Rawat Kesehatan Jiwa dengan Bersyukur
Gaya Hidup | 2021-08-04 00:50:42Sejak diumumkan, wabah Covid-19 menjadi sesuatu yang tidak disangka-sangka. Dampaknya luar biasa. Ia mengusik banyak kenormalan dan tatanan hidup kita sebagai manusia. Bukan sekadar menyerang badan. Pikiran dan perasaan pun ikut diaduknya.
Dari takut, penat, cemas, stres, hingga gampang marah. Pernahkan merasakan ini selama 16 bulan pandemi? Jika menjawab iya, Anda tidak sendirian. Saya (mungkin juga banyak orang lain) sempat menanggung masalah sama.
Salah satu penyebab masalah kesehatan jiwa yang kerap dikaitkan dengan pandemi adalah rasa ketakutan. Sejak mewabah, tidak sedikit orang merasa takut dirinya atau anggota keluarganya tertular virus.
Perasaan ini menguat ketika membayangkan skenario terburuk bila terjangkit (dirawat intensif dan kematian). Ditambah situasi penyebaran virus kian cepat dan meluas. Terjadinya pun di lingkaran sosial terdekat, dimana teman dan kerabat menjadi korban.
Pemicu lainnya adalah perubahan kebiasaan. Pandemi dengan segala keterbatasannya, memaksa masyarakat beradaptasi terhadap perilaku baru. Belakangan kita mengenal kebijakan kerja di rumah, sekolah/kuliah di rumah dan pembatasan aktivitas sosial (PSBB, PPKM, dan turunannya). Beberapa kebijakan ini dapat menambah tekanan dan beban.
Di rumah terus misalnya, selain kerja, orang tua merasa mendapat tekanan tambahan menggantikan fungsi guru mendidik anak. Sebaliknya bagi anak, membosankan dan bikin stres.
Sementara itu, di sisi lain, masa pandemi juga mempengaruhi ketidakstabilan ekonomi. Pembatasan sosial terbukti berefek domino. Sejumlah besar aktivitas usaha dan industri melemah. Mereka merugi. Sebagian terpaksa melakukan PHK, pengurangan upah, hingga merumahkan sementara pekerja. Situasi sulit ini mampu membuat para terdampak kehilangan tujuan hidup, perasaan cemas, depresi, khawatir, dan takut masa depan.
Sampai di sini, satu hal mungkin perlu dipahami. Takut, stres, dan cemas pada dasarnya respons normal manusia terhadap tekanan atau bahaya (WHO, 2020). Stres, dalam situasi tertentu, konon dapat meningkatkan fungsi otak. Jadi, bila mengalaminya saat pandemi, sebenarnya dapat dimaklumi sebagai hal manusiawi.
Yang perlu diwaspadai dan dicegah adalah bila kondisi tersebut berlangsung terus-menerus, intens, dan kronis. Ini bisa sangat berbahaya. Salah satunya bisa menyebabkan perasaan terpuruk dan sulit bangkit hingga sulit meneruskan hidup berkualitas dan produktif. Karena itu penting untuk diredam sebelum sulit dikendalikan.
Caranya bagaimana?
Mengenali emosi negatif dan penyebabnya termasuk langkah awal yang baik. Terutama saat fase ringan. Setelah itu, mulai belajar mengelola dan mengurangi gejalanya. Salah satu caranya? Dengan bersyukur. Ya bersyukur.
Bersyukur merupakan salah satu vitamin jiwa terbaik. Namun, lupa bersyukur mudah terjadi. Apalagi saat kita tengah ditimpa musibah seperti pandemi. Kita cenderung fokus pada kesusahan dan tekanannya. Sementara, jika mencoba melihat jernih, banyak nikmat dan hal baik sebenarnya masih kita rasakan dan dapat meski di tengah ujian ini.
Bersyukur sakit, karena tahu ini salah satu cara Allah menghapus dosa-dosa hamba-Nya. Bersyukur sakit sehingga lebih menghargai sehat. Bersyukur, di tengah cobaan, ternyata banyak teman dekat dan keluarga peduli membantu.
Pada akhirnya, bersyukur mendorong kita untuk berpikir positif. Meyakini ada hal baik atau hikmah dari setiap ujian. Ia juga membantu kita lebih optimistis, bahwa Allah SWT tak akan membebani hambaNya kecuali menurut kemampuan dan di setiap kesulitan pasti ada kemudahan.
Bersyukur salah satu cara menjauhkan kita dari ketakutan, kecemasan, stres, bahkan depresi. Ia dapat merawat jiwa tetap sehat selama pandemi.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.