Pembelajaran Pasca Pandemi: Pembelajaran Berbasis Empati
Lomba | 2021-09-21 02:09:05Kita semua tentu mengharapkan pandemi segera berakhir. Namun, ada banyak dampak pandemi yang perlu disikapi dengan bijak. Hal itu termasuk dalam pembelajaran di sekolah dasar.
Sekolah dasar menjadi pertemuan pertama peserta didik dengan situasi pembelajaran formal. Dengan demikian, peserta didik akan mendapatkan kesan. Kesan itulah yang bisa jadi sangat berpengaruh pada perkembangan pengetahuan, keterampilan, dan sikap selanjutnya.
Sebagaimana yang telah kita ketahui, pembelajaran di sekolah dasar dimulai dari memperkenalkan hal konkrit menuju konsep yang abstrak. Hal itulah yang membuat pembelajaran di sekolah dasar dimulai dari diri peserta didik. Setelah itu, lingkungan terdekat dan perlahan diarahkan pada pemahaman konsep yang lebih universal.
Salah satu materi di awal pembelajaran adalah tentang diri dan keluarga. Hal yang bisa dijadikan cara menyampaikan materi ini adalah memaparkan kosep kekerabatan dan peran dalam keluarga.
Namun, pandemi mengubah banyak hal. Banyak penderita covid berpulang. Hal ini bisa berdampak pada peserta didik kita, misalnya menjadi yatim, piatu, atau yatim piatu.
Permasalahannya, dalam proses pembelajaran pasca pandemi, pendidik belum tentu memiliki waktu dan tenaga yang cukup untuk meriset latar belakang seluruh peserta didik. Hal ini bisa menjadi permasalahan yang kompleks. Misalnya, trauma pasca kehilangan orang tua menyebabkan peserta didik menjadi kurang terbuka atau mengalami kendala dalam berkomunikasi.
Oleh sebab itu, pembelajaran berbasis empati bisa menjadi salah satu langkah yang bisa diambil oleh peserta didik. Dalam menyampaikan materi pertama dalam pembelajaran di sekolah dasar itu, pendidik perlu mengubah cara lama.
Pembelajaran yang semula dilakukan dengan urutan mengenalkan konsep kekerabatan berikut tanggung jawabnya itu bisa sedikit diubah. Pendidik juga perlu melatih kepekaan karena susunan kekerabatan pada peserta didik yang satu bisa berbeda dengan yang lain.
Peserta didik dengan latar belakang berbeda dan kondisi psikologis yang sensitif perlu diajak berkomunikasi secara positif. Dengan demikian, pertanyaan dengan asumsi keluarga utuh perlu disesuaikan.
Pembelajaran tidak lagi dimulai dari pendidik, melainkan benar-benar dari peserta didik. Pendidik menjadi mediator bagi peserta didik untuk menyampaikan pikiran dan perasaannya. Ajak mereka menceritakan susunan kekerabatan itu tanpa terlebih dulu memberi konsep susunan âseharusnyaâ.
Pada tahap ini, konsep tiap keluarga bisa berubah. Misalnya, ibu di keluarga A berperan ganda sebab ayah meninggal karena pandemi. Atau kondisi sensitif lain seperti peserta didik kehilangan ayah dan ibu.
Tak hanya itu, pendidik mempunyai tugas yang cukup berat lainnya. Pendidik perlu mengondisikan kelas agar mampu menjadi komunitas yang saling mendukung.
Sejak dini, peserta didik diajak untuk menerima kesedihan, bukan menghindarinya atau menolak. Sementara peserta didik yang lain menjadi komunitas yang aman dengan bersama-sama memberi dukungan bagi yang kehilangan.
Komunitas positif itu dimulai dari kelas. Dengan demikian, kelas-kelas dengan jumlah peserta didik yang terlalu banyak saya pikir kurang efektif dalam pembelajaran berbasis empati ini.
Pendidik dan peserta didik perlu mempunyai ruang yang cukup untuk mengekspresikan empatinya. Kelas dengan jumlah peserta didik yang cukup banyak akan menyulitkan proses ini. Waktu yang tersedia tidak akan cukup memadai terutama jika pendidik belum memiliki kecakapan berempati.
Dengan jumlah peserta didik yang sedikit, pendidik mempunyai cukup waktu untuk membantu peserta didik menyampaikan perasaan dan pemikirannya. Setiap peserta didik memiliki waktu yang sama untuk mencurahkan isi hatinya. Tak hanya itu, mereka juga mempunyai waktu yang sama untuk ditanggapi dengan kehangatan yang sama.
Pembelajaran pasca pandemi baiknya tidak lagi berlari mengejar tujuan pembelajaran yang ditetapkan sebelum pandemi. Situasi telah berubah dan mau tidak mau memang perlu adaptasi menyeluruh.
Target pembelajaran sedikit berubah haluan. Tidak hanya mengejar pemahaman akan teori yang kadang dijejalkan begitu saja. Tetapi, kita bersama-sama membangun sesuatu yang tidak tampak tapi memberi dampak yang cukup besar: empati.
Jika sebelum pandemi, pembelajaran dititikberatkan pada pemahaman konsep dan aplikasi teori. Maka, pada pembelajaran pasca pandemi, kita bersama-sama lebih menitikberatkan perhatian kita pada sikap peserta didik.
Bersama-sama dengan peserta didik yang masih polos tapi bisa saja menyimpan duka mendalam itu, kita menumbuhkan keterampilan berbelarasa. Dan ini tidak hanya berlaku untuk peserta didik. Tapi, juga semua orang.
Dengan memberi ruang yang cukup di awal pembelajaran, kita bisa berharap bahwa di masa mendatang peserta didik ini menjadi pribadi yang telah selesai. Selesai dengan kesedihan dan rasa kehilangan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.