Menepis Rasisme di Dunia Pendidikan
Eduaksi | 2022-05-13 19:51:47Prasangka rasial di dunia pendidikan hakikatnya adalah pengkhianatan terhadap tujuan pendidikan itu sendiri. Secara ilmiah, tidak ada pembenaran untuk menyatakan bahwa satu ras secara intelektual lebih unggul atau lebih rendah daripada ras lainnya. Justru, keragaman ras harus disikapi sebagai anugerah dari Tuhan Yang Maha Kuasa sebagai faktor positif modal untuk belajar satu sama lain dan saling menghargai.
Manusia yang tinggal di gurun tentu memiliki adat istiadat yang berbeda dengan mereka yang tinggal di pegunungan. Agama yang dianut di gurun pun berbeda dengan di luar gurun. Dalam perjalanan kehidupan, agama kemudian bisa memainkan peran luar biasa dalam peradaban manusia. Oleh sebab itu, mencemooh, menistakan atau menghina kebudayaan dan agama berdasarkan ras tertentu, adalah sebentuk permusuhan terhadap peradaban manusia.
Agama sebagai hak asasi manusia yang harus dihormati dan dijunjung tinggi. UNESCO telah menandatangani Deklarasi tentang Ras dan Prasangka Rasial pada sidang ke-20 di Paris, 27 November 1978. Deklarasi ini adalah upaya badan PBB untuk melawan rasisme yang memang masih menjadi momok menakutkan.
Prasangka rasial mencakup pembedaan, pengabaian, pembatasan atau pengutamaan yang didasarkan pada ras, warna kulit, etnis atau asal usul kebangsaan dan ketidakrukunan agama yang didasarkan pada pertimbangan rasial. Cakupan tersebut merusak dan membahayakan persamaan hak manusia dalam kedaulatan negara. Tentunya cara sewenang-wenang dan bersifat diskriminasi yang membatasi setiap hak manusia adalah musuh dari peradaban manusia.
Upaya untuk melawan prasangka rasial melalui pendidikan pun terus digencarkan. Dalam konteks Indonesia, tujuan pendidikan nasional tidak memandang warna kulit, agama, suku dan budaya warga negara. Semua warga negara Indonesia memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan yang setara.
Pendidikan multikultural pun diperkenalkan dalam khasanah pendidikan Indonesia. Berbagai sekolah mendeklarasikan para pelajarnya dari berbagai latar belakang agama, suku, adat istiadat dan budaya. Perbedaan-perbedaan ini menjadi upaya internalisasi kepada peserta didik untuk lebih memahami bahwa Indonesia memang memiliki ragam ras yang bermacam-macam.
Pendidikan multikultural menjadi semacam desegregasi (upaya menyatukan kelompok sosial tertentu dalam ruang masyarakat). Penyelenggara pendidikan, Pemerintah dan masyarakat tentunya menjadi kunci bagi keberhasilan dalam pelaksanaan pendidikan berbasis multikultural. Kita harus menekan pengelompokan yang menimbulkan rasisme di tengah masyarakat. Jika tidak dilakukan, itu akan membesar yang kemudian semakin sulit dikendalikan.
Prasangka berbasis rasial tidak muncul instan. Dia bermain dalam alam bawah sadar manusia sebagai akibat proses terus menerus berdasarkan apa yang diyakini. Jika informasi memiliki tone negatif, maka itu yang akan menjadi kebenaran dalam keyakinan seseorang.
Pendidikan harus menghasilkan generasi yang berkualitas tanpa harus disekat berdasarkan apa rasnya, apa agamanya, apa sukunya dan seterusnya. Generasi Indonesia yang bisa bekerja sama dan saling menghormati tanpa ada prasangka buruk sesama saudara mereka sendiri. (*)
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.