Menakar Muhasabah Lewat Mural
Eduaksi | 2021-09-09 19:55:02Sejumlah mural bermunculan di berbagai wilayah di Indonesia, termasuk mural âKami Lapar Tuhanâ di Kebon Kacang, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Meski dihapus oleh petugas, tidak menghalangi seniman jalanan melukis dinding tempat-tempat umum. Tak lama kembali muncul mural serupa dengan keluh kesah yang berbeda, 'Pray for PKL', 'Indonesiaku lagi sakit' dan lain sebagainya.
Bagi sebagian orang, terutama warga yang kebagian lukisan di dinding rumahnya, mural merusak keindahan dan kebersihan. Apalagi dilakukan oleh orang tak dikenal. Tanpa izin si empunya rumah, gambar mural terpampang nyata merusak pemandangan. Akan tetapi aksi ini berhasil mengundang perhatian jagat dunia maya. Pesan yang disampaikan pun kadang mewakili perasaan sebagian masyarakat negeri ini.
Di sisi lain para pakar menilai bahwa mural tidak berbahaya. Ia hanyalah sarana untuk mengritisi kebijakan penguasa yang kerap kali tidak bijaksana. Demi menyampaikan aspirasi masyarakat yang tersumbat, maka mural menjadi alternatif untuk memperbaiki nasib bangsa.
Menanggapi hal ini Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka mengatakan siap mendengar segala bentuk kritik dari masyarakat, dan meminta agar disampaikan pada Pemerintah Kota Solo, "Langsung ke saya saja. Datang ke sini (Balai Kota Solo) atau WA (WhatsApp) saya." (CNNIndonesia, 26/8/2021)
Hal ini tentu menjadi angin segar bagi warga Kota Solo. Jika semua penguasa bersedia menerima masukan dan mendengar pendapat warganya, tentu tidak akan terjadi kesenjangan. Penguasa pun bisa melihat dan merasakan kehidupan masyarakat bawah hingga ke pelosok negeri, serta mendapat gambaran terkait hasil dari penerapan kepemimpinan di satu wilayah tertentu.
Sayangnya hal ini tidak terjadi di sini. Simalakama hidup di alam demokrasi. Ide kebebasan yang digadang-gadang, seolah memberi ruang untuk menyampaikan pendapat, ternyata jauh panggang dari api. Masyarakat tidak memiliki saluran yang memadai, hingga akhirnya mereka menggunakan mural untuk menumpahkan isi hatinya.
Mural bukanlah hal baru, ia telah ada sejak masa prasejarah, kisaran 31.500 tahun yang lalu. Kala itu ditemukan mural di sebuah gua di Lascaux, daerah Selatan Prancis yang dilukis dengan menggunakan sari buah sebagai cat air. Pablo Picasso pun pernah membuat mural yang terkenal, dinamakan Guernica atau Guernica Luno, yang mengisahkan perang sipil di Spanyol pada tahun 1937.
/Islam Memberi Ruang/
Berbeda dengan negara sekularisme, Islam justru tidak akan membiarkan sebuah kepemimpinan berjalan tanpa aktivitas kontroling. Masyarakat sebagai pelaku dakwah, harus selalu melakukan pengawasan terhadap kinerja para penguasa, apakah sesuai dengan syariat atau tidak.
Islam memiliki mekanisme yang disebut majelis umat, yakni suatu majelis yang berisikan perwakilan kaum muslim di dalamnya. Mereka bertugas mengontrol dan mengoreksi penguasa. Sebaliknya, seorang pemimpin negara akan merujuk untuk meminta masukan dan nasihat mereka dalam berbagai urusan, pada majelis umat.
Sebagaimana Rasulullah saw dahulu sering meminta pendapat pada wakil-wakil dari Muhajirin dan Anshor. Hal ini pun kemudian berlanjut pada kepemimpinan Khulafaur Rasyidin sesudahnya. Ibn Saad dalam riwayatnya dari al-Qasim, menyampaikan bahwa, Abu Bakar Ash Shidiq, saat menghadapi suatu persoalan jika ingin meminta masukan dari para pemikir dan ahli fikih, ia memanggil beberapa orang dari Muhajirin dan Anshor. Ia pun memanggil Umar, Utsman, Ali, Abdurrahman bin Auf, Muadz bin Jabal, Ubay bin Kaab dan Zaid bin Tsabit.
Warga non muslim pun memiliki wakil mereka dalam majelis umat, sehingga terjaga hak-hak mereka seperti halnya warga muslim. Ketika didapati kezaliman penguasa pada mereka dan pengaduan buruknya penerapan Islam, umpamanya dengan ketiadaan layanan atau lainnya, mereka bisa menyampaikannya melalui wakil yang ada di majelis umat.
Sungguh perintah Allah bersifat tegas agar rakyat melakukan muhasabah pada pemimpinnya. Diharapkan dapat mengubah perilaku penguasa yang melanggar hak rakyat, melalaikan kewajiban, mengabaikan salah satu urusan rakyat, menyalahi hukum Allah dan memutuskan perkara dengan hukum selain yang Allah tetapkan.
Dan pemimpin pun menerima kritik dengan lapang dada, tanpa marah atau tersinggung. Sebagaimana Umar pernah mengaku salah dan berkata, "Wanita ini benar dan Umar yang salah." Setelah seorang perempuan mengoreksinya atas larangan Umar agar tidak menetapkan mahar lebih dari 400 dirham.
Masih banyak lagi kisah lainnya yang merupakan sumber hukum, yang menunjukkan bahwa majelis umat adalah sarana jitu bagi masyarakat untuk menyampaikan pendapatnya, tanpa takut dicekal atau diperkarakan. Tidak perlu mural untuk muhasabah para penguasa. Cukup dengan landasan takwa, pemimpin dan rakyat akan seiring sejalan membangun negeri sehingga Allah menurunkan keberkahan dari langit. Wallahu alam bish showab.
Ilustrasi Fine Art America
Penulis: Lulu Nugroho, Muslimah Revowriter Cirebon.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.