Ya Ampun...Rumah Dinas Rp 34 Miliar, Inikah
Info Terkini | 2021-08-24 21:40:27Penulis Toto TIS Suparto
Bisakah membayangkan bagaimana jadinya jika rumah dinas bupati dibangun dengan biaya Rp 34 miliar? Malah kabarnya masih kurang dana Rp 1 miliar untuk rampung 100 persen.
Nanti kalau sudah jadi, rakyat jelata yang lewat rumah itu akan bengong saat melihat bangunan megah itu. Sambil membayangkan enak juga jadi pejabat, rumah pun sudah disediakan negara. Beda dengannya, mencari sesuap nasi susah sekali, apalagi di tengah pandemi seperti sekarang ini.
Mengutip Republika.Co.Id ( 23 Agustus 2021), proyek pembangunan rumah jabatan Bupati Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, di Jl Pesisir Pantai Kelurahan Sungai Paret, Kecamatan Penajam, hingga saat ini, telah menghabiskan anggaran lebih kurang Rp 34 miliar. Namun itu ternyata belum rampung 100 persen. Informasi menyebutkan, lanjutan pembangunan rumah jabatan kepala daerah tersebut masih membutuhkan anggaran miliaran rupiah.
Memang, sang bupati bisa saja berdalih ia tidak meminta rumah dinas semahal itu. Ia cuma tinggal menempati saja. Namun begitu tetap saja terlihat ada "aji mumpung" pada pihak-pihak yang terlibat dalam pengadaan rumah dinas tersebut.
Menarik jika mengkaitkan aji mumpung ini dengan nasihat leluhur seperti pujangga Ranggawarsita. Dalam Serat Sabdatama, pupuh Gambuh bait keempat, dikemukakan [yang artinya kurang lebih] : Lain dengan yang aji mumpung; hilang kewaspadaan, masalah selalu bersamanya; Mengikuti terus dari belakang; Hati amat bernafsu, ruwet, tidak tenteram; tidak setia menyembunyikan dusta.
Jadi mau ditegaskan oleh pujangga Kasunanan Surakarta itu bahwa aji mumpung itu membuat orang malah tidak waspada, lupa daratan dan ujung-ujungnya tidak tentram. Para leluhur punya "ilmu titen" ( bukan saintifik, tetapi pengamatan yang berulang-ulang) bahwa mereka yang aji mumpung justru tidak tentram dalam keseharian. Alih-alih mau mengambil untung dengan aji mumpung, malah jadi buntung.
Pejabat yang dianggap aji mumpung kehilangan kewaspadaan. Akibat kendor kewaspadaannya akan memudahkan pejabat terjerat dalam "perbudakan biologis". Istilah ini ada dalam pemikiran filsuf Aristoteles. Padanan perbudakan biologis adalah mazhab Cyrenaik yang menempatkan kesenangan tubuh lebih baik daripada kesenangan jiwa. Lalu, tubuh dimanjakan dengan materi sehingga menimbulkan kesan, urusan perut adalah segalanya. Celaka jika pejabat menempatkan jabatan sebagai pengisi perut belaka, atau sekadar memanjakan tubuh. Maka yang lazim terjadi berikutnya adalah urusan orang banyak akan terabaikan.
Ketika urusan orang banyak diabaikan, selanjutnya yang bakal terjadi adalah kecenderungan kemenumpulan alam perasaan (emotional dullness). Apa yang dikemukakan Emil Kraepelin (1919) ini mudah saja dilihat kesehariannya, yakni yang sangat jelas adalah banyak pejabat tidak lagi peka terhadap aspirasi rakyat. Pernah pula saat susah pandemi, eh malah beli mobil dinas mewah. Ini tandanya mereka lebih peka pada kepentingan diri atau kelompok. Mereka memosisikan rakyat habis manis sepah dibuang.
Kemenumpulan alam perasaan membuat pejabat mengalami alienasi dengan rakyat yang mereka wakili. Ini sungguh sindrom yang sangat mengkhawatirkan. Sejatinya alienasi sebagai bersikap tidak peduli atau tidak bersahabat. Sangat disayangkan jika pejabat terpapar sindrom alienasi ini. Namun rakyat tak bisa berbuat banyak. Hanya berharap, kembalilah ke jalan rakyat. Urusan perut rakyat diperhatikan. Rumah dinas boleh Rp 34 miliar, tapi rakyat sejahtera. Nah ini yang susah. (*)
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.