Dibentuknya BPKH: Upaya Meningkatkan Pengelolaan Keuangan Haji
Lomba | 2021-09-15 13:35:20Mungkin diantara kita pernah mendengar seseorang atau bahkan keluarga kita yang sedang pergi melaksanakan ibadah haji. Sebagai seorang muslim, pastinya berhaji adalah keinginan terbesar yang selalu didambakan. Karena haji sendiri merupakan rukun Islam yang kelima, yaitu salah satu ibadah yang wajib dilaksanakan oleh setiap muslim yang mampu secara finansial, setidaknya sekali seumur hidupnya.
Karena kewajiban itulah, banyak umat Islam di Indonesia rela bertahun-tahun menunggu gilirannya untuk melaksanakan ibadah haji. Hal ini dikarenakan setiap tahunnya yang mendaftar untuk melaksanakan ibadah haji terus mengalami peningkatan, sementara kuota haji yang tersedia untuk negara Indonesia sangatlah terbatas. Ternyata peningkatan jumlah jemaah haji ini juga berimbas terhadap dana jemaah haji yang semakin menumpuk.
Sehingga diperlukan manajemen pengelolaan dana haji yang baik, untuk menciptakan rasa nyaman bagi para calon jemaah haji atas dana yang telah diserahkan kepada penyelenggara haji. Oleh karena itu, akan dibahas mengenai pengelolaan keuangan dana haji sebelum dibentuknya BPKH dan latar belakang pembentukan BPKH. Hal ini sebagai wujud upaya untuk meningkatkan pelayanan calon jemaah haji di Indonesia.
Sebenarnya pelaksanaan ibadah haji di Indonesia sudah dilakukan sejak dulu, bahkan sebelum Indonesia merdeka. Proses pelayanan maupun teknis keberangkatan sudah dijalankan dengan baik oleh pemerintah. Tetapi, selama ini peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai penyelenggaraan ibadah haji sudah tidak sesuai lagi dengan situasi dan kondisi serta kebutuhan bangsa Indonesia. Yang pada akhirnya, setelah reformasi pemerintah kembali berupaya untuk meningkatkan penyempurnaan sistem dan manajemen penyelenggaraan ibadah haji.
Dimana peningkatan ini bertujuan agar pelaksanaan ibadah haji berjalan aman, tertib, dan lancar sesuai dengan tuntutan agama. Hal ini ditandai dengan dikeluarkannya UU No. 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji yang menjadi pedoman secara nasional penyelenggaraan haji termasuk pengelolaan keuangan haji di dalamnya.
Sebelum berangkat berhaji, biasanya calon jemaah akan membayar biaya keberangkatan terlebih dahulu. Biaya ini disebut dengan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH), yaitu sejumlah dana yang harus dibayar oleh calon jemaah haji untuk menunaikan ibadah haji. Nah, dalam UU No. 17 Tahun 1999 diatur bahwa dalam rangka pengelolaan Dana Abadi Umat (DAU) lebih berdaya guna dan berhasil guna untuk kemaslahatan umat, pemerintah membentuk Badan Pengelola Dana Abadi Umat (BP DAU) yang diketuai oleh menteri.
Dana Abadi Umat (DAU) sendiri adalah sejumlah dana yang diperoleh dari hasil efisiensi biaya penyelenggaraan ibadah haji dan dari sumber lain. Untuk keanggotaan Badan Pengelola Dana Abadi Umat (BP DAU) ditetapkan oleh Presiden atas usul Menteri yang terdiri dari Dewan Pengawas dan Dewan Pelaksana. Badan ini mempunyai tugas pokok untuk:
1. merencanakan, mengorganisasikan, mengelola dana memanfaatkan dana abadi umat;
2. menyampaikan laporan pelaksanaan tugasnya setiap tahun kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Sejak disahkannya UU No. 17 Tahun 1999, maka pengelolaan keuangan haji menjadi kewenangan Badan Pengelola Dana Abadi Umat (BP DAU), yang akan bertanggung jawab kepada menteri dalam hal ini adalah Menteri Agama. Yang nantinya akan dilaporkan kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat. Sehingga pada saat itu baik pelayanan haji maupun pengelolaan keuangan haji dikelola oleh Kementrian Agama. Dimana untuk pengelolaan keuangan haji dilimpahkan menjadi kewenangan Badan Pengelola Dana Abadi Umat (BP DAU) yang dibentuk oleh menteri.
Namun, seiring dengan peningkatan jumlah jemaah haji tunggu mengakibatkan terjadinya penumpukan akumulasi dana haji. Dengan peningkatan tersebut menimbulkan berbagai macam tantangan yang harus dihadapi oleh Kementrian Agama. Yaitu berupa cakupan tugas dan tanggung jawab yang luas dan kemampuan pengelolaan keuangan haji yang belum mumpuni.
Karena kondisi inilah perlu dibentuk aturan perundang-undangan tentang Pengelolaan Keuangan Haji untuk menjamin terwujudnya idealitis pengelolaan keuangan haji. Dan pada 17 Oktober 2014, disahkan UU No. 34 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Keuangan Haji yang menjadi landasan dibentuknya Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) sendiri adalah lembaga yang melakukan pengelolaan Keuangan Haji. Yang kemudian ditetapkan berdasarkan Keppres No. 74/P 2017 Tentang Pengangkatan Keanggotaan Dewan Pengawas Dan Anggota Badan Pelaksana Badan Pengelola Keuangan Haji.
UU No. 34 Tahun 2014 juga mengamanatkan pengelolaan Keuangan Haji dengan asas prinsip syariah, kehati-hatian, manfaat, nirlaba, transparan, dan akuntabel yang dilakukan oleh BPKH sebagai badan hukum publik yang bersifat mandiri dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui menteri. BPKH berkedudukan di ibu kota negara Republik Indonesia dan dapat memiliki kantor perwakilan di provinsi dan kantor cabang di kabupaten/kota. Organ BPKH juga terdiri atas badan pelaksana dan dewan pengawas.
BPKH bertugas mengelola keuangan haji yang meliputi penerimaan, pengembangan, pengeluaran, dan pertanggungjawaban keuangan haji. BPKH juga berwenang menempatkan dan menginvestasikan keuangan haji sesuai dengan prinsip syariah, kehati-hatian, keamanan, nilai manfaat, dan likuiditas. Selain itu, BPKH juga berwenang melakukan kerja sama dengan lembaga lain.
Dengan lahirnya BPKH ini, maka akan lebih menjamin pengelolaan keuangan haji yang efektif, efisien, transparan, dan akuntabel dengan payung hukum yang kuat. Yang sebelumnya pengelolaan keuangan haji berada pada Badan Pengelola Dana Abadi Umat (BP DAU) yang dibentuk oleh menteri. Sekarang pengelolaan keuangan haji dikelola oleh sebuah badan yang mandiri yaitu Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) yang bertanggung jawab langsung kepada presiden.
#BPKHWritingCompetition
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.