Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Hamdani

Ditengah Ketakutan Pandemi, Masyarakat Menginginkan Gaya Komunikasi Sejuk

Eduaksi | 2021-09-21 14:24:38
Salah satu problem penanganan Covid-19 adalah komunikasi publik. Komunikasi publik pejabat pemerintah terkadang justru menambah beban rakyat | Putra M. Akbar/Republika.

Gonjang-ganjing terkait vaksinasi memang sudah berlangsung sejak program ini diluncurkan ditengah masyarakat. Pro kontra terutama status kehalalan Sinovac (vaksin asal China) merebak di kalangan orang awam.

Walaupun demikian kegiatan vaksinasi terus bergulir disetiap daerah. Pemerintah kabupaten/kota yang termasuk dalam daftar zona merah Covid-19 diperintahkan wajib memberikan vaksin bagi warganya. Termasuk Kota Banda Aceh dan Provinsi Aceh secara umum.

Dari data Satgas daerah Covid-19 Aceh per 20 September 2021 pukul 10:45 wib, jumlah kasus terkonfirmasi sebanyak 36.954 meningkatkan 64 kasus, dalam perawatan 4.604 atau menurun sebanyak 226, dan pasien dengan covid yang berhasil sembuh 30.535 atau meningkat sebanyak 267, sementara yang meninggal bertambah 23 orang sehingga total korban meninggal mencapai 1.815 orang.

Sementara data tingkat keberhasilan program vaksinasi Covid-19 masyarakat umum secara provinsi baik dosis 1 maupun dosis 2 dirilis situs resmi Covid-19.acehprov.go.id per 20 September 2021, untuk vaksin dosis 1 baru mencapai 18,5 persen atau 477.023 orang. Sedangkan vaksin dosis 2 mencapai 9,2 persen atau 235.945 orang.

Dilaporkan juga tingkat capaian vaksinasi untuk usia remaja Aceh pada periode yang sama baru 3,4 persen atau setara dengan 19.849 orang untuk dosis 1. Untuk dosis 2 jumlah yang sudah divaksin sebanyak 13.152 orang atau 2,3 persen.

Bila kita perhatikan sajian data diatas terlihat bahwa progres vaksinasi Covid-19 masih rendah dibanding dengan jumlah penduduk Aceh yang hampir 5,7 juta jiwa. Begitupun vaksinasi dikalangan usia remaja, yang didalamnya termasuk anak-anak yang masih duduk di bangku sekolah masih dibawah target.

Lambatnya laju keberhasilan program vaksinasi memang dapat dimengerti. Bukan karena masyarakat tidak sadar covid, namun rasa takut terhadap dampak buruk paska vaksin itu lebih kuat.

Hal itu sangat masuk akal karena dalam banyak kasus, orang paska diberikan vaksin mengalami beberapa masalah serius, bahkan berakibat meninggal dunia. Ini fakta bukan hoaks.

Kendati bukan vaksin penyebab utamanya. Tetapi sudah cukup untuk membuat masyarakat jadi kuatir. Ditambah lagi banyaknya disinformasi yang berseliweran.

Dua faktor tersebut, yakni dampak buruk paska vaksin dan Informasi menyesatkan "hoaks" yang diterima masyarakat, melahirkan tantangan bagi Pemerintah Aceh untuk menyukseskan program vaksinasi.

Tidak mudah bagi Nova Iriansyah dan jajaran Satgas Covid Provinsi Aceh mempersuasi masyarakat agar siap sedia untuk divaksin dengan segala resiko yang mengikutinya. Konon dikalangan PNS sendiri banyak yang menolak untuk divaksin walaupun diancam mendapatkan sanksi.

PNS lebih siap menerima konsekuensi dari mangkir vaksin ketimbang mendapatkan Sinovac yang masih dalam tahap uji klinis. Rendahnya keberhasilan vaksinasi di Aceh telah memantik "emosi" sejumlah pejabat tinggi terkait.

Sektretaris Daerah (Sekda) Aceh, dr. Taqwallah, M.Kes, baru-baru ini mengeluarkan ancaman terhadap kepala sekolah di lingkungan Pemerintah Aceh. Taqwallah mengancam tidak akan mencairkan dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) jika pihak sekolah tidak berhasil memvaksinasi siswanya.

Dalam sebuah rekaman video yang beredar, Taqwallah mengatakan, pihaknya memiliki banyak “simpang” untuk menjegal para kepala sekolah. Bisa saat pencairan dan BOS atau anggaran lainnya. “Sudah kami sampaikan berulang-ulang. Jangan buang-buang waktu. Upayakan sekali main selesai per sekolah,” ucap Taqwa.

Tidak saja Sekda Aceh yang menggunakan gaya komunikasi "idiot", (disebut idiot karena mencerminkan kurang terdidik) dalam menyampaikan pesan vaksin kepada pihak sekolah. Bahkan langkah tersebut ditiru juga oleh Kepala Dinas Pendidikan, Drs Alhudri, MM.

Kadisdik ikut mengeluarkan ancaman akan memecat Kepala Sekolah yang tidak bisa bisa mencapai target vaksin. Ia memberikan ultimatum kepada kepala sekolah agar mengundurkan diri bila tidak mampu menyukseskan program vaksinasi siswa.

Tak pelak respon masyarakat pun spontan bermunculan menanggapi gaya komunikasi kedua pejabat Aceh yang bernada ancaman. Wali siswa pun banyak yang menayangkan protes bahkan menuding pejabat tersebut telah bersikap arogan.

Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Safaruddin menilai bahasa yang diucapkan kurang elok, terkesan arogan, seharusnya bisa disampaikan dengan bahasa yang santun, lembut, dan mengajak kepala sekolah, guru, dan wali siswa untuk memahami kebutuhan vaksin demi kebaikan bersama.

Apa yang dikatakan oleh Safaruddin itu benar. Sekelas sekda dan kadis hendaknya memiliki gaya komunikasi yang menggugah, bijak, dan tidak merendahkan orang lain dalam menyampaikan pesan-pesan kepada khalayak. Bukankah mereka sudah telah belajar ilmu komunikasi publik?

Mereka seharusnya mengerti bahwa psikologis masyarakat sudah sangat lelah dengan kondisi ini. Rakyat susah mencari rezeki akibat pembatasan kegiatan yang diterapkan oleh pemerintah. Sementara kebutuhan tidak bisa dihentikan. Kelihatannya sekda tidak memiliki kepekaan yang tinggi terhadap masyarakat.

Tanggapan wali murid

Sementara itu sebuah surat terbuka beredar di grup WhatsApp dari seorang wali murid yang ditujukan kepada Kepada Dinas Pendidikan Aceh, berikut tulisannya.

#Surat Terbuka buat Kadisdik Aceh.

Sikap arogansi anda selaku Kepala Dinas Pendidikan Aceh yg dimuat di harian Serambi Indonesia (edisi Minggu, 19/9/2021) mencederai hati kami sebagai wali murid dan masyarakat pada umumnya.

Adab diatas ilmu dan anda telah menunjukkan bahwa adab anda sebagai pemimpin dalam dunia pendidikan tidak pantas. Anda seharusnya paham dan mengetahui konstitusi di negeri ini walaupun kebijakan vaksinasi tsb program nasional dalam rangka perlindungan warga negara tetapi konstitusi di negeri ini juga mengatur Hak Asasi bagi warga Negaranya sbb;

#1. UUD 1945 pasal 28G ayat 1 “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, dan harta benda di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan Hak Asasi.”

Setiap orang berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari ancaman.

#2. UUD 1945 Pasal 28I ayat 1-2, (1)“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran, dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah Hak Asasi Manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.” (2)”Setiap orang berhak bebas dari perlakuan dikriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif.

#3. Pasal 28b ayat 2: “Setiap orang berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”, dengan demikian kami berhak atas perlindungan dari intimidasi serta diskriminasi karena pilihan kami untuk tidak memberikan vaksin pada anak kami.

#4. Permenkes No.290/Menkes/Per/III/2008 dan UU No.29 Tahun 2004 Pasal 45, tentang informed consent, yaitu persetujuan tindakan kedokteran yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekatnya setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien.

Di Indonesia, informed consent secara yuridis formal terdapat pada pernyataan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) melalui SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 Tahun 1988, dipertegas dengan Permenkes No. 585 Tahun 1989 tentang persetujuan tindakan medik/ informed consent.

#5. UU No.35 Tahun 2014 Pasal 3 ayat 1 “Negara, pemerintah, dan pemerintah daerah menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan anak dengan memerhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali, atau orang lain yang secara hukum bertanggung jawab terhadap anak.”

#6. UU No.35 Tahun 2014 Pasal 45 ayat 1 “Orang tua dan keluarga bertanggung jawab menjaga kesehatan anak dan merawat sejak dalam kandungan.”

Ini bentuk perlindungan kami atas status kehalalan dan keamanan vaksin dan perlindungan terhadap Kejadian Ikutan Paska Imunisasi (KIPI), Efek Negatif Vaksin, Vitamin K Sintetis dan sejenisnya.

#7. UU No.33 Tahun 2014 tentang jaminan produk halal, produk halal adalah produk yang telah dinyatakan halal sesuai syariat islam yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal.

#8. UU No.8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen yang mengatur barang atau jasa yang bersifat halal.

#9. UU No.23 Tahun 2002 tentang kewajiban memberikan perlindungan pada anak berdasakan asas-asas nondiskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, hak hidup dan kelangsungan hidup, dan penghargaan terhadap pendapat anak.

#10. UU No.12 Tahun 2005 tentang pengesahan konvenan internasional tentang hak-hak sipil dan politik. Hak-hak sipil meliputi hak hidup; hak bebas dari siksaan, penghukuman yang kejam, tidak manusia, atau merendahkan martabat; hak atas praduga tak bersalah; hak kebebasan berpikir; hak berkeyakinan dan beragama; hak untuk mempunyai pendapat tanpa campur tangan orang lain; hak perlindungan anak; hak atas perlindungan hukum yang sama tanpa adanya diskriminasi.

#11. UU No.14 Tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik.

Mengenai status kehalalan vaksin yang ternyata belakangan dibantah oleh MUI dan Halal Watch. Mengenai kasus-kasus kejadian KIPI yang diinformasikan di media-media massa maupun media sosial dan penjelasan mengenai wabah.

#12. UU No. 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, penjelasan pasal 5 ayat 1 bahwa upaya penanggulangan wabah haruslah dilakukan dengan mempertimbangkan keadaan masyarakat setempat, antara lain: agama. Status halal haram itu dalam agama islam adalah hal yang esensial.

Pasal 6, bahwasannya keikutsertaan masyarakat dalam penanggulangan wabah tidak mengandung paksaan.

#13. UU Kesehatan No. 36 tahun 2009 pasal 5 ayat 2 dan 3, hak memperoleh pelayanan kesehatan yang aman dan hak menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan baginya. Pasal 7, tentang mendapatkan informasi dan edukasi yang seimbang dan bertanggung jawab. Pasal 8, berhak mendapatkan informasi tentang data kesehatan dirinya, termasuk tindakan yang telah dan akan diterima dari tenaga kesehatan.

Disini saya juga mengajak anda untuk menandatangani #Surat Pernyataan diatas materai yg cukup untuk bertanggungjawab jika terjadi sesuatu akibat dari vaksinasi, setelah itu saya akan setuju jika anak & keluarga saya di vaksinasi.

Semoga Allah memberikan hidayah kepada Anda selaku pelayan publik.

Wassalam.

Nyak Arief (Wali murid)

Begitulah sikap Nyak Arief yang mungkin juga representasi dari wali siswa yang lain. (*)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

 

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image