Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Zainal C. Airlangga

Paradigma Baru Investasi Hulu Migas dalam Menggapai Target Produksi 2030

Bisnis | Thursday, 05 Aug 2021, 22:38 WIB
FOTO/http://assets.kompas.com/

Sepanjang sejarah hulu minyak dan gas (migas), industri migas nasional pernah mencapai dua kali puncak produksi. Yang pertama tahun 1977 ketika CPI menerapkan teknologi waterflood di Lapangan Minas sehingga mengantar produksi nasional sekitar 1,65 juta bopd. Puncak kedua terjadi pada 1994 ketika Lapangan Duri menerapkan teknologi steamflood dan mengantar tingkat produksi kembali 1,6 juta bopd.

Setelah itu, produksi kembali menurun dan pada 2006 menjadi tahun terakhir dengan angka produksi satu juta bopd. Saat ini produksi minyak nasional berada di kisaran 700 ribuan barel minyak dan 5,5 miliar kaki kubik gas bumi. Di sisi lain, permintaan terhadap migas terus meningkat seiring peningkatan jumlah populasi dan konsumsi. Akibatnya, gap antara pasokan dan permintaan semakin lebar. Untuk menutup gap tersebut, impor menjadi langkah yang tak terhindarkan.

Mengingat adanya ketidakcocokan antara permintaan dan pasokan minyak, serta adanya potensi cadangan yang berlimpah dengan potensi cadangan sebesar 783 miliar setara barel minyak, industri migas Indonesia berambisi untuk kembali mengubah potensi menjadi hasil, untuk mencapai tingkat produksi terbaik dan mendukung kapabilitas nasional. Pemerintah kemudian menetapkan target produksi 1 juta barel minyak per hari (bopd) dan 12 miliar standar kaki kubik gas per hari (bscfd) pada 2030.

Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas) sebagai garda terdepan untuk mengawal pencapaian target tersebut, telah menyiapkan berbagai upaya. Salah satunya dengan menyusun rencana strategis industri hulu migas nasional 2020-2030 yang disebut Indonesia Oil and Gas (IOG) 4.0, hingga transformasi organisasi melalui â mantra baruâ : Agresif, Masif, dan Efisien.

Potensi migas Indonesia

Sebenarnya, pada 2020 sektor hulu migas menununjukkan beberapa capaian yang menggembirakan. Dikutip dari skkmigas.go.id, tercatat 706 ribu barel minyak per hari (bopd) atau 100,2% melampaui target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) yang ditetapkan sebesar 705 ribu bopd. Kemudian lifting (salur) gas sebesar 5.461 juta standar kaki kubik per hari (mmscfd), sedikit di bawah target APBN-P sebesar 5.556 mmscfd atau tercapai 98,3%. Sedangkan untuk penerimaan negara, berhasil dicapai sebesar US$8,4 miliar, atau 141% dari target yang dipatok sebesar US$5,86 miliar. Capaian lainnya, SKK Migas mampu menyelesaikan 15 proyek onstream dari 11 proyek onstream yang ditargetkan atau 136%.

Namun pada kuartal I tahun 2021, pencapaian hulu migas kembali melemah. Sekretaris SKK Migas Taslim Yunus mengungkap capaian lifting minyak bumi sebesar 676,2 ribu bopd dari target 705 ribu bopd atau tercapai sebesar 96%. Pada gas bumi sebesar 5.539 juta standar kaki kubik per hari (mmscfd) dari target 5.638 mmscfd atau tercapai 98,2%. Sementara itu, pengendalian cost recovery sebesar 1,73 miliar dolar dari target sebesar 8,07 miliar dolar atau tercapai 21,4%, dan penerimaan negara sebesar 3,29 miliar dolar dari target 7,28 miliar dolar atau tercapai sebesar 45,2%.

Capaian ini tentunya dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti harga minyak dunia yang fluktuatif, tingkat pengendalian pandemi COVID-19, munculnya regulasi-regulasi baru di bidang migas yang belum sepenuhnya menyegarkan iklim investasi migas di Indonesia, serta produksi migas yang masih mengandalkan sumur-sumur minyak tua yang sudah beroperasi sejak tahun 1970-an.

Namun lepas dari tantangan dan keterbatasan yang mengadang, sejatinya Indonesia masih memiliki potensi cadangan migas yang mumpuni. Saat ini terdapat 128 cekungan sedimen yang tersebar di wilayah Barat dan Timur. Dari total 128 cekungan, baru sekitar 47% yang sudah dieksplorasi, dengan status 16% atau 20 cekungan sudah produksi, 21% atau 27 cekungan sudah dibor dan ditemukan minyak, serta 10% atau 13 cekungan sudah dibor tetapi tidak ditemukan minyak. Masih ada 53% atau 68 cekungan potensial yang masih belum tersentuh (Renstra Ditjen Migas 2020 â 2024).

Secara keseluruhan, potensi cadangan minyak di wilayah Barat sebanyak 683 miliar barel setara minyak (bboe) dan gas sebesar 47,2 bboe. Sedangkan di wilayah Timur cadangan minyak sebesar 20 BBOE dan gas sebesar 50,45 bboe. Meskipun jumlah blok aktif di Indonesia Timur lebih rendah dibandingkan Indonesia Barat, kawasan tersebut memiliki prospek cadangan gas yang cukup tinggi.

Menurut Deputi Operasi SKK Migas Julius Wiratno seperti dilansir dari Katadata.co.id, saat ini SKK Migas tengah fokus pada 12 wilayah yang diproyeksikan memiliki potensi migas. Antara lain North Sumatra, Central Sumatra, South Sumatra, NE Java-Makassar Strait, Tarakan Offshore, Kutai Offshore, Makassar Strait Area, Buton Offshore, Timor-Tanimbar-Semai, Northern Papua, Bird's Body, dan Warim.

Upaya mengoptimalkan potensi cadangan migas yang dimiliki perlu dikelola dengan baik. Apalagi perusahaan migas global maupun nasional tengah melakukan upaya efisiensi, utamanya di masa sulit akibat pandemi. Itu artinya mereka akan menanamkan modalnya pada proyek-proyek yang mendatangkan keuntungan besar. Oleh karenanya, hal tersebut perlu didukung dengan iklim investasi yang menarik.

Investasi atraktif menjadi kunci

Tidak bisa dipungkiri, untuk mengejar target produksi 2030 membutuhkan dana yang sangat besar. Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto menyebut dana yang dibutuhkan untuk mewujudkan target produksi tersebut mencapai US$187 miliar atau sekitar Rp2.711 triliun (asumsi kurs Rp14.500 per US$).

â Industri migas sedang melakukan pekerjaan besar, butuh tenaga, pikiran, dana, waktu, serta perlu integrasi yang baik. Untuk mencapai target produksi minyak 1 juta bph dan gas 12 bscfd di tahun 2030 tersebut, kami memperkirakan industri hulu migas bisa tarik investasi dengan total US$187 miliar dari 2021 sampai 2030 mendatang,â ungkapnya dalam webinar SKK Migas, Rabu (28/04/2021).

@HumasSKKMigas" />
Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto. FOTO/Twitter SKK Migas @HumasSKKMigas

Dwi menekankan, untuk mencapai target tersebut sangat diperlukan pengungkit untuk meningkatkan investasi. Saat ini, selain menyiapkan berbagai stimulus investasi, SKK Migas juga merancang empat strategi demi memuluskan target produksi. Pertama, mempertahankan produksi-produksi yang sudah ada. Kedua, percepatan sumber daya menjadi produksi. Ketiga, penerapan enhanced oil recovery (EOR). Keempat, melakukan kegiatan eksplorasi yang masif.

Di sisi lain, pemerintah terus menyiapkan regulasi dan fasilitas perpajakan yang ramah investasi. Sebut saja, UU No 11 Tahun 2020, Peraturan Pemerintah No.5 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, dan UU Cipta Kerja.

Mengubah paradigma

Sejauh ini, sudah begitu banyak terobosan dan upaya teknis guna menggenjot investasi hulu migas. Namun ada satu hal mendasar yang luput, yaitu paradigma para pemangku kepentingan dalam menjankan usaha hulu migas, khususnya terkait investasi. Sebab itu, tulisan ini mencoba mengisi kekosongan itu.

Ada beberapa paradigma yang perlu diperhatikan dalam menjaga iklim investasi hulu migas agar tetap sehat. Pertama, daya tarik investasi tidak semata dari perspektif fiscal system, tapi juga hal lain yang tak kalah penting seperti ketersediaan resource, kemudahan berusaha, paket insentif, fleksibilitas klausul kontrak dan tidak rentan dikriminalisasi, hingga stabilitas regulasi. Isu nasionalisasi juga suka atau tidak suka dapat menimbulkan sentimen negatif bagi investor global.

Terkait kemudahan berusaha, misalnya, saat ini memang sudah ada perbaikan melalui kebijakan one door service policy yang di-launching SKK Migas pada Januari 2020. Dengan kebijakan ini, proses perizinan dipercepat dari sebelumnya 4 hari kerja (diharapkan) menjadi di bawah 3 hari untuk 2021. Hanya saja, penyederhanaan perizinan usaha hulu migas dinilai masih parsial. Dari dua perizinan hulu migas, yaitu izin survei dan izin pemanfaatan data migas, mungkin memudahkan untuk pra-kegiatan eksplorasi. Namun, permasalahan perizinan yang lebih banyak dihadapi kontraktor hulu migas justru ketika memulai masa eksplorasi sampai dengan eksploitasi.

Kedua, pentingnya perubahan paradigma terhadap hulu migas yang sebelumnya dipandang hanya sebagai komoditas dan sumber penerimaan negara menjadi sektor penggerak perekonomian nasional, lokomotif pertumbuhan ekonomi, sekaligus pembangunan wilayah. Dengan perubahan paradigma tersebut, stakeholder hulu migas mengidentifikasi proses bisnis secara detail. Misalnya, mengkaji kondisi yang mempengaruhi iklim investasi, menentukan setiap faktor yang menjadi bagian dari proses keputusan investasi, mengevaluasi kelebihan-kelebihan yang dimiliki negara lain terkait attractiveness investasi, serta memahami kelemahan yang menjadi nilai minus sektor migas domestik. Kemudian, meninjau ulang penawaran wilayah kerja (WK) yang selama ini hanya secara administratif-prosedural sesuai regulasi yang ada, namun belum menawarkan kepastian komersial dan business sustainability yang bersifat jangka panjang.

Ketiga, perlunya pendekatan baru dalam merebut investasi dengan strategi â Blue Oceanâ . Blue ocean strategy adalah strategi untuk memenangkan persaingan dengan cara melepaskan diri dari kondisi red ocean yang head to head dengan pesaing. Dalam konteks usaha hulu migas, stakeholder sektor hulu migas harus keluar dari samudera merah yang penuh persaingan berdarah-darah dalam menggaet investor, dengan menciptakan ruang permainan yang belum ada pesaingnya. Kreativitas untuk tampil beda dan kecerdasan melihat pasar menjadi kekuatan pada strategi ini. Dengan tampil beda dari para pesaing, akan menciptakan permintaan yang lebih tinggi. Investor cenderung lebih tertarik dengan penawaran yang fresh (unik).

Untuk itu, dalam penerapan strategi blue ocean digunakan â kerangka kerja empat langkahâ . Pertama, eliminate (hapuskan): menghapuskan unsur-unsur yang tidak bernilai dari produk. Kedua, reduce (kurangi): mengurangi unsur-unsur yang nilainya kurang tapi masih diperlukan. Ketiga, raise (tingkatkan): meningkatkan unsur-unsur yang dijadikan keunggulan dari produk hingga di atas standar industri yang ada. Keempat, create (ciptakan): menciptakan hal-hal baru yang belum pernah ada di industri tersebut.

Keempat, di era new normal tentunya harus lebih adaptif dan punya mindset baru. Saat ini, negara-negara lain pasti sibuk menyusun strategi agar lebih menarik bagi investor, salah satunya dengan memasukan faktor tingkat pengendalian terhadap COVID-19. Sektor hulu migas perlu memastikan budaya kerja dan aktivitas produksi memenuhi standar WHO, mulai dari usaha pencegahan penularan wabah, vaksinasi, hingga berbagai fasilitas penunjang protokol kesehatan. Hal ini sangat diperlukan untuk menjamin rasa aman dan keberlangsungan bisnis para investor.

Transformasi SKK Migas untuk ketahanan energi nasional. FOTO/Website SKK Migas

Pada akhirnya, usaha untuk meningkatkan investasi hulu migas perlu dimaknai sebagai usaha untuk meningkatkan ketahanan energi. Melalui langkah ini, Indonesia dapat mengurangi impor migas sehingga secara tidak langsung memperkuat ketahanan ekonomi nasional. Pandemi Covid-19 menjadi momentum refleksi dan cara berpikir baru dalam pengelolaan sektor hulu migas, utamanya dalam menggapai target produksi 2030.[]

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image