Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Deassy Destiani

Tragis, 85 Persen Orang Tua Berkurang Minatnya Menyekolahkan Anak Ke PAUD

Eduaksi | Monday, 23 Aug 2021, 15:46 WIB
Foto Anak-anak PAUD Nusa Indah Sidorejo Kasihan Bantul Yang Lulus Tahun 2021

Sebuah obrolan ringan di sela sebuah rapat daring para guru PAUD terdengar terdengar di pagi hari :

Bunda Dina : “Gimana tahun ajaran baru ini Bun? Sudah berapa murid yang daftar di sekolah Bunda?”

Bunda Ani : “Waduh masih sedikit Bun hanya tiga orang. Padahal sebelum pandemi yang daftar antara 20-30 orang. Biasanya mulai Maret itu sudah banyak orang tua yang datang ke sekolah untuk tanya atau ambil form pendaftaran. Sekarang sudah bulan Agustus kok malah gak ada tanda-tanda penambahan siswa baru lagi yah.”

Bunda Dina : “Kalau begitu sama yah, sekolah kami juga muridnya berkurang tahun ini Bun. Orang tua inginnya anak belajar di sekolah bukan online. Padahal kan sekolah apalagi PAUD belum bisa dibuka. Entah sampai kapan. Sementara biaya operasional sekolah tetap berjalan.”

Bunda Ani : “Ya Bun ini uang tabungan punya sekolah buat biaya cadangan saja sudah mulai menipis. Apalagi untuk PAUD non formal seperti SPS, KB dan TPA swasta seperti kita. Gak ada bantuan dari yang lain. Mengandalkan SPP dan BOP dari pemerintah saja. Sementara SPP saat ini gak bisa diharapkan. Ada murid pun orangtua lalai bayar SPP karena merasa anaknya tidak bersekolah.”

Bunda Dina : “Ya Bun di sekolah kami itu guru nya juga ada beberapa yang di rumahkan. Sekolah sudah gak sanggup membayar honor guru karena gak ada pemasukan. Guru yang masuk juga hanya diberikan honor setengahnya. Benar-benar prihatin kami di tahun ini.”

***********

Obrolan dua guru PAUD itu menggambarkan begitulah perubahan besar yang terjadi pada Pendidikan Anak Usia Dini sejak pandemi. Padahal tahun ajaran baru 2021/2022 sudah berjalan sejak pertengahan Juli 2021. Sekolah tatap muka belum diijinkan.

Guru mengajar secara daring karena pembatasan sosial dan fisik. Padahal untuk anak usia dini proses belajar paling baik adalah dengan tatap muka/luring dan mengurangi penggunaaan gawai. Hal ini menyebakan banyak orang tua tidak berkenan mendaftarkan anaknya di PAUD. Mereka berpikir buat apa sih anak balita sekolah kalau yang repot justru orang tuanya karena harus mendampingi anak belajar dan mengerjakan tugas di rumah.

Itulah mengapa banyak lembaga Pendidikan Anak Usia Dini yang kekurangan siswa. Saya membuat sebuah survai kecil-kecilan dengan melibatkan 52 responden lembaga Paud non formal yang ada di DIY. Adapun yang masuk dalam responden itu 30 lembaga SPS (Satuan Paud Sejenis), 13 KB (Kelompok Bermain) dan 3 TPA (Tempat Penitipan Anak). Hasil survai menunjukkan 86,54% lembaga mengalami penurunan jumlah murid. Hanya 13,56% saja yang bertambah ataupun sama dengan tahun lalu.

Hal ini juga seiring dengan menurunnya minat orangtua dalam menyekolahkan anaknya di PAUD. Sebesar 84,9% responden mengatakan bahwa minat orang tua menyekolahkan anaknya berkurang dan hanya 15,1% saja yang mengatakan tidak berkurang minatnya.

Dampak dari penurunan jumlah murid tersebut membuat pengelola PAUD non formal harus mengetatkan anggaran. Mau tak mau pemangkasan SDM menjadi pilihan. Hasil survai menunjukkan hanya 5,77% yang di PHK atau di rumahkan namun faktanya yang 94,23% itu adalah mereka yang bertahan meski harus dipotong honor atau bahkan tidak mendapatkan honor sama sekali. Kebaikan hati guru-guru PAUD yang tak tega meninggalkan anak didiknya meski tak mendapat upah menjadi keunikan tersendiri.

Hasil survai memperlihatkan dari 52 lembaga itu hanya 26,6% lembaga yang memberikan honor secara penuh. Sementara 50,9% memberikan honor hanya sebagian dan 26,4% tidak memberikan honor sama sekali. Beberapa diantaranya malah memberikan uang pribadi agar lembaga bisa bertahan memberikan pengajaran kepada anak didik.

Mau tahu gak sih besaran honor guru PAUD non formal di DIY? Mungkin ini hanya gambaran kecil saja sesuai dengan responden yang saya survai. Namun bisa menjadi bahan pemikiran dari para pembaca yang peduli Paud. Honor guru PAUD yang diterima setiap bulannya itu 64,4% dibawah Rp.250.000. Sementara guru yang mendapatkan honor antara Rp.251.000 sd Rp.500.000 hanya 17,8 %. Antara Rp.501.000 sd Rp. 1.000.000 sekitar 6,7% dan yang mendapat honor diatas 1 juta 11,1%.

Besaran honor dengan gambaran diatas tadi untuk beberapa lembaga ternyata tidak mampu lagi untuk mencoba bertahan. Mungkin ada guru yang rela tak dibayar tapi jika muridnya tidak ada mau diapakan lembaga PAUD-nya? Akhirnya pilihan menutup lembaga menjadi alternative yang harus dijalani.

Menurut responden yang saya survai, 73.6% mengatakan bahwa ada lembaga di sekitar mereka atau lembaga mereka sendiri yang harus tutup tidak beroperasi lagi. Hanya 26,4% yang mengatakan lembaga di sekitarnya tidak ada yang ditutup.

Ada satu lembaga yang sampai menjual barang-barang di PAUD untuk bisa memberikan honor ke guru-gurunya. Bahkan ada guru yang jadi buruh di pasar untuk memenuhi kebutuhan hidup yang kian berat. Miris yah? Sedih rasanya saya membaca kisah para mujahid anak usia dini yang sedang berjuang.

Apakah ada bantuan dari pemerintah atau dinas pendidikan dengan situasi seperti ini? Hasil survai memperlihatkan bahwa 55,77% lembaga mengatakan tidak ada bantuan. Hanya 44,23% yang mengatakan ada bantuan. Setelah ditelusuri lagi jawabannya, bantuan yang dimaksud adalah BOP atau Bantuan Operasional Penyelenggaraan PAUD dari Kementrian Pendidikan.

Celakanya tahun 2021 ini, PAUD kategori Satuan Paud Sejenis (SPS) tidak terdapat di juknis BOP. Sehingga bantuan tersebut hanya diperuntukkan untuk PAUD Formal, KB, dan TPA saja.

Entah mengapa SPS hilang dari juknis BOP. Hanya saja di beberapa kabupaten seperti Sleman dan Kulon Progo dinas setempat membuat juknis tersendiri sehingga SPS di wilayah itu tetap bisa menerima BOP. Ketidakseragaman kebijakan ini memang bukan hanya sekali terjadi. Sebagai pengelola PAUD non formal saya berusaha memahami karena kembali lagi kepada siapa yang memegang kebijakan. Apakah dia mau mengusahakan untuk turunnya dana tersebut ataukah tidak,

Memang apa bedanya sih PAUD formal dan non formal? PAUD Formal itu bentuk lembaganya Taman Kanak-Kanak (TK) dan Raudhatul Athfal (RA). PAUD non formal lembaganya adalah Kelompok Bermain (KB), Tempat Penitipan Anak (TPA), dan Satuan PAUD Sejenis (SPS). Ada juga sih beberapa lembaga lainnya dengan istilah yang hampir mirip namun maksudnya sama.

PAUD formal dikelola oleh guru yang sudah diakui dalam Undang-Undang Nomor 14 Tentang Guru dan Dosen. Sedangkan PAUD non formal tidak diakui dalam UU tersebut. Sebetulnya dari Himpunan Pendidik Anak Usia Dini (Himpaudi) pada tahun 2019 sudah pernah mengajukan ke Mahkamah Konstitusi agar status Guru PAUD non formal juga bisa diakui dalam UU tersebut. Sayangnya upaya itu gagal. Padahal waktu itu didampingi pengacara sekaliber Bapak Yusril Ihza Mahendra.

Selama ini guru PAUD formal dan non formal mengikuti pendidikan dan pelatihan berjenjang yang sama yang bertujuan meningkatkan kompetensi. Hanya bedanya guru PAUD non formal tidak dapat tunjangan sertifikasi jika ikut pelatihan apapun sementara guru paud formal selain gaji dari yayasan juga mendapat tunjangan sertifikasi yang setara dengan PNS. Padahal tugas dan kewajiban antara guru PAUD formal dan non formal itu sama. Namun hak nya tidak sama.

Menurut Permendiknas Nomor 72 Tahun 2008, bagi guru tetap bukan PNS yang punya sertifikat pendidik tetapi belum memiliki jabatan fungsional guru, diberikan tunjangan profesi sebesar Rp 1,5 juta setiap bulan sampai dengan memperoleh jabatan fungsional guru.

Jumlah itu belum ditambah honor dari yayasan dan tunjangan lainnya. Namun untuk mendapat tunjangan sertifikasi ini juga banyak syaratnya salah satunya jumlah murid yang diajarkan minimal 15 anak, Jika kurang dari 15 anak tunjangan tidak cair atau guru tersebut di mutasi ke lembaga yang jumlah muridnya banyak dan kekurangan guru.

Bayangkan dengan kondisi pandemi saat ini dimana PAUD kekurangan murid. Untuk PAUD formal pasti juga menjadi kekhawatiran jika anak didiknya semakin berkurang. Kesejahteraan mereka terancam. Apalagi yang PAUD non formal nasibnya lebih memprihatinkan.

Memang benar untuk masuk sekolah yang lebih tinggi seperti SD tidak diperlukan ijazah PAUD. Namun jika orang tua yang tak punya ilmu mendidik anak usia dini "mengabaikan" stimulasi di rumah tanpa bimbingan dari guru PAUD maka anak akan kehilangan potensi emasnya. Riset membuktikan anak yang ikut PAUD mempunyai angka mengulang dan putus sekolah yang lebih rendah dibanding anak yang tak ikut PAUD.

Semoga saja tulisan ini menggungah para pemegang kebijakan untuk bisa memperhatikan lagi kondisi lembaga PAUD yang satu persatu mulai berjatuhan imbas pandemi. Jangan sampai semakin banyak PAUD yang tutup karena tak mampu lagi bertahan. Ada beberapa masukan dari responden yang saya survai terkait apa yang dibutuhkan lembaaga PAUD non formal saat ini. Berikut usulan mereka :

1. Mengusulkan ada insentif rutin dari desa untuk SPS yang dibawah pemerintah desa. Sebab selama ini belum semua desa memberikan insentif untuk guru PAUD di wilayahnya.

2. Mengusulkan kepada pemerintah/dinas pendidikan agar anak-anak wajib masuk PAUD non formal dulu sebagai syarat masuk TK . Diharapkan dengan ketentuan ini ada pergerakan anak yang mendafar di PAUD non formal sehingga lembaga PAUD bisa terselamatkan.

3. Diberikan ijin tatap muka minimal seminggu dua kali dengan catatan tetap mematuhi prokes untuk memenuhi permintaan orang tua.

4. Bantuan keuangan untuk operasional lembaga agar bisa bertahan sebab BOP tidak semua lembaga cair di tahun 2021.

5. Bantuan Pulsa internet yang tidak dibatasi untuk akses google meet saja seperti yang diberikan Kemendikbud. Sebab cara belajar daring saat ini bisa via Youtube, Zoom dan aplikasi lainnya.

6. Bantuan dari anggaran pandemi covid untuk suplemen seperti vitamin, masker, hand sanitizer dan desinfektan buat guru PAUD.

Semoga 6 usulan diatas bisa menjadi bahan pertimbangan dan masukan bagi para pemegang kebijakan dan juga para donatur yang peduli dengan pendidikan anak usia dini. Jangan lupa bahwa pendidikan anak usia dini merupakan investasi berharga bagi masa depan sebuah negara. Membiarkan 19 juta anak usia dini tanpa bimbingan yang maksimal dampaknya baru akan terasa di tahun 2045 nanti.

Jika anak usia dini tumbuh dan berkembang dengan baik, maka anak akan siap menerima pembelajaran untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Kualitas insan yang terbangun dengan baik, akan memberikan kontribusi signifikan terhadap kemajuan sebuah negara. Jadi jangan sampai negara mengabaikan peran Pendidikan anak usia dini, sebab disitulah fondasi dan akar dari generasi bangsa ini.

Semangat Buat Semua Pendidik PAUD. Para Mujahid sesungguhnya di bidang pendidikan!

*******

By Deassy M Destiani (Pengelola dan Pendidik PAUD Non Formal di Yogya)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image