Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Adib Khairil Musthafa

Andai Negara Peduli, Niscaya Pandemi Pergi Tidak Sekedar Imajinasi

Lomba | Tuesday, 21 Sep 2021, 22:40 WIB

Sengaja saya beri tanda petik pada kata andai. Bagi saya ditengah kegagalan negara menangani pandemi, wajar bersikap pesimis bahkan bisa jadi mengandaikan pandemi pergi sama halnya dengan pengandaian penuh spekulatif, alih alih imajinasi jadi suara alternatif, terlampau buruk ia bisa jadi justru menjadi ilusi.

Menurut saya pandemi tidak akan pernah pergi jika hak masyarakat seperti bansos justru dikorupsi oleh kementerian yang harusnya menghendaki sikap ramah sosial tapi malah membawa sial.

Banyak yang penuh harap dana bansos sampai kepada rakyat yang sedang membutuhkan, tapi tindakan korupsi justru menghendaki semakin bergugurnya banyak mayat, itukah yang disebut percepatan penanganan?, lebih buruk lagi ditengah kesengsaraan rakyat menghadapi pandemi kok ya malah KPK semakin tampak “sengaja” dilemahkan?

Pandemi dan Ekonomi konon kata pemerintah kita bukanlah sesuatu yang patut dibenturkan, keduanya sama-sama dibutuhkan tentu saja atas dalil kemanusiaan. Tapi pernahkah terpikirkan jika saja pemerintah kita cukup percaya diri pada ketahanan nasional, bukankah seandainya penanganan dilandaskan sikap proporsional sejak awal, kasus pandemi tak akan seburuk seperti sekarang?

Ah sudahlah, saya ragu penanganan pandemi atas landasan kemanusiaan, ia tidak lebih hanya retorika bualan. Layaknya bualan pejabat negara diawal pandemi bahwa “Virus tak akan masuk Indonesia sebab sulitnya perizinan”. Saya juga hendak membual “Ekonomi nasional tak akan cepat stabil, jika kebijakan pandemi masih saja bernuansa labil” dikira hanya negara yang bisa membual dengan nada seolah-olah berhasil?

Entahlah saya hanya rakyat kecil yang juga punya banyak bualan cum-pengandaian, begitu kira-kira sama dengan tema lomba republika, argumen rakyat kecil hanya modal menerka-nerka, ditengah ketidakpastian rakyat kecil hanya mampu melakukan pengandaian, sebab ia adalah sebaik-baiknya cara menghibur warga negara yang tengah dilanda kehawatiran, barangkali dengan cara demikian mendadak pengagguran ditengah pandemi dapat terselesaikan? Tentu saja hal demikian sama dengan bermimpi kesiangan..

Saya sepenuhnya sadar bahwa tidak hanya pekerjaan saya yang terdampak, diluar sana barangkali banyak sekali rakyat kecil yang bisa jadi terpaksa kehilangan penghasilan sebab kegagapan para pemangku kebijakan yang semakin kesini kebijakannya makin tidak berdampak. Bukan apa-apa kepada siapa lagi rakyat berharap jika (justru) melihat komunikasi publik pejabat negara yang agaknya makin hari justru terlihat penuh panik?

Pandemi pergi barangkali hari ini masih sebatas imajinasi jika melihat cara pemerintah menangani pandemi justru dengan korupsi. Tapi bagi rakyat kecil yang tidak menikmati gaji seperti para pemangku kebijakan hingga anggota dewan yang bahkan urusan gaji saja dapat subsidi, pandemi pergi adalah secercah harapan, kendatipun dengan pengandaian, pandemi pergi akan selalu menjadi harap agar tidak lagi mengantri di pegadaian, tentu saja hal ini hanya berlaku bagi kami rakyat kecil yang seringkali tak merasakan kebijakan yang konon bertagline “percepatan penanganan”. Tapi kok malah yang terjadi justru pelambanan?

Entahlah, memang rakyat kecil tahunya hanya berkeluh kesah, mereka tidak pernah tahu bahwa pemerintah juga sedang resah, pemerintah telah melakukan berbagai cara dalam upaya penanganan, begitu kata mereka para pejabat pemerintahan, alibi-alibi bernada pertahanan sudah sering bukan kita dengarkan?. Rakyat kecil cukup patuh saja pada kebijakan, tanpa diperkenankan bertanya apalagi melakukan kritik.

Dititik ini cita-cita agung demokrasi hanyalah jargon mati, bagaimana tidak mati jika menggambar mural saja dipersekusi?. Jangankan menangani pandemi memelihara kebebasan saja agaknya pemerintah kita kebingungan?

Lagi-lagi “andai” pemerintah kita berkenan berbenah cita-cita pandemi pergi pastilah tidak sekedar imajinasi. Cukup di pemilu rakyat hanya diumbar jani-janji, jangan pula soal pandami, basi. Lagi-lagi ini hanya berlaku jika pemerintah memang mengaku punya hati nurani, eh tapi alih-alih itu terjadi kok belakangan pasang baliho dijalanan malah dijadikan tradisi?

Ini hanya opini, dari kami rakyat yang sudah muak diberi jargon basi. Tolong jangan lagi dipersekusi, hanya ini ruang kami meluapkan ekspresi atau bisa jadi juga luapan emosi. Saat ini, bagi kami ketakutan terpapar virus ditengah pandemi, dengan ketakutan sebab tidak dapat makan karena kehilangan pekerjaan memiliki implikasi yang sama: sama-sama takut mati.

Kendati saya banyak berandai semoga pandemi segera usai. Sebab negara sudah tak bisa kita harapkan maka menjadi keharusan rakyat miskin harus kompak, patuhi protokol kesehatan, hindari kerumunan sebab imun hanya dapat disubsidi oleh kesadaran bukan oleh negara.

Ditengah pesimisnya kita semangat berandai harus selalu dipupuk agar retorika bualan tidak hanya diciptakan oleh mereka yang hanya mampu bertepuk (ada juga yang ngantuk) di parlemen, solidaritas melawan pandemi harus tetap dijaga, semata-mata agar jargon bangkit bersama tidak sekedar menjadi janji bualan yang sama: sama-sama diucapkan oleh para pejabat negara baik di Istana maupun di parlemen, sama saja.

Sekali lagi, berharap pada negara, akan membuat kita hanya jatuh pada jurang yang sama: Kecewa. Yuk, para akar rumput, bangkit bersama!

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image