Hijrah, Wakaf, dan Transformasi Sosial
Bisnis | 2021-08-12 14:50:59Muhammad Syafiâie el-Bantanie
(Pegiat Wakaf dan Direktur Lembaga Pengembangan Insani Dompet Dhuafa)
Peristiwa hijrah selalu relevan untuk dikaji dan dimaknai setiap tahunnya. Tujuannya untuk memetik pelajaran, kemudian merekonstruksinya pada masa kini untuk merekayasa masa depan. Salah satu pelajaran penting dari peristiwa hijrah adalah terjadinya transformasi sosial kehidupan umat Islam di Yatsrib (baca: Madinah).
Bisa dibayangkan sejumlah manusia bermigrasi menuju ke suatu tempat tanpa perbekalan memadai dan kepastian pekerjaan di tempat tujuan. Hal ini sangat berpotensi menimbulkan permasalahan, bahkan konflik sosial.
Jika akan berpergian keluar negeri, saat mengurus paspor dan visa, kita pasti ditanya tujuannya apa? Berapa finansial yang dimiliki untuk tinggal di sana selama kurun masa tersebut? Tidak sampai di situ. Ketika sudah mendarat di bandara negara tujuan pun, kita masih ditanya hal serupa oleh petugas imigrasi bandara. Bahkan, tidak jarang kita diminta menunjukkan jumlah uang yang dibawa.
Prosedur di atas dilakukan untuk memastikan agar tidak ada pengunjung yang terlunta dan bisa menjadi masalah sosial di negara tersebut. Itulah kenapa para imigran kerap dipandang sebagai beban sosial di negara tujuan karena bermigrasi tanpa perbekalan memadai dan kepastian pekerjaan.
Akan tetapi, itu semua tidak terjadi dalam peristiwa hijrah umat Islam. Sejarah membuktikan migrasi umat Islam (Muhajirin) dari Mekah ke Madinah sama sekali tidak menimbulkan permasalahan, apatah lagi konflik sosial. Mengapa bisa demikian?
Misi hijrah telah dirancang dengan apik oleh Rasulullah dua tahun sebelumnya. Puncaknya dengan mengutus diplomat Mushâab bin Umair untuk mendakwahkan Islam kepada suku Aus dan Khazraj di Madinah. Mushâab menunaikan tugasnya dengan gemilang. Nyaris semua rumah di Madinah telah tercahayai hidayah Islam.
Dalam hal ini, ada satu paradigma kunci yang terinternalisasi dalam diri umat Islam sebagai buah dakwah Mushâab, yaitu konsep kepemilikan harta. Umat Islam di Madinah (kaum Anshar) memahami bahwa harta yang dimiliki hakikatnya bukan milik mereka, melainkan milik Allah. Mereka hanya dititipi dan diamanahi.
Karenanya, kaum Anshar siap melaburkan harta yang dimiliki untuk kepentingan dakwah Islam. Berapapun yang diminta Allah dan Rasulullah, mereka siap memenuhinya. Mereka melepaskan hak kepemilikan harta dan mengembalikannya kepada Allah. Karenanya, ketika Rasulullah membuat kebijakan mempersaudarakan Muhajirin dan Anshar, kaum Anshar menyambutnya dengan suka cita.
Kaum Anshar rela berbagi pekerjaan, harta, dan aset dengan saudara mereka, Muhajirin. Bahkan, ada yang sampai berbagi separuh harta, semisal Saâad bin Rabiâ, meski kemudian tawaran tersebut ditolak Abdurrahman bin Auf. Sehingga, bukan permasalahan sosial yang muncul, melainkan kesetiakawanan sosial (baca: ukhuwah Islamiyah) yang berujung pada keadilan dan kesejahteraan sosial.
Wakaf: Melepaskan Hak Kepemilikan Harta
Keadilan dan kesejahteraan sosial merupakan cita-cita kemerdekaan yang belum terwujud hingga kini. Kita bisa menyaksikan kesenjangan sosial masih menganga lebar di negeri ini. Satu persen orang menguasai nyaris separuh total kekayaan nasional. Akibatnya, berbagai permasalahan sosial tidak bisa terhindarkan. Permasalahan paling akut tentu saja kemiskinan.
Mengapa bisa terjadi demikian? Ada persoalan mendasar tentang konsep kepemilikan harta yang tidak dipahami umat Islam, di samping kebijakan negara yang tidak optimal. Semestinya umat Islam yang kaya dapat belajar dari kaum Anshar. Mereka belajar memahami konsep kepemilikan harta sebagaimana kaum Anshar memahaminya.
Jika konsep kepemilikan harta dipahami umat Islam, maka semestinya tidak ada mentalitas memperkaya diri. Tidak ada sikap abai terhadap nasib saudaranya yang papa. Tidak ada yatim dan piatu yang putus sekolah.
Oleh karena itu, membumikan spirit hijrah tahun ini, terlebih saat umat masih bergulat dalam hempasan pandemi, diperlukan kesadaran untuk merekonsepsi kepemilikan harta. Dalam hal ini, memberikan edukasi wakaf seluas-luasnya menjadi pilihan tepat. Karena, wakaf sejatinya melepaskan kepemilikan harta dan mengembalikan kepada pemilik sejati, yaitu Allah.
Wakaf berarti membersihkan diri dari ego harta. Ego selalu mengajak kita untuk menumpuk-numpuk harta agar tercatat dalam deretan orang terkaya negeri ini. Ego akan memunculkan rasa bangga diri dan mengemasnya sebagai sebuah pencapaian dan prestasi. Tidak peduli sebagian umat Islam masih terperangkap dalam pengapnya kemiskinan.
Padahal, Al-Qurâan telah memperingatkan kepada orang-orang yang sibuk menumpuk harta dan menghitung-hitungnya dengan neraka huthamah (QS. Al-Humazah). Al-Qurâan juga mengecam orang-orang kaya yang tidak peduli kepada orang-orang miskin dan anak yatim sebagai pendusta agama (QS. Al-Maâun).
Oleh karena itu, mari kita jadikan spirit hijrah tahun ini sebagai momentum mewujudkan solidaritas sosial umat Islam dengan merekonsepsi kepemilikan harta. Kemudian, manifestasikan dengan berwakaf untuk program-program pemberdayaan kaum dhuafa agar terwujud transformasi sosial.
Jika belum bisa berwakaf sampai separuh harta seperti Saâad bin Rabiâ, kita bisa memulainya dengan berwakaf lima, sepuluh, atau lima belas persen dari penghasilan dan aset kekayaan yang dimiliki. Dengan demikian, semoga kita bisa merekonstruksi semangat persaudaraan Muhajirin dan Anshar untuk merekayasa terwujudnya keadilan dan kesejahteraan sosial.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.