Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image ANDI MUHAMMAD ALIEF

Brutalisme TNI, Separatisme, dan Reformasi Formulasi

Politik | Friday, 20 Aug 2021, 12:02 WIB

Dalam studi Tentang Rasialisme Film The Green Mile (Jismulatif, 2009:119), menyebut terdapat stereotip yang berkembang luas, yakni “ras kulit hitam dianggap ras yang rendah dibanding ras kulit putih”. Stereotip ini berkonsekuensi melanggengkan segregasi antara ras kulit hitam dengan ras kulit lainnya di berbagai sektor, termasuk pada sektor penegakan hukum. Di Indonesia, aparat cenderung tidak humanis terhadap etnis Papua.

Validitas klaim di atas ditopang dengan bukti video yang memperlihatkan dua orang oknum Polisi Militer TNI AU yang melakukan kekerasan di Merauke, Papua. Satu diantara oknum tersebut menginjak kepala pria Papua dengan kondisi difabel (Kompas.com, 29/07/2021). Potret ini seakan menjadi dejavu bagi kita, kekerasan serupa pernah terjadi di Amerika Serikat, dimana oknum Polisi menindih leher seorang pria kulit hitam bernama George Floyd hingga meninggal dunia.

Kendati, di Merauke tidak berujung meninggal. Namun kedua aksi itu sama saja mencederai nilai-nilai hak asasi manusia, juga merefleksikan TNI belum cukup humanis terhadap masyarakat Papua. Hal ini tentu membawa implikasi negatif, salah satunya separatisme.

Akar Separatisme

Menurut KBBI (1998: 210), separatisme adalah konsep pemikiran yang mengambil suatu keuntungan dari terjadinya perpecahan dalam suatu golongan. Lazimnya pemikiran separatisme ini dibarengi dengan aksi nyata berupa gerakan separatis.

Bila menengok sejarah, kedaulatan negara Indonesia sering dirongrong oleh gerakan separatis, mulai dari Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Darul Islam atau Tentara Islam Indonesia (DI/TII), Republik Maluku Selatan (RMS), dan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Hampir semua gerakan itu telah dipadamkan, kecuali aksi pemberontakan OPM yang hingga kini masih bergejolak. Kemudian timbul pertanyaan, apa yang menyebabkan pemberontakan di Papua masih terus bergejolak?

Jawabannya, tentu tidak terlepas dari perlakuan represi negara, melalui instrumen TNI yang kerap bertindak tidak berperikemanusiaan terhadap masyarakat Papua. Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyebut, Sejak 2019-2020 ada 12 peristiwa kekerasan yang dilakukan oknum TNI di Papua dan Papua Barat dengan korban 33 orang tewas dan 24 orang luka-luka. Dalam priode 2020 ada juga aksi pembunuhan terhadap Pendeta Yeremia. Hasil investigasi KOMNAS HAM menyatakan pembunuhan tersebut dilakukan oleh anggota TNI.

Data di atas kian mempertegas betapa kroniknya patologi brutalisme TNI. Merujuk KBBI, brutalisme memiliki arti kurang ajar, biadab, amoral, bengis, dan dapat pula disebut sebagai tindakan tidak berperikemanusiaan. Brutalisme tidak semestinya dipertontonkan oleh aparat TNI, dikarenakan dalam menjalankan tugas, aparat TNI diwajibkan menjunjung tinggi hak asasi manusia (Vide Pasal 2 huruf d UU 34/2004 tentang TNI).

Selain bertentangan dengan UU, aksi brutalisme TNI berpotensi mengamputasi wilayah negara kesatuan Indonesia (disintegrasi). Contoh konkretnya, Setelah pembunuhan Pendeta Yeremia, secara kontan konflik di tanah Papua semakin bergejolak. Sejak awal 2020-2021 tercatat sebanyak 46 kasus kekerasan dilakukan oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB).

Di sini terlihat ada hubungan kausalitas antara pembunuhan pendeta Yeremia dan kekerasan aparat terhadap masyarakat Papua, kemudian intensitas teror oleh KKB meningkat. Dengan kata lain, brutalisme TNI merupakan salah satu akar separatisme di Papua. Senada, dalam buku Papua Road Maps (2009), menyebut salah satu akar separatisme di Papua ialah siklus kekerasan aparat (pelanggaran HAM) yang kerap menimpa masyarakat Papua.

Perlu diingat, separatisme itu bagaikan pohon dan brutalisme TNI bagaikan akar. Separatisme akan tumbuh subur, kokoh, dan membuahkan disintegrasi apabila ‘pohon separatisme’ tersebut tidak dibasmi hingga akar-akarnya (stop brutalisme TNI/pelanggaran HAM).

Pembaharuan Formulasi

Melihat pelangaran HAM oleh TNI begitu sering terjadi, padahal pelakunya sudah dijatuhi sanksi. Maka, efektivitas sanksi pun dipertanyakan, apakah sanksi yang dijatuhkan terhadap oknum TNI tidak menimbulkan efek jerah? Kiranya demikian!

Dalam penegakan hukum pidana, efek jerah sangatlah esensial untuk mencegah terpidana mengulangi perbuatannya (speciale vreventie), dan menakut-nakuti masyarakat umum agar tidak melakukan kejahatan serupa (generale preventie). Maka dari itu perlu dilakukan pembaharuan formulasi sebagai konsekuensi formulasi hukum yang ada belum mampu menimbulkan efek jerah.

Dalam konteks pidana militer, sebagian pelanggaran delik diadili menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM), namun delik penganiyayaan diadili menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dikarenakan KUHPM tidak mengatur delik penganiyayaan dan pembunuhan yang dilakukan oleh elemen militer.

Keberlakuan KUHP terhadap subjek hukum militer (non sipil) tentu menyimpangi nilai ‘keadilan kesebandingan (Justitia distributiva)’. Sebab antara subjek hukum sipil dan non sipil dua hal yang berbeda. Misal, penganiyayaan dan pembunuhan yang dilakukan TNI adalah pelanggaran HAM, serta tergolong sebagai extra ordinary crime. Sedangkan apabila kejahatan serupa dilakukan oleh sipil maka delik tersebut adalah delik biasa/ umum.

Melihat dua perbedaan kualifikasi delik dan subjek hukum, maka tidak sebanding apabila menggunakan instrumen hukum serupa dalam penyelesaiannya. Maka, dapat dikatakan potret ini merupakan suatu anomali keadilan kesebandingan dalam penegakan hukum yang disebabkan oleh adanya kekosongan hukum di lingkup pidana militer (rechtvacum).

Menanggapi problema di atas, maka perlu diberikan solusi, yaitu reformasi formulasi. KUHPM perlu diperbaharui dengan mengadopsi Pasal-Pasal KUHP, seperti delik pembunuhan, penganiyayaan, dan kejahatan terhadap badan lainnya. Kemudian sanksi atas delik tersebut diatur jauh lebih berat dibanding yang diatur dalam KUHP. Hal ini guna mengoptimalkan efek jerah bagi TNI yang melanggar HAM. Sekaligus dapat menurunkan arogansi aparat TNI terhadap masyarakat Papua, sekaligus mencabut salah satu akar separatisme.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image