Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Nami Otrapus

Olahraga Bukan Sekadar Sehat, tetapi juga Belajar Memahami “Sport Ethics”

Olahraga | Friday, 20 Aug 2021, 15:21 WIB

Penulis : Nami Otrapus

Masih ingatkah gaya main pebulutangkis ganda putri China Chen Qingchen dan Jia Yifan? Itu lho yang dikalahkan pasangan Greysia Polii/Apriyani Rahayu saat perebutan medali emas Olimpiade 2020.

Ganda putri China itu diadukan ke BWF oleh Asosiasi Bulu Tangkis Korea Selatan. Asosiasi ini mengirim laporan ke Federasi Badminton Dunia (BWF) seiring perilaku ganda putri China tersebut di lapangan selama Olimpiade 2020 di Tokyo. Pasangan nomor dua dunia tersebut, terutama Chen Qingchen, pada laga terakhir Grup D saat melawan pasangan nomor lima dunia asal Korsel, Kim So-yeong/Kong Hee-yong, kerap mengumpat, " Wo Cao...."

Umpatan Chen melanggar kode etik BWF. Sebab "Wo Cao" berkonotasi jelek. Kalau lebih luas lagi, mencederai apa yang disebut "Sport Ethics", di mana kode etik merupakan bagian konkret dari sport ethics dimaksud.

Apa itu "sport ethics"?

Andrea Borghini menyatakan "Sport Ethics" adalah cabang filsafat olahraga yang membahas etika secara spesifik yang muncul selama dan di sekitar kompetisi olahraga. "Etika ini menjadi titik terpenting yang menghubungkan filsafat dan masyarakat pada umumnya," kata Borghini, seorang profesor filsafat di Universitas Milan, Italia, dalam laman thoughtco.com.

Sementara dalam sebuah webinar belum lama ini, Pengkaji Etika Toto TIS Suparto menjelaskan para etikawan yang fokus pada sport ethics memetakan terdapat tujuh etika utama dari aktivitas olahraga yaitu; (a) sportivitas; (b) kecurangan; (c) peningkatan kinerja; (d) olahraga yang berbahaya dan penuh kekerasan; (e) gender dan ras; (f) penggemar dan penonton; (g) olahraga disabilitas; dan (h) estetika olahraga.

Ada dua kutub etika yang kerap muncul di arena, lanjut Toto TIS Suparto, yakni sportivitas dan kecurangan. Sportivitas merupakan pilar etika olahraga. Sportivitas adalah kebajikan olahraga yang paling penting. Ini juga dianggap penting bagi kehidupan dan budaya di luar olahraga.

Hal ini ditegaskan oleh Deborah Agnew, dosen di School of Education di Flinders University di Australia Selatan, bahwa etika selama kompetisi olahraga akan menular kepada kehidupan di luar atau masyarakat.

Deborah menambahkan bahwa salah satu perilaku yang paling tidak sportif adalah “berbicara sampah” (komentar negatif yang mengejek yang ditujukan kepada lawan) karena sportivitas adalah tentang permainan yang adil dan melakukan perilaku seseorang dengan cara yang dianggap dalam batas yang dapat diterima semangat permainan.

Dari Olahraga bisa belajar tentang "Sport Ethics" (sumber foto : pixabay )

Standard Sprotivitas

Apakah standard sportivitas pada olahraga rekreasi ( hobi ) sama dengan sportivitas pada olahraga profesional ( olahraga yang telah dikomodifikasi)?

Atas pertanyaan itu, TIS mengutip 'Is Sportsmanship a Moral Category?' karya James W. Keating (1965). Keating memang membedakan sportivitas di olahraga hobi dan profesional. Pembedaan ini didasarkan pada tuntutan akhir antara kedua olahraga itu. Olahraga hobi demi kesenangan, olahraga profesional berburu prestasi. Makanya standard etika yang sesuai untuk olahraga di tingkat rekreasi tidak setara dengan di tingkat kompetitif. Adakalanya perilaku yang sesuai dengan olahraga hobi mungkin secara moral tidak pantas di tingkat kompetitif dan sebaliknya.

"Kita bisa membayangkan, saat bersama tetangga atau teman sekantor bermain bulu tangkis, wajar jika saling ngledek dengan teriakan-teriakan menyebalkan. Tak mungkinlah ngledek seperti itu terjadi olahraga profesional," katanya yang ternyata juga masih suka bermain badminton itu.

Saat ada keinginan untuk menang, ada kalanya menempuh jalan curang. Kecurangan ini mewakili, bahkan bentuk utama, dari kegagalan moral dalam olahraga. Namun kalau kita lihat di arena, curang dapat menjadi bagian dari ketrampilan dan strategi permainan. Di sepak bola yang paling dikenal adalah diving.

Teriak-teriak di lapangan sejatinya intimidasi terhadap lawan. Tetapi persoalannya, bila yang diteriakkan berupa kata-kata kasar, sudah barang tentu melanggar kode etik, walau bukanlah kecurangan. Kasus teriakan Chen bukanlah kecurangan, kalau ia sekadar berteriak biasa. Dari sisi ini tidak mencederai sport ethics. Begitu tahu bahwa Chen meneriakkan "Wa Cao" yang termasuk kata kasar, barulah jelas-jelas kasus Chen mencederai sport ethics.

Tentu saja kasus Chen perlu ada sanksi dari BWF. Sanksi ini sebagai upaya menyadarkan para olahragawan bahwa olahraga itu bukan sekadar permainan, tetapi mengandung unsur pendidikan di dalamnya.

Chen Qingchen, pebulutangkis China, yang keceplosan teriak "Wo Cao..." (sumber foto : instagran pribadi )

Pengayaan Etika

Olahraga merupakan salah satu sarana pendidikan bagi anak-anak hingga remaja dalam rangka memberikan pengayaan etika. Cepat sekali mereka akan memahami suatu etika saat menonton laga olahraga. Sebab, menurut para filsuf moralis, mengajarkan etika dan nilai moral sebaiknya lebih bersifat contoh. Tindakan lebih baik dari kata-kata.

Event olahraga, seperti Olimpiade 2020 yang baru usai itu, merupakan ajang mencontohkan etika kepada masyarakat. Ketika atlet menunjukkan tindakan tidak beretika, seperti pebulutangkis China itu, maka masyarakat tidak patut mencontohnya alias memori atas “wo coa” dibuang begitu saja. Sebaliknya bilamana ada atlet mencontohkan tindakan beretika, selayaknya diresapi dan kemudian dipraktikkan.

Contohnya Apriyani Rahayu, pebulutangkis kita, telah memberikan contoh etika di lapangan. Ia kerap mencium tangan Greysia Polii, yang usianya lebih tua, sebagai tanda penghormatan kepada senior. Apriyani tak pernah berkoar-koar, "Ayo cium tangan senior!". Ia cuma bertindak menuruti kata hatinya dan ternyata ini malah menjadi contoh tindakan yang bisa menyebar ke generasi muda.

Contoh lain ketika atlet Qatar dan Italia berbagi medali emas. Atlet lompat tinggi Qatar, Mutaz Essa Barshim, rela berbagi emas bersama rivalnya, Gianmarco Tamberi yang berasal dari Italia. Mutaz memutuskan berbagi emas ketika Tamberi diketahui cedera. Padahal Mutaz punya kans untuk memenangi emas sendirian. Video kisah berbagi emas ini banyak menuai pujian netizen.

Rahayu dan Mutaz telah menginspirasi penonton akan kebajikan etika. Masih banyak kisah-kisah kebajikan lain dari ajang Olimpiade tersebut. Inilah yang disebut oleh akademisi filsafat olahraga sebagai sport ethics. Begitulah olahraga, betapa kaya etika yang bisa digali sebagai contoh tindakan. Kata filsuf pendidikan Wendy Kohli (1995), olahraga punya peranan penting sebagai wadah unik penyempurnaan watak, dan sebagai wahana untuk membentuk kepribadian yang kuat, watak yang baik dan sifat yang mulia.

Maka dari itu, setelah olimpiade usai, masih adakan kisah-kisah sport ethics?. Toto TIS Suparto berharap sport ethics bisa memasyarakat, mengingat masyarakat kita juga senang berolahraga. (nao / Apron IDN)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image