Asal Muasal Istilah Halalbihalal Yang Perlu Kita Ketahui
Sejarah | 2022-05-09 07:35:37Usai Lebaran Idul Fitri, biasanya kita akan mengadakan silaturahmi dan berkumpul dengan tetangga, teman sejawat, sahabat lama dan sanak famili yang intinya adalah saling bertatap muka dan maaf memaafkan. Kegiatan ini sering dilakukan di rumah, aula, rumah makan, café, bahkan yang trend saat ini, di hotel. Kita semua sudah mengetahui bahwa kegiatan positif seperti ini mempunyai istilah “Halalbihalal”. Sejak kapan Halalbihalal diadakan dan apa latar belakangnya? Yuk kita simak penjelasannya berikut ini.
Halalbihalal di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya adalah “hal maaf-memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadan, biasanya diadakan di sebuah tempat (auditorium, aula, dan sebagainya) oleh sekelompok orang”. Ternyata tradisi ini memiliki sejarah sendiri di Indonesia, Halalbihalal adalah tradisi asli Indonesia dan tidak akan ditemukan di negara -negara lain di dunia ini.
Banyak versi asal muasal istilah Halalbihal, Menurut Historia, istilah ini berasal dari kata -kata "alal behalal" atau "behalal halal". Kata ini terdapat di dalam Kamus Jawa Belanda oleh Dr. E. Pigeaud terbitan tahun 1938, di mana behalal alal berarti hal yang sama berarti hadir atau dating untuk meminta maaf atas kesalahan dengan orang tua atau orang lain setelah puasa (pada Idul Fitri atau Tahun Baru Jawa). Sementara perilaku halal ditafsirkan sebagai salam (datang, datang) untuk memaafkan dirinya sendiri dalam Idul Fitri.
Menurut sejarahnya, istilah Halalbihalal berasal dari pedagang martabak India di lapangan Sriwedari Solo pada tahun 1935-1936. Pada saat itu, martabak mulai dikenal sebagai makanan baru bagi penduduk Indonesia. Pedagang itu dibantu oleh asisten orang-orang pribumi yang kemudian dipromosikan dengan kata -kata "Martabak Malabar, Halal Bin Halal, Halal Bihalal" dan sejak saat itu pada istilah Halalbihalal menjadi populer pada masyarakat Solo dan sekitarnya. Setelah itu, masyarakat setempat menggunakan istilah Bihalalbihalal pada saat pergi ke lapangan Sriwedari Solo pasca pelaksanaan sholat Idul Fitri dan sesudahnya, berkumpul disana, bersalam-salaman dan bersilaturahmi. Tradisi ini terus menjadi kebiasaan yang langgeng hingga hari ini diseluruh tanah air.
Versi lain dari asal istilah Halalbihalal berasal dari KH. Abdul Wahab Hasbullah pada tahun 1948. Di mana beliau merupakan salah satu pendiri Nahdlatul Ulama. Pada saat itu beliau menyarankan Presiden Soekarno mengundang semua tokoh politik untuk datang ke istana Negara, untuk menghadiri acara silaturahmi yang bertajuk "Halalbihalal". Ini berarti bahwa tokoh -tokoh politik bersatu di sebuah meja dan mulai mengatur kekuatan persatuan bangsa di masa depan.
Setelah peristiwa itu, lembaga pemerintah selama masa pemerintahan Bung Karno tetap mengadakan Halalbihalal, maka tradisi ini terus diikuti oleh rakyat Indonesia yang lebih luas hingga sekarang, tradisi Halalbihalal telah menjadi budaya positif di Indonesia yang kerap diadakan setelah puasa Ramadhan.
Dilansir dari situs dompetdhuafa.org, berikut ini manfaat silaturahmi dan Halbihalal: melapangkan rezeki, menghilangkan perselisihan, memperpanjang umur, dapat memasukkan ke surga, menghibur kerabat, mendapatkan rahmat Allah. Dosa seorang muslim dapat terhapus dengan saling memaafkan antar sesamanya. Hal mengenai maaf-memaafkan tersebut telah diatur dalam Islam sebagaimana diisyaratkan dalam Al-quran surah Al-A`raf ayat 199 dan hadist Rasulullah SAW.
Rasulullah SAW bersabda:
"Dua orang Muslim yang bertemu, lalu keduanya saling berjabat tangan, niscaya dosa keduanya diampuni oleh Allah sebelum mereka berpisah." (HR. Abu Dawud).
Demikianlah sekilas sejarah asal mula istilah Halalbihalal dan manfaatnya. Semoga bermanfaat dan mencerahkan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.