Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Syahrial, S.T

Andai Pandemi Pergi : Umat Kembali Bersatu

Lomba | 2021-09-22 14:08:58
Sumber : Republika

Bermula dari kehadiran virus corona di tengah tengah kita, menyebabkan banyak tatanan hidup yang selama ini dipercaya kemutlakannya ternyata harus ditinjau ulang. Contohnya pada hukum merapatkan shaf saat salat. Dulu sebelum ada wabah Covid-19, semua orang yakin bahwa perintah meluruskan dan merapatkan shaf saat salat adalah sunnah yang pengamalannya suatu keutamaan dalam agama Islam. Tetapi sekarang setelah ada wabah covid-19 ini ada yang harus disesuaikan dengan kondisi yang ada. Shaf salat harus tetap lurus tetapi dengan jarak yang lebih jauh dari sebelumnya, bahkan ada yang mengharuskan berjarak sampai satu meter.

Physical distancing adalah salah satu upaya yang direkomendasikan oleh badan kesehatan sedunia untuk mencegah penularan virus corona. Sebagai organisasi dunia yang berisikan para ahli di bidang kesehatan, tentu saja rekomendasi yang dikeluarkannya menjadi acuan bagi seluruh negara dalam mencegah penularan Covid-19 ini di negaranya masing-masing, tidak terkecuali di Indonesia. Pemerintah Indonesia melalui Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 4 Juni 2020 telah mengeluarkan fatwa Nomor 31 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Salat Jumat dan Jamaah untuk Mencegah Penularan Wabah Covid-19.

Dikutip dari republika.co.id ketentuan perenggangan shaf saat salat berjamaah yang dikutip dari fatwa MUI di atas adalah sebagai berikut :

Meluruskan dan merapatkan shaf (barisan) pada sholat berjamaah merupakan keutamaan dan kesempurnaan berjamaah.

Sholat berjamaah dengan shaf yang tidak lurus dan tidak rapat hukumnya tetap sah tetapi kehilangan keutamaan dan kesempurnaan jamaah.

Untuk mencegah penularan wabah Covid-19, penerapan physical distancing saat sholat jamaah dengan cara merenggangkan shaf hukumnya boleh, sholatnya sah dan tidak kehilangan keutamaan berjamaah karena kondisi tersebut sebagai hajat syar’iyyah.

Menyikapi fatwa MUI ini ada masyarakat yang setuju ada juga yang menentang. Mereka yang setuju berpendapat bahwa sekarang ini kondisinya bisa disebut darurat covid-19. Jadi tidak bisa disamakan dengan kondisi normal. Sedangkan mereka yang menentang berpendapat bahwa perintah merapatkan shaf ini bersifat mutlak, menurut mereka bahwa jaman dahulu juga pernah ada wabah pandemi tetapi tidak ada ketetapan untuk merenggangkan shaf salat.

Kurangnya pemahaman masyarakat terhadap ilmu agama dan kurangnya pengetahuan tentang bahaya Covid 19 ini yang menyebabkan timbulnya pro dan kontra dalam menyikapi fatwa MUI tersebut. Pro kontra ini secara samar samar bisa menjadi sinyal yang kuat bahwa masyarakat Indonesia masih kurang literasi terhadap ilmu agama dan kesehatan. Jadi permasalahan pro dan kontra ini kembali ke kemampuan literasi masyarakat Indonesia yang rendah.

Seharusnya dengan perkembangan teknologi informasi yang kian maju seperti sekarang ini, umat Islam semakin melek dengan hukum Islam. Banyak kajian Islam yang mengupas kitab klasik disertai dukungan banyaknya kitab klasik yang sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia dan dijual secara online, menyebabkan semakin terbukanya informasi bagi umat untuk mengetahui hukum-hukum dalam agama Islam. Berbeda dengan dua puluh sampai tiga puluh tahun yang lalu, dimana buku-buku masih sangat terbatas dan kajian agama pun masih terbatas. Sekarang ini dengan bermodalkan gadget dan internet semua informasi dapat dicari dalam waktu seketika saja. Termasuk masalah agama dan kesehatan seperti apa yang menjadi pro dan kontra tadi.

Seperti yang dilansir di syariah.umm.ac.id, terkait hukum dengan shaf yang berjarak dalam kondisi darurat covid-19, dijelaskan bahwa alam kondisi darurat covid-19, shalat seseorang tetap sah meskipun shafnya berjarak. Bahkan perenggangan shaf inilah yang harus dilakukan sesuai ketentuan protokol kesehatan yang berlaku.

Secara umum, lazim kita dengar ketika hendak salat, imam menganjurkan untuk meluruskan dan merapatkan shaf. Banyak hadits dengan redaksi yang beragam pula yang berbicara terkait meluruskan atau merapatkan shaf di dalam shalat. Namun, perintah di situ tidaklah menunjukkan kewajiban melainkan kesunnahan (anjuran). Karena terdapat petunjuk lain yang mengarah ke hukum sunnah tersebut. Misalnya hadis riwayat Ibnu Majah yang mengatakan: “Sawwu sufufakum fa inna taswiyata ash-shafi min tamami ash-shalah” (Luruskanlah shaf-shaf kalian karena sesungguhnya meluruskan shaf merupakan bagian (sebagian) dari kesempurnaan shalat). Petunjuk yang mengarahkan kepada hukum sunnah di sini adalah kalimat min tamami ash-shalah (sebagian kesempurnaan shalat). Tidak disebutkan sebagai hal yang dapat membatalkan shalat atau semisalnya.

Ada juga hadis lain yang menyatakan bahwa Rasulullah memerintahkan untuk menegakkan atau meluruskan shaf. Kemudian ada salah seorang sahabat yang menempelkan mata kaki dengan mata kaki, lutut dengan lutut, dan bahu dengan bahu. Namun, ini hanya tindakan salah seorang sahabat dan tidak ada penjelasan bahwa sahabat yang lain juga demikian. dan Rasulullah pun tidak melarangnya. Sehingga, menempelkan hal-hal tersebut bukanlah sesuatu yang wajib, melainkan boleh-boleh saja. Ingat, boleh saja hukumnya. Di antara pertanyaan yang perlu direnungkan jika hal itu diwajibkan: apakah mungkin bisa melakukan demikian secara utuh? Jika seseorang shalat dan di samping berdiri orang yang lebih rendah atau lebih tinggi dari dirinya, apakah mungkin bisa demikian? Tentu menjadi sulit terpenuhi. Sehingga tidak tepat jika menempelkan hal-hal tersebut menjadi sebuah kewajiban. Ditambah lagi, Rasulullah pun tidak memerintahkan demikian.

Ini kejadian nyata yang terjadi di sebuah masjid yang letaknya di kampung. Sebelum merebaknya covid-19, keadaan jamaah masjid tenang tenang saja dalam beribadah. Tidak ada yang meributkan masalah qunut subuh, celana cingkrang, memanjangkan jenggot, maupun adanya jamaah dari luar yang menginap di masjid mereka. Karena semua jamaah ketika salat shafnya lurus dan rapat. Tetapi begitu ada fatwa MUI tentang pengaturan jarak shaf salat tadi, mulailah timbul perselisihan bahkan sampai perpecahan. Sampai ada beberapa jamaah yang menolak shaf renggang itu akhirnya pindah ke masjid lain yang masih menerapkan shaf rapat.

Sungguh kisah yang menyedihkan, dimana umat terpecah belah karena perbedaan pemahaman. Walaupun sebenarnya perbedaan itu adalah sesuatu yang pasti terjadi. Ingat hadits Rasulullah yang menyatakan bahwa kelak umat Islam akan terpecah menjadi 73 golongan. Jadi jauh-jauh hari sudah diramalkan Rasulullah tentang apa yang sekarang ini terjadi. Namun tetap saja perpecahan umat adalah sesuatu yang sangat disayangkan.

Andai pandemi pergi, tentunya tidak ada lagi kewajiban masyarakat untuk menerapkan physical distancing , sehingga tidak perlu ada lagi pemberlakuan perenggangn shaf saat salat. Dengan demikian jamaah yang tadinya harus mencari masjid yang jauh dari rumahnya demi menegakkan keyakinannya, kembali berjamaah di masjid yang terdekat dengan rumah masing-masing. Dan umat pun kembali bersatu.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image