Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muh. Fajaruddin Atsnan

Mengambil Sisi Baik dari Pandemi

Lomba | Wednesday, 22 Sep 2021, 06:32 WIB

Hampir dua tahun, tepatnya Desember 2019, bapak mertua menduduki kursi bertuliskan Corona, yang dipinjami pihak bandara Adisucipto di Yogyakarta. Maksud hati membuka-buka foto kenangan, kami baru sadar bahwa di pojok kanan bawah, ada tulisan Corona. Entah suatu kebetulan atau tidak. Tapi yang pasti, meskipun hanya tulisan, Corona pada kursi roda tersebut lebih dahulu mendarat di Indonesia dibandingkan Corona virus di bulan Maret 2020. Corona Virus Desease yang kemudian disingkat menjadi Covid, dan bertransformasi nama menjadi Covid-19.

Dokumen pribadi

Kalau dipikir-pikir, dengan ukuran yang sangat mini, akan sangat gampang bagi manusia untuk melenyapkan Covid-19. Tapi ternyata, tidak sesimpel itu. Penyelesaian sederhana ala orang awam, yakni bagi yang sehat menerapkan 3M, 5M, ataupun 5M + 1 D. Sedangkan bagi yang sudah terinfeksi, cukup dengan isolasi mandiri selama dua pekan, maka akan kelar. Rantai penularan dapat diputus. Kita bisa beraktivitas seperti biasa, tanpa era new normal. Ternyata tidak segampang teorinya.

Harapan akan solusi sederhana, ternyata tidak cukup berhasil menekan angka pertambahan terkonfirmasi positif Covid-19. Angka penambahan terus melejit, menuju puncak, belum melandai. Boro-boro melandai, selalu ada “hajatan” yang sepertinya menggagalkan angka tersebut untuk terjun bebas. Liburan lah, pilkada lah, ada sajalah pokoknya. Lantas, apa ini semua salah Covid? Jangan-jangan ini gegara kita sendiri, manusia yang terus menerus menerabas batas ambisi, tanpa mau intropeksi diri. Bisa jadi kita, manusia yang salah langkah, bukan Covid.

***

Kalau mau berpikir jernih, dengan hati yang sabar, tentu kita tak akan mudah mendeskriditkan Covid sebagai biang kerok, hilangnya momen di 2020 dan separuh lebih 2021. Kalau mau berpikir lanjutan lagi, karena diawali kegelisahan akan ambruknya sektor ekonomi, kemudian menggadai dan menomor sekiankan sektor kesehatan. Alhasil, semua sektor lain pun terdampak, bahkan terancam ambruk.

Di sisi pikir yang lain, harusnya kita berterimakasih kepada Covid. Di luar antah berantah, kelimpungannya semua negara, tak terkecuali antartika, akibat Covid ini, banyak jasa Covid untuk dunia. Untuk Indonesia, kontribusi Covid tidak hanya membuat masyarakat kita kembali melirik empon-empon, tanaman herbal sebagai warisan berharga yang dimiliki bumi pertiwi. Tetapi, Covid sudah menjadi guru kita semua.

Pertama, mengajarkan akan pentingnya persatuan dan kesatuan. Kadang diri ini bertanya, mengapa Covid tak kunjung enyah dari bumi pertiwi ya? Padahal kan bisa sesimpel pemikiran orang awam tadi. Tetapi ternyata banyak faktor yang membuat kita kewalahan dalam melawan Covid. Tidak jalannya early warning system, matinya alarm dini akan sinyal bahaya potensi penyebaran Covid serta lambatnya respon preventif, memang membuat masifnya korban Covid-19.

Namun, tipisnya trust alias kepercayaan dari masyarakat kepada pemimpin negeri bisa jadi salah satu faktornya utamanya. Di satu sisi, dari awal penanganan masalah Covid, pemerintah seperti ragu, setengah-setengah dengan kebijakan yang diambil. Andai pemerintah yakin dan mampu menyakinkan masyarakatnya agar tak perlu cemas, tak perlu takut, kita akan lakukan a,b,c strategi untuk melawan Covid sesegera mungkin. Tentu cerita akan lain. Bagaimana rakyat dan masyarakatnya yakin jika pemerintah seperti galau dalam setiap kebijakan yang diambil? Ditambah disparitas visi dalam penyelesaian masalah Covid. Jika kita fokus pada satu titik yaitu penyelesaian Covid dalam sudut pandang kesehatan, sebetulnya secara tidak langsung bisa membantu sektor ekonomi agar tidak terlalu jauh terkoreksi, hingga ancaman resesi. Cuma masalahnya, fokus itu terbagi. Diperlukan satu irama, satu ketukan, satu komando untuk segera mengakhiri pandemi ini.

Kedua, mengajarkan akan makna perubahan. Sadar atau tidak, Covid telah mengajarkan akan pentingnya move on. Berubah, berhijrah. Tentunya ke arah yang lebih baik. Perubahan gaya hidup, perubahan gaya mengajar, perubahan gaya belajar, perubahan gaya belanja, hingga perubahan gaya berinteraksi. Memang semua perubahan memerlukan proses, tidak instan, bim salabim bisa berubah. Menjadi lebih sehat dengan gaya hidup yang baru, menerapkan protokol kesehatan. Menjadi lebih interaktif dan inovatif dengan pembelajaran jarak jauh sebagai alternatif pembelajaran era 4.0. hingga menjadi lebih hati-hati dalam bersosialisasi dan berinteraksi. Tidak apa-apa muncul problematika, karena memang belum terbiasa. Nanti setelah pandemi Covid-19 ini berakhir, angka harapan hidup semakin panjang, bumi kita semakin sehat, hingga munculnya tawaran pembelajaran berbasis MOOC, berbasis teknologi informasi yang sudah ready.

Pandemi Covid-19 adalah takdir yang tak dapat kita tolak. Covid telah melumpuhkan perekonomian global, menambah kemiskinan dan pengangguran, serta membuat gap kekayaan semakin lebar, akibat melonjaknya kekayaan orang-orang yang diuntungkannya (Covid). Namun, Covid tidak serta merta hanya menghadirkan kesedihan, kesusahan, dan kegelisahan bagi semua dari kita yang terdampak. Tetapi, Covid telah mengajarkan kepada kita semua untuk tetap bahagia, bersyukur bagaimanapun kondisinya. Menyalahkan Covid, seperti menegakkan benang basah. Sia-sia saja. Lebih baik kita berintropeksi, sembari bermimpi pandemi Covid secepatnya (benar-benar) pergi dan kita tetap dengan kebiasaan baik ini. Semoga**

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image