Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muh. Fajaruddin Atsnan

Berdamai dengan Pandemi demi Rindu yang Belum Tuntas

Lomba | 2021-09-22 06:39:39

Mengharap pandemi segera berlalu menjadi satu doa dan harapan semua masyarakat. Untuk kali ini tampaknya semua pro, tidak ada yang kontra. Banyak mimpi indah yang sudah dirancang, andai Pandemi Covid benar-benar pergi. Kalau boleh menyebut satu keingingan tentunya pengen balik lagi ke kampung halaman, mengobati rindu yang belum tuntas.

Rindu Bapak

***

Maret 2020, Covid-19 datang tanpa permisi. Membuat semua rencana indah, terpaksa ditunda dengan harapan pandemi lekas pergi. Namun ternyata, pandemi justru menjadi. Negeri ini pun tak luput dari badai gelombang pandemi, tidak cukup satu, tetapi bahkan gelombang kedua. Saat itu pula, hati mencoba berdamai dengan pandemi, okey, untuk sementara tidak pulang kampung alias mudik saat lebaran, tak mengapa. Kita masih bisa berkomunikasi lewat video call. Namun ternyata, gegara pandemi, tak hanya mudik yang dilarang, aktivitas belajar, beribadah, bekerja pun dibatasi. Perlu cepat beradaptasi, tetapi rasa takut pun turut menyertai. Kini, setelah badai gelombang pandemi kian melandai, ada harapan bercampur kecemasan, kira-kira pandemi akan segera pergi tidak ya? Kalau diminta berharap, tentu kita semua ingin pandemi segera enyah dari muka bumi. Namun, apa bisa? Kalaupun pandemi tak sepenuhnya pergi, akankah kita mau berdamai dengannya?

***

Pertama, berdamai dengan Covid-19 dalam aktivitas dan rutinitas pekerjaan. Pandemi Covid-19 telah menelurkan dua istilah dalam bekerja. Ada WFO (work from office), ada pula WFH (work from home). Dua sistem kerja yang membingungkan di awal pandemi datang, meskipun lambat laun kita terbiasa, tetapi ada semacam perbedaan gairah bekerja. Rindu rutin bekerja di kantor, tetapi lebih nyaman alias pewe jika bekerja dari rumah. Yang lebih dahsyat lagi, tentu dampak pandemi yang memukul sektor ekonomi, yang berdampak pada banyaknya orang kehilangan pekerjaan. Berdasarkan data BPS hingga Februari 2021, jumlah pengangguran tembus di angka 8,75 juta orang, sedangkan menurut data Kemnaker ada 29,4 juta orang terdampak pandemi Covid-19, baik itu yang terkena PHK ataupun yang dirumahkan tanpa upah hingga pengurangan jam kerja dan upah yang berujung minimnya rupiah.

Berdamai dengan pandemi ketika bekerja, mungkin menjadi solusi, be happy, be healthy, and still keep productivity adalah jargon sekaligus penyemangat diri untuk tidak terpuruk dalam kondisi sulit. Harus bangkit dengan terobosan ide inovatif kreatif dalam bekerja maupun menciptakan lapangan kerja yang memang mengejawantahkan pekerjaan di era digital saat ini. Teruntuk pemerintah, sesuai amanat Undang-Undang Dasar 1945, bahwa setiap warga negara berhak mendapat pekerjaan dan penghidupan yang layak. Sehingga pemerintah wajib memikirkan nasib para anak bangsa yang “nganggur” karena di-PHK dan semacamnya.

Kedua, berdamai dengan Covid-19 dalam aktivitas kegiatan belajar dan mengajar. Selain kita harus berdamai dalam masalah pekerjaan, begitupun dengan dunia pendidikan dengan kegiatan belajar mengajarnya. Perlu kecepatan adaptasi dengan menyingkronkan model pembelajaran, kualitas pendidik, serta sarana-prasarana pendidikan di era digital. Benar bahwa pembelajaran tatap muka menjadi solusi atas minimnya nutrisi pendidikan anak saat pandemi, tetapi pembelajaran tatap maya sudah seharusnya dibiasakan agar menjadi alternatif solusi terbaik, yang menghadirkan kebaruan dan kemutahiran sistem pendidikan kita.

Ketiga, berdamai dengan Covid-19 dalam kegiatan peribadatan. Sebagai seorang hamba, yang menganut kepercayaan kepada Tuhan YME, pandemi Covid-19 pun telah mengubah segala aturan dalam ibadah. Yang paling kentara terlihat dari shaff dalam sholat berjamaah di masjid dan musholla yang tak lagi serapat dahulu sebelum Covid-19 datang. Sampai yang paling umum, dibatasinya segala bentuk peribadatan di setiap rumah ibadah, baik itu masjid, gereja, pura, wihara, Andai pandemi pergi, perlu kiranya segera kembali membiasakan diri untuk back to masjid, dll, tentunya dengan protokol kesehatan ketat dan disiplin diri.

***

Entah ini benar atau salah. Jika tiap orang diminta berandai-andai, pandemi pergi, dan menuliskannya dalam sepucuk kertas, ada sangat banyak luapan penuh emosional, luapan kebosanan, luapan kekesalan, dan tentunya luapan hati yang kangen hiruk pikuk kembali sediakala. Mau piknik lah, mau naik pesawat lah, mau jalan-jalan lah, mau traveling lah, semua dirangkum menjadi satu. Sekolah seperti dulu, ekonomi pulih, semangat beribadah dan bekerja kembali menyala. Semua tak nampak kesedihan, kecemasan, kebosanan, ketika pandemi (nantinya) pergi, dan yang ada hanyalah keindahan.

(Covid-19) Datang tak bilang-bilang. Minimal pergi ya bilang dulu. Pamitan, sungkem, atau kalau perlu minta bekal. Tetapi, yang jelas untuk saat ini pandemi belum pergi. Masih berpijak di bumi, sambil memohon kepada Sang Pencipta untuk terus sehatkan orang-orang tersayang, agar nanti ketika Pandemi benar-benar pergi, kita dapat kembali merajut. Ingin sekali memijat kembali orang tua di tanah kelahiran.

Terakhir, setelah apa yang dilakukan Covid-19 kepada kita semua, dengan memporak-porandakan semua sendi kehidupan. Lantas, apakah kita sudah siap, ikhlas dan ridho, untuk berdamai dengan pandemi Covid-19 dengan kebiasaan dan aktivitas baru? Pasti ada hikmah dibalik kejadian, ujian, dan musibah. Semoga**

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image