbanyak membaca dari sumber yang pasti. Sering-seringlah mencari ilmu dari para ahli. Jangan terburu menyebar berita sebelum kebenarannya terkonfirmasi. Bahkan setelah pandemi pergi, kita perlu terus meningkatkan literasi, agar dapat menyikapi semua peristiwa dengan ilmu yang mumpuni.

Ketiga, tetaplah peduli dan berempati. Pandemi ini membuktikan, meski begitu banyak kekacauan yang terjadi di negeri ini, masih ada orang-orang berhati nurani. Walaupun sering tak ada keteladanan dari para pejabat, setidaknya gotong royong masih melekat di tengah masyarakat. Saling berbagi saat isolasi mandiri, saling membantu ketika ada yang butuh, juga saling menguatkan dan memberi motivasi.

Ketiga hal ini tampak sederhana, namun dampaknya akan luar biasa jika kita lakukan bersama. Sekecil apapun aksi, akan berkontribusi bagi penanganan pandemi. Tentu kita tak bisa hanya mengandalkan masyarakat, tapi kita pun berharap negara dapat menerapkan kebijakan yang tepat. Dengan kerja sama dari berbagai pihak, ratusan juta nyawa akan terselamatkan, dan wabah ini akan segera terdepak.

Sementara nyawa-nyawa yang telah pergi, memang tak akan kembali. Sesungguhnya mereka telah berkorban agar kita tersadar dan segera berjuang, untuk bangkit bersama demi mengakhiri wabah. Jangan biarkan pengorbanan mereka menjadi sia-sia dan tak berarti. Mari berjuang demi mereka yang telah mendahului, dan untuk masa depan yang lebih baik nanti. Hingga kelak, ketika pandemi pergi, kita pun bisa tersenyum kembali.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image