Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Hamdani

Pajak Pendidikan, untuk Apa?

Info Terkini | Friday, 10 Sep 2021, 09:29 WIB

Pemerintah ingin mengenakan pajak di sektor pendidikan. Lazimkah?

Siswa Madrasah Swasta/Dokumentasi Pribadi

Media online nasional (Jumat, 10/9/2021) memberitakan, saat ini pemerintah tengah mengajukan pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) terhadap jasa pendidikan sebesar 7 persen. Dengan begitu nantinya sektor pendidikan tidak lagi termasuk non Jasa Kena Pajak (JKP) seperti sebelumnya.

Guna mewujudkan hal itu, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) bersama Panitia Kerja (Panja) RUU KUP Komisi XI DPR RI membahas Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Perubahan Kelima atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Namun langkah pemerintah menyasar bidang pendidikan sebagai sumber pajak mendapatkan sorotan masyarakat dan menimbulkan tanda tanya. Pasalnya pendidikan merupakan kewajiban pemerintah untuk rakyatnya.

Masyarakat merasa ada yang ganjil pada kebijakan pemungutan pajak pendidikan. Apalagi hal itu tidak tersosialisasikan dengan baik kepada publik. Harusnya pemerintah tidak terburu-buru menetapkan pajak pendidikan.

Hingga saat ini publik belum mendengar dari Kementerian Keuangan apa alasan kuat yang mendasari pengenaan pajak pendidikan itu. Lalu bagaimana kriteria yang menjadi wajib pajaknya, dan bagaimana pengaruhnya terhadap biaya pendidikan yang harus ditanggung oleh peserta didik.

Masalah-masalah seperti itu belum dibicarakan ke ruang publik. Lalu tiba-tiba Kemenku sudah membahas RUU Perubahan Kelima atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan bersama DPR.

Namun dari penelusuran di media massa terungkap beberapa fakta. Misalnya Anggota Panja RUU KUP dari Fraksi PDIP Said Abdullah membeberkan sejauh ini, pembahasan dengan pemerintah, bahwa PPN akan dikenakan kepada sekolah yang tidak menjalankan Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) atau tidak berorientasi nirlaba.

Tetapi apa yang dimaksudkan oleh dewan terhormat itupun belum clear. Bagaimana yang dimaksud sekolah yang tidak menjalankan sistem pendidikan nasional itu? Apakah sekolah-sekolah swasta yang selama ini menarik dana dari peserta didik yang dipakai untuk operasional termasuk?

Sementara sekolah-sekolah milik masyarakat yang tidak mendapatkan bantuan dari pemerintah lantas harus bayar pajak? Jika itu yang di maksud, maka pemerintah telah melakukan pelanggaran terhadap konstitusi.

Siswa SMKTI Banda Aceh

Alasan pemerintah terkesan seperti mengada-ada. Bukankah majunya pendidikan nasional karena didalamnya ada kontribusi masyarakat dan swasta yang mereka tidak mendapatkan bantuan apa-apa dari pemerintah?

Sementara itu terkait dengan rencana pemerintah tersebut, direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Center Institute (TRI) Prianto Budi Saptono menilai, sebaiknya dikubur dalam-dalam oleh pemerintah. Sebab, Prianto menambahkan penerimaan pajak tidak akan bertambah pesat dengan pengenaan PPN atas jasa pendidikan.

Saya sepakat dengan apa yang dikatakan Prianto Budi Saptono, pemerintah perlu mengkaji lebih dalam lagi jika memang harus mengenakan pajak PPN pada sektor pendidikan. Meskipun tidak disama-ratakan namun orang tua peserta didik pasti menanggung beban pajak berganda.

Selain itu lembaga pendidikan tersebut pun akan membebankan PPN ke konsumen (pengguna jasa pendidikan) walaupun dengan dalih sumbangan pendidikan. Akibatnya harga sebuah pendidikan menjadi lebih malah. Lantas bagaimana terjadinya pemerataan akses?

Kendati demikian saya dapat mengerti mengapa pemerintah memiliki ide brilian untuk memungut pajak pendidikan. Setidaknya sekolah-sekolah asing yang bertaraf internasional tidak menjadi institusi pendidikan eksklusif yang kadang-kadang memang tidak mewakili pendidikan nasional (ke-indonesiaan). (*)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image