Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Rut Sri Wahyuningsih

Dua Dunia, Kebebasan Berekspresi?

Gaya Hidup | 2022-05-08 20:29:35

Ide kebebasan tanpa batas ala liberalisme kian gencar menyuarakan hak mereka yang menurut mereka "tertindas". Mungkin kita terlena dengan syair lagu " Angel Baby", single oleh Troye Sivan, yang dirilis pada 9 September 2021. Dalam videonya, Troye membawakannya dengan gaya kemayu, dimana seolah dia bercerita tentang seseorang yang merasa terpuruk hingga membutuhkan kekasih yang mampu membawanya ke dalam kebahagiaan.
Tak dinyata, lagu yang viral di tik tok karena dirasa "mewakili" aspirasi anak muda yang sudah hopeless tak memiliki cinta dan kasih sayang, ternyata adalah penyuka sesama jenis. Kaum pelangi terus merangsek menuntut diakui dunia. Lewat apa saja, dan media sosial adalah wahana termudah dan tercepat untuk menjadi wadahnya. Syairnya benar-benar ingin mengungkapkan "apa adanya" sang penyanyi yang bahagia dengan pilihannya, menjadi penyuka sesama jenis.
Kemudian, salah satu pesohor negeri, Deddy Corbuzier, beberapa waktu lalu menuai hujatan setelah mengundang pasangan gay Ragil Mahardika dan Frederik Vollert di podcast miliknya. Deddy dinilai menjilat ludah sendiri karena dianggap melakukan sesuatu yang dulu sempat ditentangnya. "Tutorial jadi gay di Indo. Kami happy loh... Ragil and Fred - Deddy Corbuzier Podcast," demikian judul video yang diunggah di kanal YouTubenya (Indozone.id, 8/5/2022).
Belum lagi dengan peristiwa pose pemotretan seorang turis wanita berkebangsaan Rusia, Alina Fazleeva, telanjang di bawah pohon keramat berusia 700 tahun di Bali. Meski akhirnya ia mendapatkan ancaman dideportasi, namun perbuatannya sungguh tak terpuji. Di negara orang yang memiliki adat budaya sendiri dengan bebasnya berperilaku. Demi sebuah konten? Bagaimana dengan moral, tata Krama dan agama?
Akibat merajalelanya ide kebebasan tanpa batas ini, liberalisme, tak ada lagi kemuliaan manusia. Agama tak lagi pantas untuk mengatur tingkah laku manusia berikut memberi solusi bagi masalah hidupnya. Bukankah mereka yang kelewat batas ini bisa terkatagori sakit? Tuntutan dunia sungguh keras, tanpa pondasi apapun manusia melakoninya seolah memang seharusnya demikian.
Padahal dampak buruknya kepada generasi mendatang sangatlah fatal. Dengan konten yang samasekali tidak mendidik, mempertontonkan sesuatu yang terlarang dalam agama mana mungkin bisa kita berharap akan baik-baik saja? Berbagai alasan mengiringi, open minded, toleransi, modern dan sebagainya sesungguhnya hanyalah tipuan dan bukti bahwa liberalisme justru menghancurkan generasi dan peradaban. Manusia mundur ke masa kebodohan yang gelap, yang sebenarnya sudah diperbaiki oleh Islam dengan cahaya kebenarannya. Ironisnya mereka yang berusaha memperbaiki justru menjadi musuh dengan dikriminalisasikan ditambah dengan bermacam label yang tak ada faktanya.
Dunia pun terbelah dua, satu kubu membela kebebasan karena manusia punya hak asasi, tak boleh diganggu oleh siapapun, termasuk agama. Boleh sesorang meyakini Tuhan itu ada, tapi itu pilihan dan hanya ada di dalam ranah pribadi. Satu lagi kubu yang menganggap kegilaan ini harus dihentikan, sebab dampaknya sudah tak main-main lagi. Entah dari kalangan agama maupun umum, mereka secara kasat mata melihat makin bobroknya manusia dan interaksi sosial di antara mereka.
Mereka sebetulnya hendak mewujudkan bahagia, yang merupakan kebutuhan dasar manusia. Siapapun pasti secara fitrah menginginkan dihargai, disayang, dicintai dan bisa berkontribusi positif kepada kehidupan sekitarnya. Namun, naasnya mereka terperangkap dengan sistem kapitalis yang sangat mendewakan kebebasan individu dan menawarkan kebahagiaan semu. Bagi penganut setia kapitalis, kebahagiaan adalah sebanyak-banyaknya mendapatkan kepuasan jasadiyah. Terpenuhinya seluruh kebutuhan fisik, entah bagaimana pun caranya. Halal atau haram tidak masuk hitungan.
Inilah yang berat, sebab, tidak setiap manusia memiliki kesempatan yang sama, kemampuan yang sama bahkan pemikiran yang sama. Akibatnya, mereka yang kuatlah pemenangnya. Kuat secara modal, konektivitas dan lainnya. Namun sistem yang berasal dari kecerdasan manusia ini tak peduli, siapa cepat dia dapat, siapa kuat dia yang bertahan. Bahkan sistem ini tak mengkover siapapun yang menjadi korban, kemudian depresi dan berakhir dengan bunuh diri sebab merasa tak bahagia.
Mengapa ini bisa terjadi? Begitu suburnya kapitalisme, liberalisme dan demokrasi dipeluk banyak orang pun Kaum Muslim sendiri, yang nota Bene sudah memiliki Alquran, cahaya petunjuk kebenaran dan solusi bagi setiap persoalan manusia? Akar persoalannya karena Islam hanya diemban oleh orang perorang, meskipun katagorinya negara dengan penduduk mayoritas Muslim namun sistemnya samasekali bukan Islam.
Islam butuh negara, yang mampu secara serentak dan tersistem menerapkan syariat Islam. Jika diserahkan kepada individu atau kelompok masyarakat tertentu, hasilnya pun tak akan maksimal. Apalagi jika penguasanya juga sudah terkooptasi pemikiran yang sama, di luar Islam bahkan memusuhi. Sungguh perilaku yang aneh, bukankah secara tidak langsung mereka yang menolak menyatakan dirinya adalah kafir alias menolak kebenaran?
Perlu ada upaya yang terus menerus, mendakwahkan Islam Kaffah, sebagai lawan dari kebebasan mutlak ala manusia. Sebab sejatinya, hal yang demikian tidak ada, sebagaimana firman Allah SWT yang artinya," Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku." (QS Az Zariyat 56). Makna beribadah, bukan semata melaksanakan ritual ibadah, namun seluruh perilaku dan pemikiran semua harus berlandaskan apa yang dilarang dan diperintahkan Allah, tak boleh sedikitpun melenceng atau bahkan meninggalkannya.
Dengan penerapan syariat secara menyeluruh, maka tak akan dibiarkan pemikiran menyimpang yang tumbuh subur. Sebab, semua wasilah (perantara) yang menuju ke arahnya , seperti misalnya media sosial, akan ditutup habis. Salah satunya dengan sanksi yang tegas. Negaralah yang menjamin, setiap orang mampu mempertanggungjawabkannya di dunia dan akhirat setiap perbuatannya. Wallahu a'lam bish showab.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

 

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image