Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ade Sudaryat

Sudah Selayaknya Kita Melakukan Empat Tahap Evaluasi Pasca Ramadhan

Agama | Sunday, 08 May 2022, 14:12 WIB

Sudah satu minggu kita meninggalkan bulan Ramadhan, bulan pendidikan dan pelatihan (diklat) sosial-spiritual, dan sudah satu minggu pula kita berada pada bulan Syawal. Layaknya sebuah program diklat, alangkah eloknya apabila kita melakukan evaluasi terhadap diklat sosial-spiritual tersebut.

Dari sudut pandang ilmu pendidikan, dalam bidang pendidikan dan pelatihan (diklat) sekurang-kurangnya terdapat empat level evaluasi yang harus dilakukan, yakni level 1/reaksi (reaction); level 2/pembelajaran (learning); level 3/perilaku (transfer); dan level 4/hasil (result) (Daryanto & Bimantoro, Manajemen Diklat, 2014 : 145).

Mari kita coba analogikan ragam evaluasi tersebut terhadap diklat sosial-spiritual selama bulan Ramadhan. Untuk evaluasi level 1/reaksi terhadap diklat tersebut sangatlah bagus. Buktinya, kita begitu bergembira dan antusias menyambut dan melaksanakannya meskipun kita tengah berada dalam kehidupan yang serba sulit karena masih berada dalam kisaran dampak pandemi Covid-19.

Demikian pula dengan evaluasi level 2/pembelajaran. Dalam level ini pun kita begitu antusias mengikutinya dan boleh dibilang berhasil melakukannya. Kita mampu belajar menahan lapar dan dahaga dari mulai terbit fajar sampai terbenam matahari; mampu melaksanakan shalat berjamaah; mengkhatamkan tadarus al Qur’an; mampu shalat sunat puluhan rakaat; dan mampu bangun di sepertiga malam/sahur; serta mampu berbagi sebagian harta dan makanan dengan orang lain.

Lalu bagaimana dengan evaluasi level berikutnya? Level 3/perilaku dan level 4/hasil merupakan dua level evaluasi yang paling berat. Kedua level evaluasi ini merupakan level yang menjadi indikator meningkatnya kualitas diri kita.

Indikator untuk evaluasi level 3/perilaku ini adalah istikamah, konsisten dalam berbuat kebaikan dan ibadah. Jika pada saat ini kita masih konsisten dengan perilaku ibadah seperti pada bulan Ramadhan berarti kita memiliki kualitas perilaku yang baik. Ibadah shaum dan ibadah lainnya selama bulan Ramadhan berpengaruh terhadap perilaku kita.

Berbahagialah orang-orang yang masih konsisten melaksanakan ibadah seperti pada bulan Ramadhan. Pahalanya, Allah menjamin kebahagiaan bagi orang-orang yang konsisten dalam keimanan, berperilaku baik, dan beribadah. “Sesungguhnya orang-orang yang berkata, ‘Tuhan kami adalah Allah,’ kemudian mereka tetap istikamah, tidak ada rasa khawatir pada mereka, dan mereka tidak pula bersedih hati” (Q. S. Al-Ahqaf : 13).

Evaluasi level 4/hasil (result) merupakan evaluasi puncak yang paling berat. Pada level ini berkumpul output (hasil) dan outcome (dampak) dari diklat sosial-spiritual selama Ramadhan.

Sebagaimana disebutkan dalam Q. S. al-Baqarah : 183, hasil dari ibadah shaum adalah la’allakum tattaqun, melahirkan manusia yang bertaqwa. Secara fiqhiyah atau lahiriyah, selama kita melaksanakan syarat dan rukun ibadah shaum Ramadhan, insya Allah kita telah menjadi manusia bertaqwa, karena kita telah mampu melaksanakan perintah Allah, dan menjauhi hal-hal yang dilarang Allah.

Ketika kita sudah menyandang predikat muttaqin nilainya akan semakin bertambah baik jika ketaqwaan kita memberikan dampak (outcome) terhadap akhlak dan lingkungan kehidupan di sekitar kita.

Mumpung masih belum lama kita meninggalkan suasana spirit Ramadhan dan Idul Fitri, marilah kita masing-masing mengevaluasi akan perilaku ibadah dan dampaknya terhadap akhlak dan lingkungan hidup sekitar kita. Tingkat paling minimal, mari kita tanyakan kepada diri kita masing-masing, apa kabar ibadah kita?

Masihkah kita rindu dengan suara azan Maghrib? Masihkah kita melaksanakan shalat malam minimal delapan rakaat ditambah witir tiga rakaat seperti pada bulan Ramadhan?

Masihkah kita melaksanakan shalat shubuh tepat waktu dan berjamaah? Masihkah kita rindu bangun pada sepertiga malam? Bagaimana pula dengan tadarus al-Qur’an, masihkah kita memiliki target khatam membacanya minimal sekali dalam sebulan?

Dari segi kedermawanan, masihkah kita mau berbagi makanan dengan orang lain? Masihkah di hati kita ada kerinduan untuk makan bersama dengan orang lain seperti kita melakukan buka shaum bersama?

Masih banyak pertanyaan lainnya yang harus kita tanyakan kepada diri kita. Semua itu layak kita pertanyakan, sebab implementasi dari nilai-nilai Ramadhan yang sebenarnya dimulai dari perilaku kita pada bulan Syawal ini. Dan, idealnya pada bulan Syawal ini segala aktivitas amal ibadah kita semakin meningkat sesuai dengan nama bulannya yang secara bahasa berarti peningkatan.

Suatu program diklat bermuara pada lahirnya orang-orang yang memiliki kompetensi yang berkualitas. Indikator kompetensi yang berkualitas adalah meningkatnya pengetahuan (knowledge/ilmu pengetahuan), keterampilan (skill/perbuatan), dan semakin meningkatnya sikap (attitude/perilaku, akhlak).

Diklat sosial-spiritual selama bulan Ramadhan yang berhasil adalah lahirnya diri kita yang sarat dengan ilmu, keimanan, dan ketaqwaan. Semua ibadah tersebut kita implementasikan dalam amal shaleh, baik shaleh secara spiritual maupun sosial atau meningkatnya kualitas ibadah yang dibarengi dengan semakin baiknya derajat akhlak kita.

Kita berlindung kepada Allah Swt dari kesia-siaan ibadah kita. Salah satu kriteria kesia-siaan ibadah kita adalah tidak istikamah dalam melaksanakannya dan tidak memberikan dampak perbaikan keimanan, akhlak, dan tidak berusaha mewarnai lingkungan kehidupan kita untuk menjadi lebih baik.

“Banyak orang yang melaksanakan shalat malam, tak tak ada pahala apapun dari ibadah shalat malamnya, kecuali penat saja. Dan banyak orang yang melaksanakan ibadah shaum, tak ada pahala apapun dari ibadah shaumnya, kecuali lapar dan dahaga saja” (H. R. Ahmad).

ilustrasi : bagan model evaluasi (sumber gambar : https://binakarir.com)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image