Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Hafidz Fuad Halimi

Bangsa Indonesia yang Beragama dan Bernegara

Agama | Monday, 16 Aug 2021, 15:39 WIB

Menjalankan ajaran agama tak membuat kita lupa akan kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika pun ada yang membenturkan antara kehidupan beragama dan bernegara, anggap saja sedang ada titisan Snouck Hurgronje sedang menjalankan kepentingan "kotor"-nya di masa kini.

Sejatinya, bernegara merupakan bagian dari aktivitas kebaikan tanpa harus meninggalkan atau menanggalkan aktivitas beragama. Terlebih, di negara Indonesia di mana aktivitas kepercayaan dan agama dilindungi undang-undang. Adapun jika ditemui pertentangan antara aktivitas bernegara dengan beragama, maka pasti ada hal salah yang menjadi penghubung di antara keduanya. Bukan salah negaranya ataupun salah agamanya, tapi salah penghubung di antara keduanya.

Sejarah pun membuktikan, latar belakang agama banyak menjadi faktor krusial dalam membangun negara. Dimulai dengan sejarah perlawanan kolonialisme, tak terhitung banyaknya tokoh agama yang menjadi motor dan penggerak peristiwa perlawanan terhadap kesewenang-wenangan kolonilalisme di berbagai wilayah Nusantara.

Kita pasti masih ingat penentang koloniaslime dari tanah Sumatra, seperti Teuku Umar, Cut Nyak Dien, Malahayati, Imam Bonjol. Ingatkah kita bagaimana perjuangan Fatahillah dalam mengusir bangsa Portugis yang serakah dari Sunda Kelapa? Bagaimana pula perlawanan gerilya Diponegoro di Jawa yang memusingkan pihak kolonial Belanda sehingga harus melakukan tipu daya dan pengkhianatan untuk bisa menangkapnya?

Masihkan kita ingat bagaimana kerasnya perlawanan ayah dan anak dari Makassar, Sultan Malikussaid dan Sultan Hasanuddin melawan kesemena-menaan kongsi dagang Belanda VOC? Pernahkah kita baca bagaimana kerasnya perlawanan Kesultanan Ternate di bawah komando Sultan Baabullah dalam mempecundangi Portugis di tanah Maluku?

Tentunya masih banyak kisah heroik bangsa Indonesia dalam melakukan perlawanan terhadap penjajahan oleh tokoh yang dikenal sebagai tokoh agama. Inipun mejadi indikator bahwa tokoh-tokoh beragama akan sangat bisa diandalkan sebagai benteng kokoh kedaulatan bangsa dan negara.

Belum lagi jika kita mencerna berbagai rentetan peristiwa menjalang proklamasi kemerdekaan Indonesia sampai perjuangan memertahankan kemerdekaan Indonesia. Sangat banyak tokoh yang mengawal rentetan peristiwa bersejarah tersebut yang mempunyai latar belakang sebagai tokoh agama di masyarakatnya. Bahkan, bendera Merah Putih pun diusulkan oleh sosok bersorban, Habib Idrus Al-Jufri.

Bagaimana dengan salah satu tokoh sentral dalam kemerdekaan Indonesia, Sukarno? Tentu saja, Sukarno pun meski tak memiliki latar belakang sebagai tokoh agamawan, tapi Sukarno kaya akan referensi dan gagasan mengenai Islam. Salah satu bukti ketidakabaianya terhadap Ilmu Agama Islam adalah peristiwa surat-menyurat dengan tokoh sekaligus guru Persatuan Islam (Persis), A. Hassan saat Sukarno diasingkan ke Ende oleh pemerintah Kolonial Belanda. Dalam surat-surat yang sudah menjadi bukti otentik sejarah tersebut, jelas pemahaman Sukarno mengenai agamanya tidak abal-abal. Keterasingan yang dialami selama di Ende sedikit banyaknya diriangkan dengan surat yang dinantinya dari sahabat, guru, sekaligus lawan debatnya, A. Hassan. Bahkan, Sukarno pun tak menampik kekaguman dan pengakunnya sebagai guru spiritual kepada A. Hassan.

Tentu saja, peristiwa itu pun menjadi tanda bahwa tokoh yang menjadi Presiden Indonesia pertama itu pun memiliki bekal pemahaman agama yang kuat sebelum memimpin bangsa Indonesia. Jadi, sangat tidak masuk akal jika tokoh-tokoh beragama dan menggunakan simbol agama dalam kesehariannya bisa menjadi sandungan dalam kemajuan berbangsa dan bernegara.

Menjelang kemerdekaan Indonesia, ada panitia sembilan yang bertugas mempersiapkan kemerdekaan Indonesia dan merumuskan ideologi negara sehingga lahirlah Pancasila. Tujuh di antara sembilan tokoh panitia sembilan merupakan tokoh bergelar Haji. Maka, tak relevan juga jika saat ini masih ada manusia yang teriak mempertentangkan Islam dan Pancasila. Jika paham sejarah, semua sudah clear, beres sedari awal.

Lihat saja, bagaimana “Revolusi Jihad” yang dicanangkan K.H. Hasyim Asy’ari yang notabene sebagai tokoh sekaligus pemimpin Organisasi Islam (NU), berjubah, dan bersorban mampu membakar santri dan segenap anak bangsa untuk melawan Agresi Belanda dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Di Surabaya pun demikian, teriakan “Allahu Akbar...!” yang digaungkan Bung Tomo mampu membakar semangat arek-arek Suroboyo untuk menentang dan melawan Belanda.

Jika kita familiar dengan istilah “NKRI Harga Mati”, maka sepatutnya kita ingat tokoh bernama Mohammad Natsir. Pahamilah bagaimana cantiknya strategi Mohammad Natsir (Ulama Persis dan Dewan Dakwah Indonesia) mempersatukan Indonesia di tengah perpecahan dalam bentuk Republik Indonesia Serikat (RIS) hasil KMB sampai akhirnya RIS dibubarkan dan diganti dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada 3 April 1950 melalui Mosi Integral Natsir.

Mohammad Natsir mencetuskan Mosi Integral di hadapan parlemen pada 3 April 1950 sehingga terbentuklah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
Mohammad Natsir mencetuskan Mosi Integral di hadapan parlemen pada 3 April 1950 sehingga terbentuklah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)

Melalui beberapa peristiwa dan tokoh sejarah, kita seharusnya banyak belajar nilai-nilai kehidupan berbangsa dan bernegara yang agamis dan humanis. Batapa nilai-nilai agama yang menjadi pengokoh kehidupan berbangsa dan bernegara tidak boleh dipertentangkan atas dasar argumen apapun.

Kita pun harus sadar, di balik kuatnya upaya kita menjaga kedaulatan negara Indonesia akan selalu ada upaya pemecah belah dan perusak keharmonisan berbangsa dan bernegara. Maka, sudah sepatutnya kita pun jangan lengah dan tetap waspada terhadap neo Snouck Hurgronje yang menjadi hama persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.

Momentum peringatan kemerdekaan Indonesia bisa kita maknai sebagai upaya penguatan kehidupan beragama dan bernegara yang selaras serta harmonis. Meninjau kembali kisah sejarah menjadi salah satu jalan kita memahami Indonesia dan bagaimana cara kita bernegara sekaligus menjadi pemeluk agama yang taat. Semakin paham kita dengan sejarah bangsa, maka semakin kuat dan kokoh persatuan dan kesatuan yang kita upayakan. Terlebih, kita bisa waspada terhadap sosok-sosok yang terus berupaya memecah belah bangsa di tengah keharmonisannya.

MERDEKA!!!

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image