Badan Pengelola Keuangan Haji Menurut Pandangan Ekonomi Institusi
Lomba | 2021-09-22 00:32:53Undang â Undang Nomor 34 Tahun 2014 telah melahirkan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Pertimbangannya adalah peningkatan jumlah jamaah haji tunggu mengakibatkan penumpukan akumulasi dana haji dan berpotensi untuk ditingkatkan nilai manfaatnya, guna mendukung penyelenggaraan ibadah haji yang lebih berkualitas melalui pengelolaan keuangan haji yang efektif, efisien, transparan, dan akuntabel. BPKH bertugas mengelola Keuangan Haji meliputi penerimaan, pengembangan, pengeluaran, dan pertanggungjawaban Keuangan Haji. Sebagai lembaga negara yang mengelola keuangan publik, tantangan utama yang dihadapi oleh BPKH adalah bagaimana membangun institusi yang baik dan layak dipercaya. Tulisan ini akan menganalisis peran BPKH menurut perspektif ekonomi institusi.
Institusi adalah aturan formal (hukum, peraturan, konstitusi, Undang-Undang) dan informal (agama, tradisi, adat) beserta mekanisme penegakkannya yang membentuk perilaku individu dan organisasi dalam masyarakat (North, 1990). Ekonomi institusi hadir sebagai kritik terhadap pemahaman ekonomi neoklasik yang mengasumsikan bahwa di pasar terdapat informasi yang sempurna, padahal kenyataanya para pelaku ekonomi di pasar sering menghadapi ketidaksempurnaan informasi yang menyebabkan pasar tidak efisien dan terjadi perilaku menyimpang dari para pelaku pasar. North (1994) menyatakan bahwa aturan-aturan institusi bisa membatasi perilaku menyimpang manusia dalam interaksi ekonomi, politik, atau sosial sehingga menghasilkan ketertiban dan mengurangi ketidakpastian dalam melakukan pertukaran. Pelanggaran atas aturan aturan formal akan diberi sanksi sesuai dengan perundangan yang berlaku, sedangkan pelanggaran aturan informal diberi sanksi sesuai dengan adat yang berlaku di masyarakat (Arsyad, 2014). Agar institusi berpengaruh positif terhadap kinerja dan perilaku para pelaku ekonomi maka, institusi harus mempunyai aturan yang jelas, relevan, terukur, dinamis, dapat dilaksanakan, dan ditegakkan secara konsisten.
Menurut Williamson (2000) institusi dibagi 4 tingkatan : Pertama social embeddedness, pada tingkatan ini institusi telah lama melekat dan menjadi pedoman hidup masyarakat. Ibadah haji adalah kewajiban Agama yang melekat bagi kaum muslimin sebab diajarkan dan diamalkan turun temurun sebagai penyempurna keislaman seseorang. Sehingga ajaran itu berdampak pada terjadinya sejumlah transaksi ekonomi pada pelaksanaannya (biaya transportasi, akomodasi, dan lain-lain). Pada tingkatan ini belum ada aturan formal yang memberikan kepastian bagi keberlangsungan pelaksanaan ibadah haji akibatnya risiko gagal berangkat besar. BPKH (2020) mengabarkan perjalanan haji di masa lalu menjadi tanggung jawab pribadi dan pihak swasta yang mencari keuntungan sehingga jamaah sering kali menderita kerugian karena tidak ada kepastian informasi berapa biaya haji minimal yang harus ditanggung, akibatnya fasilitas penyelenggaraan haji buruk dan sering terjadi gagal berangkat. Dalam Bahasa ekonomi institusi terjadi ketidaksempurnaan informasi yang menyebabkan kegagalan transaksi di âpasarâ penyelenggaraan ibadah haji.
Tingkatan kedua, institutional environment, pada tingkatan ini sudah ada pembentukan aturan formal yaitu hukum dan perundang-undangan. Pengalaman penyelenggaraan haji di masa lalu dan kenyataan waktu tunggu berangkat haji yang lama mengakibatkan ketidakpastian biaya perjalanan haji yang sesungguhnya harus ditanggung calon haji. UU No 34 Tahun 2014 telah melahirkan BPKH yang merupakan aturan institusi yang lebih baik dan menjadi payung hukum pengelolaan dana haji ke sejumlah instrumen investasi untuk mendapatkan keuntungan yang akan digunakan untuk mengantisipasi kenaikan biaya penyelenggaraan haji di masa datang. Sehingga mengurangi risiko ketidakpastian dari transaksi dan keberangkatan jamaah haji.
Tingkatan ketiga, governance yaitu merancang tatanan tata kelola yang baik untuk mengurangi konflik dan meminimalkan biaya transaksi. Kenyataan bahwa di pasar terjadi ketidaksempurnaan informasi menyebabkan kompetisi, sistem kontrak, dan proses transaksi menimbulkan biaya transaksi yakni biaya untuk melakukan pencarian informasi, negosiasi, pengukuran, pertukaran, keputusan, pengawasan, pemaksaan, dan pelaksanaan kontrak (Mburu, 2002 dalam Yustika 2013). Oleh karena itu, pada tingkatan keetiga ini institusi melakukan pembuatan, pengaturan, pengawasan, dan penegakan sistem kontrak dengan konsisten.
Dialihkannya pengelolaan dana haji dari Kementerian Agama kepada BPKH menyebabkan berubahnya pola investasi. Sebelumnya investasi keuangan haji terbatas di deposito berjangka syariah dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN), sekarang penempatan instrument investasi lebih luas yaitu surat berharga syariah, emas, investasi langsung, dan investasi lainnya konsekuensinya BPKH akan bekerja sama investasi dengan pelaku ekonomi yang beragam (berbeda profil, perilaku, dan rekam jejak ). Sehingga di pasar investasi akan menjumpai masalah ketidaksempurnaan informasi. Oleh karena itu, ada biaya transaksi yang dikeluarkan untuk mendapatkan proyek investasi yang tepat agar dana haji tidak ditempatkan di âkeranjangâ yang salah. Prinsip kehati-hatian harus diterapkan dalam proses pencarian informasi investasi yang menguntungkan dengan tingkat risiko terukur dan membuat tatanan tata kelola yang baik berupa aturan kontrak, mekanisme pengawasan, dan penegakan peraturan kepada mitra investasi yang dipercayakan oleh BPKH. Dengan demikian, hadirnya BPKH akan memastikan bahwa dana haji yang ditanamkan ke sejumlah instrument investasi akan menghasilkan keuntungan dengan tingkat risiko terukur sehingga nilai manfaatnya meningkat.
Tingkatan keempat, institusi mengatur hubungan antara principal dan agent melalui sistem insentif (reward dan punishment) yang dirancang dengan baik. Institusi mengatur hubungan antara calon jamaah haji sebagai principal yang mendelegasikan pengelolaan keuangan haji kepada BPKH sebagai agent . Dalam hubungan itu bisa saja terjadi masalah misalnya pelaksana BPKH ada kemungkinan mengambil keuntungan dengan cara yang tidak sah seperti korupsi. Atau sebaliknya, principal sewenang-wenang terhadap agent karena memiliki kuasa dan kontrol atas sumber daya keuangan yang mereka miliki. Oleh karena itu, di BPKH diawasi secara internal oleh Dewan Pengawas dan eksternal oleh Dewan Perwakilan Rakyat berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan. Kemudian, perlu memberikan reward tambahan (bonus tunjangan atau peningkatan karir) bagi pelaksana maupun pegawai BPKH jika berhasil melebihi target keuntungan investasi yang ditetapkan atau mampu menciptakan efisiensi biaya. Tetapi, jika bersikap oportunistik maka diberikan punishment atau hukuman sesuai kesalahannya. Sehingga apabila system insentif ini diterapkan dengan baik akan menjaga keamanan dana haji dari perilaku menyimpang yang merugikan. Dengan demikian, kehadiran BPKH akan menjamin agar dana haji aman dari perilaku menyimpang yang merugikan jamaah haji.
Daftar Pustaka
Undang â Undang Nomor 34 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Keuangan Haji
Arsyad, Lincolin. 2014. Institusi, Biaya Transaksi, Dan Kinerja Ekonomi: Sebuah Tinjauan Teoritis. a Seminar Nasional dan Sidang Pleno ISEI XVII dengan tema âPembaharuan Institusi Ekonomi dan Mutu Modal Manusiaâ di Ternate, 3-5 September 2014.
BPKH. 2020. Apa dan Bagaimana Investasi Keuangan Haji. Jakarta : BPKH.
North, D.C., (1990), âInstitution, Institutional Change and Economic Performanceâ, Cambridge University Press, Cambridge, UK.
North, D.C., (1994), âEconomic Perfromance Throuh Timeâ, American Economic Review, 84 (3), pp. 359- 368.
Williamson, O.E., (2000), âThe New Institutional Economics: Taking Stock, Looking Aheadâ, Journal of Political Literature, 38, pp. 595-613
Yustika, Ahmad Erani. 2013. Ekonomi Kelembagaan Paradigma, Teori, dan Kebijakan. Jakarta : Erlangga
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.