Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Taufik Alamsyah

Katakan Ya Pada Hidup dan Teruslah Berjuang

Gaya Hidup | Monday, 16 May 2022, 12:41 WIB

Apa yang paling ngehek dalam hidup ini? Ya, betul! Ketika harapan tidak sesuai dengan kenyataan. Apa yang kita pikirkan, rasakan, dan inginkan selalu saja terbentur dalam ruang intensionalitas dan waktu interaksi di luar kedirian kita. Betapa tidak menerimanya kita, terkadang, dengan realitas yang dialami. Bagaimana tidak, kita sudah berpikir keras, usaha, ditambah dengan ritualitas doa sesuai keyakinan masing-masing, tetapi, kenyataan berbicara lain.

Jujur saja, bila itu terjadi, membuncahlah emosional serta aliran dalam tubuh kocar-kacir tak karuan. Namun, ada hal yang harus dipahami. Maksudnya, bagaimana kita bisa memberi ruang berpikir lebih luas dan luwes guna menghindari kejadian yang tidak diinginkan dan berakhir penyesalan. Pemberian ruang tersebut juga berdampak pada cairnya emosional kita. Dan itu sangat baik serta bijak, sebab kita bukan hanya mencari solusi belaka, tetapi, bisa saja dapat menyadarkan kita mengenai arti kesejatian hidup. Ya, berbicara tentang hidup memang tak ada habisnya. Setiap hari, manusia selalu berlalu-lalang dalam ruang dan waktu.

Dalam pusara itulah pelbagai kemungkinan akan hadir. Bisa saja adalah kebaikan dan kebahagiaan seturut kehendak kita, atau bisa jadi, bagai sebuah perang yang tak akan mungkin kita menangkan, yang berarti kegagalan dan kekalahan selalu menyelimuti hidup kita. Lantas, bagaimana kita sebagai manusia menyikapi problematik kehidupan ini? Adalah Albert Camus, filsuf yang akan memberikan pemikiran alternatif yaitu menjadi pemberontak. Albert Camus melihat kehidupan manusia sebagai suatu hal yang tidak jelas (absurd). Meski demikian, ketakjelasan hidup ini adalah satu-satunya kejelasan. Menyerah bukanlah jalan keluar untuk menyelesaikan semuanya.

Albert Camus dan Mitos Sisyphus

Albert Camus, lahir di Aljazair pada 7 November 1913 dan meninggal di Villeblevin (Prancis) pada 5 Januari 1960, hanya berumur 46 tahun. Ia meninggal akibat kecelakaan di mana mobil yang dikendarainya bersama seorang penerbitnya bernama Michelle Gallimard menabrak pohon. Camus mulai dikenal banyak orang karena novel pertamanya yaitu L’Etranger dan mulai memperoleh penghargaan seperti Penghargaan Nobel pada tahun 1957 pada bidang Kesusastraan. Melalui novel L’Etranger, Camus memperkenalkan pemikirannya dan menciptakan suatu mazhab filsafat dalam eksistensialisme yaitu absurdisme.

Absurd dapat diartikan sebagai kondisi di mana manusia tidak mampu menetapkan tujuan dan makna bagi hidupnya, bahkan secara khusus diartikan kondisi manusia tidak mengerti apa itu kehidupan dan untuk apa manusia hidup. Bagi Camus, ketidakjelasan tujuan hidup adalah hal yang absurd. Contoh paling sederhana manusia tidak dapat mengetahui bagaimana masa depan itu, ketika gambaran masa depan masih begitu abstrak mengapa manusia malah menantikannya.

Dalam menjelaskan Absurdisme, Camus menggunakan kisah mitologi Sissyphus sebagai penggambaran konsep Absurdisme. Kisah mitologi ini bercerita tentang seorang raja dari Corinth bernama Sissyphus yang dikutuk Zeus untuk mendorong batu ke puncak bukit selamanya. Kisah mitologi ini hingga sekarang telah diceritakan dengan banyak versi, ada yang mengisahkan jika Sissyphus dikutuk karena bermain-main dengan aturan kematian, ada juga yang mengisahkan bahwa Sissyphus membocorkan rahasia Zeus ditukar dengan sebuah makanan, ada pun yang mengisahkan jika Sissyphus dikutuk karena melihat Zeus menculik Aegina, putri Asopus, untuk dikawini dan melaporkannya pada dewa sungai.

Apapun bentuk konfliknya, Sissyphus tetap dikutuk dan diasingkan ke Tartarus oleh Zeus untuk mendorong batu ke puncak tak berkesudahan dan selamanya. Batu yang didorong Sissyphus tak akan terus berhenti menggelinding, ketika Sissyphus berupaya mendorong batu dan berhasil ke puncak, batunya menggelinding kembali ke bawah dan Sissyphus harus mendorongnya kembali ke puncak, dan begitu seterusnya tak berkesudahan. (Andika Wahyu Putra, Jurnal LSF Cogito 01/06/2017)

Secara tidak sadar, cerita dalam Mitologi Sisyphus seperti analogi yang melekat (dan tak akan berkesudahan?) pada diri kita. Kita sebagai Sisyphus, dan bagaimana civitas kehidupan kita seperti batu. Kita terus mendorong batu itu, sesudah sampai puncak, batu itu jatuh menggelinding. Kita dorong lagi, menggelinding lagi. Begitu seterusnya. Bila kita sepakat bahwa itu benar, bukankah itu adalah sebuah kesia-siaan? Sebab tak ada perubahan yang terjadi. Kita dipaksa terus mengulang dan mengulang lagi. Apakah ini adalah Sebuah ketakbermaknaan hidup? Bila iya, mengapa kita terus melakukan dan menjalaninya? Sialnya lagi, kita melakukannya dan tak sempat berpikir entah sampai kapan semua akan berakhir.

Albert Camus dan Pemberontakan

Dalam karya Albert Camus yang lain, “Pemberontak” adalah semacam mencari pijakan awal untuk menelusuri lubang jalan keluar dari ketakbermaknaan hidup kita. Ok. Bila tadi kita sepakat bahwasanya ketakbermaknaan hidup kita ini terus berlanjut, dan tak akan pernah berakhir, bukankah membaca karya Albert Camus ini katakanlah membuka sedikit celah dan harapan untuk sedikit demi sedikit membongkar realitas yang ada, dan jangan kali saja kita bisa mengubah seandainya kita Sisyphus, berhasil menendang bola keluar dan menang melawan Zeus yang mengutuk kita? Bila iya, maka mau tidak mau, suka atau tidak, kita harus bergerak melakukan sesuatu yang berbeda dan menohok sekalipun, yaitu menjadi pemberontak dan melakukan pemberontakan! Saya tidak membahas secara rinci buku “Pemberontak”, kalian bisa membeli dan membaca nya. Saya jelaskan saja langsung inti dari pemikiran Alber camus. Saya banyak mengambil dari penulis A.M Krich dalam buku Anatomi Cinta (1960)

Siapakah pemberontak itu? seseorang yang berkata tidak, tapi penolakan itu tidak sepenuh hati. Ia juga juga seseorang yang berkata “iya”, tapi sejak pertama kali ia telah bergerak untuk memberontak. Seseorang pemberontak adalah budak yang telah melakukan perintah tuan nya seumur hidupnya, namun tiba-tiba menolak melakukan perintah yang baru. Lalu, apa yang sebenarnya dimaksud budak itu dengan mengatakan “tidak”? maksudnya, antara lain tergambar pada kalimat, “ini sudah berlangsung terlalu lama”, sampai saat ini baiklah, tapi lebih dari ini, tidak.” “Kau sudah terlalu jauh,” atau, lagi-lagi, “kesabaranku ada batasnya.” Dengan kata lain, kata “tidak” dari si pemberontak menegaskan batas kesabarannya. Konsep yang sama terdapat dalam perasaan di pemberontak, bahwa pihak lain yang ia berontaki “sudah keterlaluan,” bahwa pihak lain itu menggunakan kekuasaanya semena-mena dan mulai melanggar hak orang lain. Karena itulah gerakan pemberontakan biasanya sejalan dengan gangguan yang dialami pihak tertentu yang berpikir bahwa itu sudah tidak bisa ditolerir lagi.

Itu sebabnya si pemberontak mulai berpikir bahwa, “ia punya hak untuk ” pemberontakan tidak akan muncul tanpa perasaan bahwa si pemberontak pasti benar. Dengan cara inilah budak –kita- sebagai pemberontak berkata iya atau tidak. Kita menekankan ada batas-batas, kita mencurigai -dan ingin memelihara- keberadaan hal-hal dalam batasan itu. Contoh, dengan keras kepala, bahwa ada di dalam diri kita “yang berharga ” dan harus diperhitungkan. Dalam cara tertentu, kita menentang keteraturan dari hal-hal yang menindasnya dengan sebuah keteguhan bahwa hak-hak kita tidak boleh dilanggar.

Dalam setiap pemberontakan, pemberontak muak atas pelanggaran hak-hak dan merasa dirinya harus diperjuangkan. Karena itu ia membawa nilai-nilai yang mengandung rasa tidak puas dan siap untuk memperjuangkannya. Apapun risikonya. Sebelum perasaan itu muncul, ia telah lama diam dalam keputusasaan ia menerima sebuah keadaan, meski ia tahu itu tak adil. Diam memberikan kesan bahwa seseorang tidak punya opini, dan tidak menginginkan apa-apa. Keputusasaan –seperti hal-hal absurd- memiliki segala hasrat secara umum, sekaligus tidak memiliki hasrat secara khusus. Diam memperlihatkan hal ini.

Namun, pada detik-detik ketika sang pemberontak menemukan suaranya –walaupun hanya berkata “tidak” – ia mulai menginginkan dan mulai menilai. Ia melakukan hal yang berkebalikan dari dirinya sendiri. Ia yang biasanya bekerja karena cambukan tuannya tiba-tiba berbalik dan melawan, untuk mendapatkan pilihan. Tidak semua nilai diikuti oleh pemberontakan. Tapi setiap pemberontakan selalu membawa nilai.

Kesadaran, betapapun ia membingungkan, berkembang dari setiap aksi pemberontakan yang secara tiba-tiba mengguncangkan persepsi bahwa ada sesuatu di dalam diri manusia yang dapat mengidentifikasi dirinya, walaupun hanya sesaat. Sampai pada saat ini identifikasi itu belum benar-benar dialami. Sebelum memberontak, seorang budak menerima semua perintah yang diberikan kepadanya. Sangat sering ia melaksanakan perintah, tanpa reaksi perlawanan, walaupun perintah itu lebih patut untuk dilawan daripada dilaksanakan. Ia menerima perintah itu dengan sabar, walaupun hatinya menolak, ia tetap diam karena ia lebih berpikir tentang kebutuhannya, ketimbang hak-haknya. Tapi dengan memudarnya kesabaran, sebuah reaksi – yang berlawanan dengan apa yang ia lakukan selama ini – bisa muncul. Si budak mulai menolak perintah memalukan dari tuannya, dan secara perlahan-lahan ia mulai menolak perbudakan. Aksi itu bisa berkembang lebih jauh dari sekedar penolakan. Ia juga menolak hirarki yang membatasinya dengan majikan, dan meminta diperlakukan sebagai orang yang setara.

Meski Albert Camus menjelaskan secara mengambang dan tak pasti, juga tak dapat menyelesaikan segala permasalahan yang ada, tetapi ada sinar cahaya di ujung sana melalui gambaran kerangka filosofis pemberontakan, bahwa meski manusia hidup dalam alam kehidupan yang absurd, hidup dalam ke-ter-ombang-ambing-an lautan ketidakpastian, masa depan yang buram, menjadi zombie rutinitas, jongos realitas dan jatuh pada ketakbermaknaan hidup, dengan menjadi pemberontak, dengan mengatakan “tidak”, dengan memberanikan suara hati nurani bersuara, maka ada secercah harapan untuk menuju kebebasan dan kebahagiaan dalam hidup kita.

Kini, kita harus menarik busur guna melesatkan anak panah menuju sasaran baru, untuk menguasai kembali –baik di dalam maupun karena sejarah- apa yang sesungguhnya sudah kita miliki, Cinta yang singkat di bumi ini, di zaman ini. Busur dikekang: kayu menegang. Pada ketegangan tinggi, akan melesatkan sebuah anak panah yang kokoh dan bebas.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image