Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Saffana Zahira

Antara Monster dan Pandemi, Bisakah Kita Merdeka Dari Kusta?

Gaya Hidup | 2021-08-17 19:02:27

"Mereka menyebut saya sebagai monster", ucap Muhammad Arfah (Pemuda OYPMK)

Begitulah sekeping curahan hati Muhammad Arfah yang saya dengar dalam podcast SUKA #SuaraUntukKusta yang digagas oleh NLR Indonesia bersama dengan KBR. www.kbrprime.id/?page/show/73/11916/

Sebagai orang yang pernah mengalami kusta (OYPMK), Muhammad Arfah sempat mendapatkan ejekan dari teman-temannya saat ia masih duduk dibangku SMP. Kata "Monster" menjadi kata yang cukup membekas dibenak Muhammad. Sebab kondisi bercak putih kemerahan yang tersebar di berbagai permukaan kulit terutama pada wajah, membuat dirinya mendapatkan julukan tersebut. Saat itu Muhammad tidak mengetahui penyakit apa yang diderita oleh dirinya, hingga akhirnya dirinya dinyatakan secara medis terkena kusta.

Jujur saja saya sendiri hanya sekedar tahu bahwa ada penyakit yang bernama kusta. Namun dari penyebab, asal-usul, pencegahan, dan pengobatan mengenai penyakit kusta, baru saya pahami setelah mengulik berbagai artikel blog dan postingan instagram @nlrindonesia

instagram : @nlrindonesia

nlrindonesia.or.id

Sejarah banyak mencatat para penderita penyakit kusta pada masa lalu seringkali dicap sebagai azab atau kutukan dari Tuhan oleh orang sekitar mereka. Orang yang telah terjangkit penyakit kusta, mau tak mau harus menerima stigma negatif tersebut. Tak jarang pada masa itu, mereka harus bersedia untuk diasingkan di tempat terpencil oleh keluarga.

Sekitar tahun 1873, Dr. Gerrad Armaurer Henrik Hansen menjadi orang pertama yang menemukan penyebab penyakit kusta. Ternyata kusta adalah penyakit rentan menular yang berasal dari bakteri Mycobacterium leprae. Penyakit ini dapat menyerang saraf dan kulit manusia serta akan menular jika terjalin kontak langsung secara berkelanjutan dengan pasien kusta yang belum pernah mendapatkan pengobatan. Indonesia sendiri masih menduduki peringkat tiga besar penderita kasus kusta terbanyak di seluruh dunia. Bahkan pada tahun 2018, telah terjadi peningkatan kasus kusta sebesar 17.017.

Kabar baiknya tak semudah itu kusta akan menjangkiti orang. Diperkirakan kusta hanya beresiko bagi 2 orang dari 100 orang. Orang yang memiliki sistem kekebalan tubuh yang sehat dan cukup gizi juga tidak mudah tertular oleh penyakit kusta.

Gejala kusta seperti bercak putih agak kemerahan yang muncul di permukaan kulit menyerupai panu, mati rasa pada tangan atau kaki, hingga masalah penglihatan yang dapat memicu kebutaan, seringkali tidak disadari dan dianggap remeh oleh orang. Padahal jika tidak segera ditangani, berbagai kerusakan pada bagian saraf, kulit, hingga mata akan menyebabkan pasien rentan disabilitas.

Terlebih di masa pandemi, kusta kurang mendapatkan perhatian khusus karena fokus utama pemerintah dalam hal kesehatan saat ini adalah antisipasi dan keselamatan rakyat dari virus Covid-19. Meskipun begitu penanggulangan penyakit kusta nyatanya masih terus berjalan, terbukti dengan giatnya NLR Indonesia untuk menerapkan tiga zero guna mewujudkan misi, "Hingga kita bebas dari kusta".

Pertama, Zero Transmission (Nihil Penularan). Yaitu sebuah kolaborasi antara NLR Indonesia, Kementrian Kesehatan RI, dan Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk mencegah penyakit kusta dengan menghentikan penularan dari bakteri Mycobacterium leprae. Diantaranya dengan pemberian obat pencegahan MDT (multy-drug-therapy), deteksi dini, peningkatan kapasitas petugas medis kusta, dan merangkul kelompok potensial di lingkungan sekitar.

Kedua, Zero Disability (Nihil Penyandang Disabilitas). NLR Indonesia didampingi oleh tenaga medis menekan laju peningkatan penyakit kusta sedini mungkin dan memantau orang yang pernah mengalami kusta (OYPMK) agar terhindar dari risiko disabilitas akibat kusta.

Ketiga, Zero Exclusion (Nihil Eksklusi). Bersama berbagai mitra kerja, NLR Indonesia berusaha untuk mengurangi tindak diskriminasi dan stigma negatif yang melekat pada orang yang pernah mengalami kusta (OYPMK), penyandang disabilitas karena kusta, dan disabilitas lainnya. Diantaranya dengan kampanye penyadaran demi menumbuhkan edukasi terkait penyakit kusta kepada publik.

Bertepatan dengan hari kemerdekaan RI ke-76 walau masih diselimuti oleh situasi pandemi ini, saya berharap kemerdekaan dari kusta dapat pula dinikmati oleh saudara-saudara kita yang sedang berjuang melawannya. Semoga tidak ada lagi ejekan monster yang ditujukan kepada Muhammad Arfah dan stigma negatif yang melekat kepada orang yang pernah mengalami kusta (OYPMK) lainnya. Indonesia tangguh dan tumbuh, maka sudah sepatutnya kita saling berjuang hingga kita bebas dari kusta.

(Artikel ini telah diunggah sebelumnya pada laman https://saffanaza.blogspot.com/2021/08/antara-monster-dan-pandemi-bisakah-kita.html)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image