PERAN HUKUM DALAM MELINDUNGI KARYA PERFILMAN DI INDONESIA
Eduaksi | 2022-05-16 16:44:32Perkembangan teknologi telah menjadikan dunia semakin maju. Salah satu contohnya adalah Internet. Internet telah memberikan dampak yang cukup signifikan dalam era globalisasi sekarang ini. Segala jenis aspek dapat diakses dengan mudah dengan Internet. Ada banyak contoh hal positif dengan menggunakan internet, beberapa diantaranya adalah mendapatkan informasi dengan cepat, mempelajari sesuatu dengan mudah, dan memperluas literasi secara luas. Namun semakin cepatnya akses internet seiring perkembangan kemajuan zaman, ada beberapa hal negatif yang bisa ditemukan di dalam internet seperti perjudian, penipuan dan pembajakan.[1]
Dalam kemajuan teknologi yang sangat pesat ini, kejahatan akan sangat mudah ditemukan didalamnya, tidak terkecuali dalam hal pembajakan film. Dengan memiliki intelektual yang tinggi, para pembajak bisa dengan mudah mengambil dan menyebar karya film sang pencipta dengan menggunakan smartphone atau laptopnya di beberapa aplikasi seperti Telegram dan Bigo Live.[2] Dalam hal ini, sang pencipta mempunyai Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) sebagai payung akan perlindungan karyanya. Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) adalah hak untuk menikmati secara ekonomis hasil dari kreaktivitas secara intelektual. Objek yang diatur dalam kekayaan intelektual berupa karya seperti film yang dihasilkan oleh kemampuan intelektual manusia. Dan istilah HAKI didapat dari Intellectual Property Right (IPR) yang diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 1994 tentang pengesahan WTO.[3]
Hak cipta adalah hak eksklusif sang pencipta yang muncul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata dan tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan dari peraturan perundang-undangan. Hal ini sesuai dengan pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang hak cipta. Adapun hak cipta yang dimaksud terdiri dari hak moral dan hak ekonomi.[4] Pelanggaran hak cipta sebelumnya dilakukan dengan menggunakan CD yang kemudian biasanya akan dijual di sekitar pasar atau tempat wisata, tapi cepatnya teknologi membuat pembajakan lebih mudah lagi untuk dilakukan. Para pelaku pembajak biasanya menyebarkan film hasil bajakannya melalui situs web ataupun aplikasi.
Terdapat dua hal yang memungkinkan dalam pelanggaran hak cipta. Yang pertama secara sengaja tetapi tanpa menyebarkannya ke khalayak umum, dan yang kedua adalah mengedarkan dan memamerkannya secara luas di khalayak umum. Banyaknya pembajakan yang dilakukan melalui situs ilegal tanpa seizin dari pemilik karya film tersebut merupakan suatu pelanggaran sdan harus dikenakan sanksi yang cukup serius. Perlindungan yang diberikan kepada pemilik karya film tertuang pada UUHC yaitu dalam pasal 9 ayat (2) dan ayat (3) disebutkan bahwasannya setiap orang menggunakan hak ekonomi sebagaimana yang tertera di ayat (1) wajib mendapatkan izin dari pencipta atau pemegang hak cipta dan dilarang melakukan penggandaan serta penggunaan secara komersial tanpa seizin dari pencipta.
Diatur juga jika terjadi pelanggaran dalam bentuk pembajakan pada pasal 113 ayat (4) maka dipidana dengan penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).[5] Ketentuan pada pasal 120 UUHC mengatur mengenai kasus pelanggaran hak cipta menggunakan delik aduan.[6] Delik tersebut harus dilaporkan oleh orang yang dirugikan sehingga dapat diproses jika terdapat pengaduan dari korban.[7] Pembajakan situs online juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik (sekarang menjadi UU ITE) terdapat pada pasal 32 yaitu mengenai “setiap orang yang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apapun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu informasi elektronik atau dokumen elektronik milik orang lain atau milik publik dipidana penjara delapan tahun dan denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00.”.[8] Pada pasal 48 ayat (2) juga memberikan perlinudungan yaitu tindakan perekaman sekaligus mendistribusikan juga mendapatkan ancaman pidana paling lama 9 tahun dan denda paling banyak Rp. 3.000.000.000,00. Perlindungan dalam UU ITE ini dapat dikaitkan dengan pembajakan situs online disebabkan oleh media yang digunakan berupa kamera atau alat perekam yang kemudian diedarkan dan disebarkan secara luas di dalam situs online ilegal.[9]
Upaya pemerintah yang bisa dilakukan dalam melindungi karya film adalah pemerintah dapat membentuk satuan tugas (satgas) Penanganan Pengaduan Pembajakan Produk Ekonomi Kreatif yang berperan untuk mendampingi pelaku ekonomi kreatif pada tahap proses pelaporan apabila terdapat pembajakan baik online atau offline. Pemerintah juga dapat menayangkan film di situs layanan streaming yang terdaftar pada Menkominfo yang dimana situs ini relatif lebih murah dibandingkan pembelian VCD/DVD sehingga masyarakat lebih menghargai karya film dari pencipta. Serta pemerintah dapat ikut andil dalam mengedukasi dan meningkatkan pemahaman masyarakat akan pentingnya hak eksklusif pencipta film dengan tidak mengupload, menonton, ataupun mendistribusikan karya film tanpa izin.[10]
Masyarakat Indonesia sendiri masih banyak yang kurang literasi dan pemahaman tentang bahaya menonton film secara ilegal. Mereka kurang siap dalam mengetahui resiko yang akan terjadi, seperti kehilangan dan pencurian data pribadi. Membuat mereka belum bisa dan siap menggunakan media sosial secara baik dan benar. Sebagai generasi millenial, sangat diperlukan pemahaman dan literasi yang cukup untuk mengatasi masalah pembajakan. Peran mereka sangat penting untuk memberi edukasi kepada masyarakat yang belum mengerti tentang pentingnya menghargai hak cipta seseorang. Kita juga bisa memberi edukasi tentang etika penggunaan sosial media, efek samping dari menonton film secara ilegal, dan pasal-pasal yang menyangkut hak cipta.[11]
[1] Sumardani, Ni Made Rian Ayu, and I. Made Sarjana. "Perlindungan Hukum Terhadap Pencipta Karya Sinematografi Terkait Pembajakan Film Pada Situs Online." Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 4, no. 2 (2018): 1-15.
[2] Risandi, Khelvin, and Tantimin Tantimin. "KAJIAN HUKUM PEMBAJAKAN FILM DI PLATFORM TELEGRAM DI INDONESIA." Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan Undiksha 10, no. 1 (2022): 429-440.
[3] Trias. “Definisi dan panduan lengkap tentang HAKI”, diakses pada 11 May 2022 pukul 18:38, https://izin-co-id.cdn.ampproject.org/v/s/izin.co.id/indonesia-business-tips/2021/01/22/haki-adalah/amp/?amp_js_v=a6&_gsa=1&usqp=mq331AQKKAFQArABIIACAw%3D%3D#aoh=16522690001727&referrer=https%3A%2F%2Fwww.google.com&_tf=From%20%251%24s&share=https%3A%2F%2Fizin.co.id%2Findonesia-business-tips%2F2021%2F01%2F22%2Fhaki-adalah%2F
[4] Ningsih, Ayup Suran, and Balqis Hediyati Maharani. "Penegakan Hukum Hak Cipta Terhadap Pembajakan Film Secara Daring." Jurnal Meta-Yuridis 2, no. 1 (2019).
[5] Pasal 113 ayat (4)
[6] Ni Ketut Supasti Dharmawan, et.al, 2016, Hak Kekayaan Intelektual (HKI), Deepublish, Yogyakarta, h. 46
[7] O.C. Kaligis, 2012, Teori-Praktik Merek dan Hak Cipta, PT. Alumni, Bandung, h. 21
[8] Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
[9] Sumardani, Ni Made Rian Ayu, and I. Made Sarjana. "Perlindungan Hukum Terhadap Pencipta Karya Sinematografi Terkait Pembajakan Film Pada Situs Online." Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum 4, no. 2 (2018): 1-15.
[10] Yanto, Oksidelfa. "Konsep Perlindungan Hak Cipta dalam Ranah Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Studi Kritis Pembajakan karya Cipta Musik dalam Bentuk VCD dan DVD)." Yustisia Jurnal Hukum 4, no. 3 (2015): 746-760.
[11] Nashiruddin Akmal. “Pembajakan Film di era 4.0”, diakses pada 12 May 2022 pukul 14:43, https://kumparan.com/akm-n/pembajakan-film-di-era-4-0-1v1sySR4Ba5/full
Penulis : Raka Aprillia Eka Putra
Mahasiswa UIN syarif Hidayatullah Jakarta
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.