
Lugunya Santri-Santri Baru
Agama | 2021-09-13 15:17:52
Mereka telah resmi menjadi santri. Berpeci, meski kadang agak miring. Berbaju koko, meski masih tertukar memasukkan kancing. Bersarung, meski terlihat kedodoran. Tulisan Arab mereka masih sangat kaku, dan lucu.
Di lingkungan baru ini, mereka merasa begitu asing. Banyak wajah baru yang mereka temui. Lingkungan tampak begitu baru; tidak ada gadget, televisi, dan fasilitas âmewahâ lain seperti saat di rumah dulu. Tempat tidur, mungkin tak semewah di rumah.
Tapi, padat dan disiplin kegiatan pesantren, membuat waktu istirahat lebih berarti. Orang lelah, tidur di mana pun jadi. Tapi, seasing apapun dunia pesantren bagi santri baru. Tetap tidak seasing alam lain dunia kapur dalam kartun CalkZone. Atau seperti memasuki dunia sekian abad silam melalui mesin waktu Doraemon.
Sore itu, di suasana kelas yang begitu baru, dengan santri-santri yang juga baru. Mereka baru saja lulus sekolah dasar, melanjutkan ke pesantren sambil meneruskan sekolah formal, SMP. Rupanya, kebiasaan di rumah masih lekat. Tampak tingkah mereka yang lugu, saya hanya senyum-senyum tersipu. Ingat saya yang dulu.
Di kelas itu, setelah mereka saya minta untuk sharing pengalaman akhir-akhir ini di pesantren (biar suasana kelas cair dan menggembirakan), mereka saya kenalkan pelajaran nahwu, dengan kitab pegangan âJurmiyyahâ. Kitab gramatika bahasa Arab dasar yang umum dikaji santri-santri pemula.
Seperti hal-hal baru yang belakangan ini mereka jumpai, Jurmiyyah pun demikian. Di rumah, mereka belum pernah mendengar kata Jurmiyyah. Di medsos, pun sama sekali belum mendengar atau melihat Jurmiyyah; di grup-grup dan story Whatsapp, instagram, tiktok. Apa yang mereka follow, tentu bukan akun-akun potensial yang kemungkinan share tentang kitab Jurmiyyah.
Perkenalan sudah, sharing sudah, sekilas Jurmiyyah pun sudah mereka kenal. Untuk lebih mudah mengingatnya, saya kaitkan dengan nama Juminten. âKalau susah ingat kata Jurmiyyah, ingat saja nama Juminten, ibu-ibu yang jualan kue serabi di Monas sebelum pandemi,â kata saya. Mereka tertawa. Sebagian masih terbayang rumah, tampak tawanya terlihat tanggung dan agak terpaksa.
Masih ada waktu sampai bel pulang berbunyi. Saatnya saya kenalkan mereka tulisan Pegon: tulisan berbahasa Indonesia yang menggunakan huruf-huruf Arab, yang akan selalu mereka guanakan untuk mengartikan kata per kata buku-buku (kitab) berbahasa Arab di pesantren.
Selarik teks Arab dari kitab Jurmiyyah saya tulis di white board. Berikut terjemah perkata menggunakan tulisan pegon. Perlahan dan pelan-pelan, mereka saya suruh menyalin di buku tulis. Meski tidak semua, sebagian lupa membawa bolpoin, sebagian tidak bawa buku.
Tidak apa-apa, kata saya, sambil tersenyum memandang wajah polos mereka. Meyakinkan mereka, bahwa sama sekali saya tidak marah dan tidak akan memarahi.
Mereka melihat selarik tulisan Arab di papan tulis, lengkap dengan terjemah Arab pegonnya. Tulisan yang aneh, pikir mereka. Beberapa anak maju ke depan, agar bisa melihat tulisan lebih jelas.
Ada yang sambil geleparan di lantai bawah papan tulis, ada yang maju dan berpindah ke meja guru, ada pula yang sambil sandaran di papan dan berpindah setelah ditegur teman satu kelas, âAwas, woy! Nggak keliatan!â
Di pesantren, setahu dan sepengalaman saya. Ketika disuruh menulis oleh ustadz, duduk penuh taâdzim di bangku (kadang ngglesor di lantai, tanpa meja) dan menuliskan apa yang perlu ditulis.
Tapi, namanya juga santri baru. Mungkin, kebiasaan di kelas sebelum mesantren seperti itu, seperti juga saya dulu.
Tersenyum melihat laku mereka, mengingatkan saya pada kisah saat Rasulullah sedang shalat posisi sujud, lalu kedua cucunya (Hasan dan Husein) menunggangi punggung baginda.
Lama sekali Nabi bersujud. Sampai sahabat yang bermakmum khawatir terjadi apa-apa dengan Rasulullah. âSengaja, aku lamakan sujudnya, agar cucuku puas bermain dulu,â jelas beliau.
Melihat tingkah polos santri baru di kelas, saya hanya bergumam, âKelak, mereka akan selalu mendoakan guru-guru dan orang tuanya. Juga menjadi penuntun masuk ke surgaâ.
(Ditulis dari pengalaman ngajar santri-santri baru yang notabennya anak kota)
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.